DiCaprio dan Epic Wall Street

wolf of wall street, leonardo dicaprio

Perusahaan sekuritas ini bermula dari nol, pialangnya bahkan tidak tahu apa itu saham. Namun tak menunggu lama, Stratton Oakmont melesat, hingga mengundang curiga FBI.

Oleh Silvia Galikano
Judul: The Wolf of Wall Street
Genre:  Biography | Drama
Sutradara: Martin Scorsese
Skenario: Terence Winter, Jordan Belfort
Produksi: Paramount Studios
Pemain: Leonardo DiCaprio, Jonah Hill, Margot Robbie
Durasi: 2 jam 59 menit
Jordan Belfort (Leonardo DiCaprio) muda turun dari bus di pusat kota Manhattan, berjalan di antara lautan manusia, menuju kantor bank investasi L.F. Rothschild.

Ini hari pertamanya bekerja sebagai pialang. Masih lugu. Masih terkaget-kaget dengan sekitarnya yang saling berteriak menumpahkan sumpah serapah. Dia pun kena semprot supervisornya setelah terlalu lama bengong dan tak juga menelepon investor.

Bos departemennya, Mark Hanna (Matthew McConaughey), yang melihat potensi anak muda ini, mengajak Belfort makan siang di restoran dekat kantor. Sekali lagi dia dibuat kaget karena menu makan siang Hanna adalah kokain dan martini.

Kekagetan Belfort, pria muda beristri, ini lanjut lagi sewaktu mendapat pertanyaan berikut: “Kau masturbasi? Berapa kali seminggu? Hanya segitu? Nanti harus lebih sering.” Pekerjaan pialang akrab dengan stress, dan itulah cara Hanna melepaskan stress. Kokain dan martini membuatnya rileks tapi tetap fokus.

Obrolan siang itu adalah ruang kuliah paling menentukan untuk hari-hari berikutnya dalam kehidupan Belfort. Dia cepat belajar. Terlebih setelah mendapat lisensi sebagai pialang, Belfort menggila. Dalam usia 26 tahun, dia berhasil meraup US$49 juta, hingga dijuluki “serigala” (wolf).

Hingga tiba peristiwa Senin Hitam (Black Monday), 19 Oktober 1987. Pasar saham ambruk di seluruh dunia. The Dow Jones anjlok 508 poin pada hari itu. Rothschild yang sudah berdiri selama hampir 90 tahun, menyusul runtuh, menyebabkan Belfort dan banyak pialang lain di-PHK.

Atas dorongan istri, Teresa Petrillo (Cristin Milioti), Belfort memulai peruntungan baru di perusahaan sekuritas kecil di Long Island. Sekali lagi dia dengan mudah mendapatkan investor untuk saham-saham kecil yang ditawarkan. Penghasilannya mencapai rata-rata US$72 ribu per pekan.

Sebentar saja Belfort di perusahaan sekuritas itu. Dia kemudian membangun perusahaan sendiri dengan merekrut kawan-kawan lama yang nol pengalaman di bidang keuangan tapi punya semangat maju perang dan berpikir taktis. Perusahaannya diberi nama Stratton Oakmont.

Tetangganya di Long Island, Donnie Azoff (Jonah Hill) yang sebelumnya pengusaha alat-alat sekolah, dijadikan orang kepercayaan. Anggota timnya dia latih satu per satu sekeras dulu Mark Hanna melatihnya. Alhasil, Stratton Oakmont berhasil menangani mulai dari saham kecil, saham blue chip, hingga IPO.

Karyawannya makin banyak. Kantor Stratton Oakmont dari hanya gudang sewaan kini menempati satu lantai seluas lapangan sepak bola di gedung tinggi.<

Penghasilan Belfort makin banyak, “hobi” baru pun muncul. Sejumlah besar uangnya dibelanjakan ke kokain, heroin, morfin, Quaaludes, PSK, helikopter, dan mainan mahal lainnya. Pokoknya apapun yang bisa dibeli pakai duit, dia beli tanpa rasa bersalah. Teresa tak kenal lagi suaminya.

Sementara itu, FBI dan SEC (Komisi Bursa dan Sekuritas AS) mulai curiga dengan meroketnya Stratton Oakmont. Perusahaan di Long Island ini diduga melakukan penipuan dan pencucian uang. Belfort sama sekali tidak sadar sedang diawasi.

Bersiaplah untuk  tiga jam yang penuh caci maki, sumpah serapah, perilaku buruk, narkoba, minuman keras, hingga pesta liar, yang kata Belford, “Because it’s awesome.”  Itu pun sudah ada bagian kena gunting sensor.

The Wolf of Wall Street diangkat dari memoar berjudul sama, terbit pada 2007, ditulis Jordan Belfort, mantan pialang yang sekarang jadi motivator. Scorsese bukan hanya mengadopsi tapi juga menyuntikkan “racun” ke dalamnya sehingga film ini menyengat dari awal hingga akhir. Tiga jam yang berjalan cepat.

Baru kali ini, setelah Goodfellas (1990), Scorsese melangkah percaya diri masuk ke sebuah cerita, nyaris sempurna menggabungkannya dengan cue musik, dan menyelipkan komedi yang lucunya memabukkan. Setelah lebih dari 20 tahun, The Wolf of Wall Street seakan mengisi ulang energi sutradara berusia 71 tahun itu dan menjadi karyanya yang paling “kurang ajar” serta provokatif.

Scorsese tidak dengan cepat mengutuk gaya hidup rusak Belfort, melainkan menikmati dulu kebobrokan itu dengan berlama-lama di balik kamera. Penonton dibawa ke sarang kejahatannya, Stratton Oakmont, dan melihat bagaimana taktik licik lahir. Prostitusi, blow job, bahkan main lempar orang cebol berulang-ulang dimunculkan.

Bisa dibayangkan pusingnya editor, Thelma Schoonmaker, menentukan bagian mana yang mesti dipotong. Ditambah lagi karena akting emas seluruh pemain.

Jordan Belfort sebenarnya bukanlah karakter kompleks, tapi di tangan DiCaprio, Belfort tak ubahnya monster, bahkan kita dibuat yakin orang ini terlahir serakah dan sombong. Namun ketika dia berpamitan di depan seluruh kolega dan karyawan karena akan meninggalkan dunia sekuritas untuk mencoba hal lain, kesan baru muncul, bahwa orang satu ini jenius bukan buatan.

Jonah Hill tampil menonjol sebagai Donnie yang menyebalkan. Giginya yang putih besar-besar, kecenderungan seksualnya yang ganjil, dan lebih raja tega ketimbang Belford, Donnie sebenarnya lebih parah dibanding Si Serigala.

Adegan klimaks film ini adalah saat Belford dan Donnie berkelahi dalam keadaan sama-sama nyaris koma akibat Quaalude. Dengan lidah pelo, badan sulit tegak, air liur mengucur, keduanya berebut telepon dan sama-sama terlilit kabel telepon. Brilian. Singkatnya, menghabiskan tiga jam di The Wolf of Wall Street, Scorsese semakin menguatkan ucapan Gordon Gekko dalam Wall Street (1987), “Greed is not good, it’s great!”

***

Dimuat di Majalah Detik edisi 113, 27 Jan – 3 Feb 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.