Drama Perang dan Cinta Remaja

Drama Perang dan Cinta Remaja
Perang telah mengubah karakter Daisy, remaja trendy dari New York. Egonya diremukkan tanpa ampun. Orang-orang sederhana ikut menghangatkan jiwanya.

Oleh Silvia Galikano

Judul: How I Live Now
Genre: Action | Drama | Thriller
Sutradara: Kevin Macdonald
Skenario: Jeremy Brock, Tony Grisoni
Produksi: Magnolia Pictures
Pemain: Saoirse Ronan, Tom Holland, George MacKay
Durasi: 1 jam 40 menit

Eropa resah. Perang Dunia III sepertinya tinggal setiupan angin lagi bakal pecah.

Daisy (Saoirse Ronan), remaja asal kota besar New York Amerika, dikirim keluarganya untuk tinggal bersama sepupu-sepupunya di pedesaan Inggris. Dia datang dengan kemarahan karena merasa dibuang. Kata-katanya kasar kepada tiga sepupunya yang ramah dan selalu gembira.

Remaja trendy ini pun merasa salah tempat berada di kampung, dikelilingi ladang, semak-semak, perbukitan, dan ayam. Sarapan pertama tidak disentuhnya. Dia cuma duduk, melihat menu sarapan ala kampung dengan sudut mata.

Bibinya adalah perempuan sibuk yang bekerja di PBB dan sangat jarang berada di rumah. Eddie (George McKay) si sulung yang pendiam jadi pengawas utama bagi tiga adiknya. Dari bibinya Daisy tahu bahwa ibunya dulu pernah tinggal di rumah ini, di kamar yang sekarang dia tempati, sesuatu yang tidak pernah diceritakan ayahnya. Ibunya meninggal saat melahirkan Daisy.

Pelan-pelan Daisy mulai terhangatkan oleh lingkungan barunya yang tetap saja ramah walau Daisy ketus. Si bontot Piper (Harley Bird) juga tetap menganggap kakak sepupunya ini baik. Daisy mulai mau ikut sepupu-sepupunya bermain di sungai, walau awalnya marah sebab didorong masuk sungai dengan baju lengkap.

Tumbuh kekaguman Daisy pada Eddie, remaja berotot liat yang punya kemampuan survival di alam liar. Eddie juga dapat menggiring kawanan sapi hanya dengan berbisik ke sapi yang jadi kepala kawanan. Keduanya kemudian terlibat percintaan.

Sementara itu berita di televisi mengabarkanInggris sudah terlibat Perang Dunia III. London dibom. Seorang petugas Kedubes Amerika datang meminta Daisy ikut bersama rombongan warga negara Amerika lainnya untuk dipulangkan ke Amerika. Daisy menolak tawaran ini karena tempatnya di sini, bersama Eddie.

Perang merangsek terus ke pelosok Inggris, termasuk ke kampung tempat Daisy dan sepupunya tinggal. Penduduk diungsikan, dipisah antara pegungsi perempuan dan laki-laki. Daisy dan Piper harus terpisah dari Eddie dan adik laki-lakinya. Sebelum masing-masing diangkut tentara, Eddie sempat berpesan pada kekasihnya, “Di mana pun kau berada, berupayalah terus untuk pulang.”

How I Live Now diadaptasi dari novel populer karya Meg Rosoff berjudul sama yang terbit di Inggris pada 2004. Adaptasi ini bisa dibilang beruntung karena bertemu sutradara Macdonald. Dia sudah membesut berbagai genre film, mulai dari dokumenter (Touching The Void – 2003) hingga drama klasik (Last King Of Scotland – 2006 dan State Of Play – 2009). Mcdonald menyuguhkan karakter-karakter yang matang dan mengedepankan kesederhanaan, dua poin yang jarang di genre ini.

Kekerasan pun sangat sedikit ditampilkan padahal setting How I Live Now adalah perang. Tak ada adegan maut. Untuk menandai setting perang, Macdonald cukup membangun mood tegang sekaligus melankolis lewat jasad yang bergelimpangan, bertumpuk-tumpuk, dirubung lalat, dan dimakan cacing. Tak ada ratapan ibu di hadapan jasad anak bujangnya, atau istri di hadapan jasad suaminya.

Sebaliknya, Macdonald tidak melunakkan deraan demi deraan yang diterima Daisy dan tiga sepupunya. Daisy berdua Piper melarikan diri dari pengungsian, berhari-hari keluar masuk hutan, naik turun bukit, menghindari kejaran teroris (sebutan Daisy untuk pasukan yang sementara menang perang) demi mencari arah pulang, berharap Eddie menunggu di rumah.

Di bagian awal kita mengira How I Live Now sekadar film drama remaja. Jalannya lambat, ketusnya Daisy memuakkan, sementara kampung tempat mereka tinggal membentangkan pemandangan yang sangat indah.

Namun begitu memasuki bagian kedua, yakni ketika penduduk dipaksa mengungsi, film ini mulai berjalan cepat dan ceritanya makin fokus ke Daisy. Di sini kelihaian Macdonald terasa, bagaimana dia mengkondisikan remaja kota yang gampang panik harus masuk dalam kondisi darurat. Evolusi karakternya berlangsung luar biasa.

Sejak awal penonton harus tahu bahwa film ini bukan film perang. Tidak akan ada adegan-adegan khas film perang. Sepenuhnya drama juga tidak. Sudut pandang yang diambil pun lumayan unik, bagaimana remaja mengalahkan egonya dengan cara yang tidak biasa.

Perang yang terjadi adalah perang di mata remaja. Remaja, yang tidak pernah tahu intrik orang-orang pemerintahan atau adanya perundingan yang gagal atau apapun, terpaksa menelan konsekuensi pahit atas keputusan yang diambil di ibukota sana.

***

Dimuat di Majalah Detik edisi 111, 13-19 Januari 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.