Jaga Kewarasan Sebelum Di-kenthir-kan

kenthirSatu keluarga ingin melanggengkan kekuasaan politik, satu keluarga ingin melanggengkan kekuasaan ekonomi secara keturunan. Manusia ingin merengkuh keabadian materi dan kekuasaan.

Oleh Silvia Galikano

Susilo Widodo (Susilo Nugroho) bukan walikota yang tahan beralama-lama di kantor. Cukup satu jam di belakang meja, lalu pergi blusukan, mendengar keluhan warga tentang harga daging sapi yang kini tak terbeli.

Wakilnya yang ikut blusukan (Marwoto) menyela, masalah harga daging sapi itu sulit dipecahkan karena delik aduan. Dia menyarankan warga jadi kader partainya saja. Kalau jadi pemimpin partai malah bisa dapat jatah daging sapi.

“Atau kalau tidak ikut partai, masuk Paguyuban Korupsi Sapi, yang disingkat Pakosa,” kata Marwoto.
Masa jabatan Susilo tak lama lagi. Istrinya, Happy Salma (Happy Salma), mulai ngompor-ngompori putra mereka, Gundhi (Gundhi), agar mencalonkan diri jadi walikota. Namun Gundhi tak berminat sama sekali pada dunia politik. Dia ingin tetap jadi penyanyi hiphop seperti sekarang, berduet dengan Alit (Alit Prabangkoro) putra Marwoto.

Tak kehabisan akal, Happy meminta suaminya agar membujuk Gundhi. Happy tahu, walau suaminya mendukung keinginan Gundhi, tapi pasti tak dapat menolak keinginannya.

Sementara di bagian lain kota itu, Yu Ningsih (Yu Ningsih) resah karena Cak Lontong (Cak Lontong) ngotot maju jadi calon walikota. Walau sudah dirayu-rayu, anak tunggalnya itu ogah melanjutkan usaha batik ibunya, dia memilih terus berkampanye.

Hingga suatu hari Lontong didatangi Happy yang tak lain pacarnya dulu di bangku SMA. Kedatangan Happy yang tak diduga-duga ini untuk meminta Lontong membatalkan pencalonannya jadi walikota agar Gundhi melenggang tanpa pesaing. Tentu saja Lontong tidak mau.

Kali ini Happy mengeluarkan amunisi terakhirnya agar Gundhi bisa jadi walikota menggantikan Susilo. Dia membuka rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat bahwa Gundhi sebenarnya anak biologis Cak Lontong.

Pembicaraan rahasia itu diam-diam diikuti Marwoto. Sang wakil walikota ternyata punya ambisi sendiri  untuk memuluskan anaknya, Alit, maju jadi calon walikota.

Cerita makin njelimet ketika Susilo, tanpa diketahui Happy, mendatangi Ningsih. Susilo minta Ningsih membujuk Cak Lontong untuk membatalkan niatnya mencalonkan diri jadi walikota agar membuka jalan pada Gundhi.

Ningsih, yang selama ini membesarkan Lontong seorang diri mengandalkan usahanya di bidang batik, seakan-akan mendapat angin untuk mengungkap rahasia besar. Lontong itu tak lain anak kandung Susilo. Ningsih dan Susilo pernah berpacaran saat SMP.

Drama ini sekali lagi diintip Marwoto, dan sekali lagi dia mengambil kesempatan untuk menaikkan posisi tawar anaknya, Alit. Marwoto yang sebelumnya “penjaja sapi” tanpa prestasi, kini tampil jadi orang paling benar dengan masa lalu paling bersih. Susilo ditelikung habis-habisan.

Pementasan Indonesia Kita dalam lakon Orde Omdo menguatkan ungkapan klasik “tak ada kawan abadi atau lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi.” Ungkapan ini berlaku juga dalam hubungan keluarga, yang tadinya kuat jadi berantakan akibat kepentingan.

Ada kepala daerah yang ingin membelokkan sebuah demokrasi menjadi politik dinasti. Ada pengusaha yang berkeras mewariskan usaha pada keturunannya, padahal minat si anak tidak di sana. Walau sejatinya tongkat estafet diberikan pada mereka yang layak, tapi dalam urusan materi dan kekuasaan, manusia ingin merengkuh keabadian.

Orde Omdo yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 20-21 Desember 2013 adalah pementasan pertama –mungkin yang terakhir- Indonesia Kita pada 2013. Pementasan sebelumnya adalah Nyonya-nyonya Istana pada November 2012.

Omdo adalah akronim dari omong doang, cangkeman thok, semacam kemunafikan yang dibudidayakan. Trio penggagas Indonesia Kita Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan G. Djaduk Ferianto memotret secara satire kondisi Indonesia terkini ketika reformasi malah mengaburkan siapa sosok antagonis dan protagonis. Banyak politisi yang sebelumnya berangkat dengan kepentingan bersama, berujung pada berebutan dan saling menelikung karena kepentingan pribadi atau kelompok.

Elemen artistik komedi, musik, dan tari-tarian masih jadi bagian penting pementasan. Orkes Sinten Remen yang dipimpin Djaduk Ferianto menyuguhkan lagu-lagu bermuatan kritik sosial dan sindiran.  Lagu Omdo mengkritisi pejabat yang hanya berucap tanpa bukti nyata, I Yo Yake tentang pesta demokrasi yang selalu kotor dan tidak jujur, serta Mulut karya Gus Mus yang mengkritisi porak porandanya negeri ini di segala bidang.

“Banyak peristiwa satire dan banyak juga hal yang makin membuat kita kenthir (tidak waras) tapi justru makin menyadarkan bahwa kita ikut bertanggung jawab pada keadaan ini. Maka orkes Sinen Remen memunculkan slogan ‘ber-kenthir-lah Anda sebelum Anda di-kenthir-kan,’” kata Djaduk.

Komedi yang kental juga disajikan empat perempuan yang tergabung dalam kelompok teater tari Sahita. Wahyu Widayati (Inong), Sri Setyoasih (Tingtong), Sri Lestari (Cempluk), dan Atik Kenconosari membawakan tari di luar pakem tari Jawa dan jauh dari figur ideal penari Jawa yang anggun, langsing, dan cantik yang berkiblat ke kehidupan keraton.

Kostum mereka adalah kain jarik dan kebaya lusuh, rambut dibuat beruban dan dikonde awut-awutan, gigi dihitamkan, gerak tari pun terkesan sesukanya. Mereka, misalnya, tak segan menungging-nungging, mengangkang, menggoyang pinggul secara seronok, hingga menggelosor di lantai. Dialog antarpemain juga lucu cenderung vulgar.

Seni, sejauh ini, masih bisa menjadi wilayah refleksi kehidupan dengan tetap menjaga kejernihan pikiran. Daya kreatif tidak larut, apalagi surut, oleh kondisi ganjil di sana sini. Dengan menertawakan ke-kenthir-an diri sendiri, seni bisa menjadi benteng akal sehat. Harapannya sih begitu.

 ***

Dimuat di Majalah Detik edisi 109, 30 Des 2013 – 5 Jan 2014

0 Replies to “Jaga Kewarasan Sebelum Di-kenthir-kan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.