Lansekap Kota dalam Bidikan Lensa
Kota-kota dunia menghadapi masalah yang nyaris seragam sejak urbanisasi jadi sebuah gerakan masif. Fotografer Ostkreuz menyuguhkannya dalam esai fotografi yang menawan.
Oleh: Silvia Galikano
Gedung-gedung tua merah bata masih berdiri rapat-rapat berdampingan, tak beda dengan masa jaya Detroit pada 1950-an, tapi kini wajahnya muram, tak ceria. Petak-petak luas tempat parkir di depan deretan gedung ditinggalkan kosong, hanya berkawan tiang-tiang lampu yang mengitarinya. Di jalan tak tampak lagi mobil melintas.
Detroit adalah kantor pusat tiga produsen mobil terbesar di Amerika, yaitu Ford, Chrysler, dan General Motors. Dulu, berduyun-duyun orang datang mencari pekerjaan ke sini. Umumnya orang kulit hitam. Mereka bermukim di tengah kota, dekat tempat kerja di pabrik mobil. Sedangkan masyarakat kulit putih menghuni kawasan pinggir kota.
Dan ketika pada abad milenium, para produsen mobil mengalami kesulitan dan terpaksa mem-PHK pekerja secara besar-besaran, pusat kota pun sepi setelah ditinggalkan penduduknya. Kawasan pinggir kota, yang umumnya dihuni masyarakat kulit putih, tidak terusik. Itu sebabnya sekarang kota Detroit dijuluki “donat urban.” Berisi di tepi, kosong di tengah.

Fotografer Dawin Meckel memotret Detroit hari ini yang kosong dan ditumbuhi rumput dalam seri Downtown (Pusat Kota). Salah satunya adalah foto berjudul Waste Land in the City Center yang jadi pembuka tulisan ini.
Sedangkan dalam Al Hill Lives in the Largest Empty Building in Detroit, the Former Packard Automobile Factory, semakin terlihat demikian merananya Detroit sebagai kota yang ditinggalkan.
Yakni melalui sosok pria berambut dan berjenggot putih, ditemani dua anjingnya, berdiri di depan bekas pabrik mobil yang nampak sudah lama dikosongkan. Merekalah yang sekarang jadi “pemilik” dan penghuni tetap gedung.
Dawin Meckel bersama para fotografer lain dari Ostkreuz, sebuah agensi foto penting di Jerman, mengonsep pameran Kota: Tentang Kebangkitan dan Keruntuhan (Die Stadt: Vom Werden und Vergehen) yang sejak 2010 dipamerkan di banyak negara. Di Jakarta, 150 foto itu dapat dilihat umum pada 24 Januari hingga 7 Februari 2014, di Galeri Nasional.
Dalam memperingati 20 tahun Ostkreuz, 18 fotografer dari agensi ini melakukan penjelajahan untuk mencari intisari realitas perkotaan masa kini. Mereka, di antaranya, Sibylle Bergemann, Annette Hauschild, Harald Hauswald, Pepa Hristova, Andrej Krementschouk, dan Ute Mahler, mengumpulkan foto mengenai kebangkitan dan keruntuhan urban dari 22 kota di seluruh dunia.
Kesan-kesan pribadi tentang kehidupan di Tokyo, Manila, Lagos, Las Vegas, Berlin, Minsk, dan Gaza dipadatkan dalam sebuah esai fotografi.
Upaya inventarisasi ini dipicu adanya rekor baru urbanisasi pada 2008, yakni untuk pertama kali lebih banyak orang berdiam di kota daripada di pedesaan. Proses yang sudah teramati sejak masa industrialisasi abad ke-19 itu kini menghasilkan 25 mega-kota yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Sebaliknya, ada kota yang malah menyusut atau dihancurkan.

Ostkreuz didirikan tujuh fotografer di Berlin Timur pada 1990, akhir masa Jerman Timur. Saat ini Ostkreuz beranggotakan 18 orang yang hampir semuanya pernah meraih penghargaan tingkat nasional dan internasional.
Khusus di Jakarta, pameran fotografi Kota memamerkan juga sejumlah karya fotografer Indonesia, Fanny Octavianus dari Antara News Agency, Jakarta. Fanny mengumpulkan perspektifnya sendiri tentang Jakarta yang kelak akan disusun menjadi buku foto berjudul JKT.
Dari kacamata orang yang setiap hari berhadapan dengan kehidupan Jakarta, Ushuaia jadi demikian unik. Kota di ujung selatan Argentina ini adalah juga kota paling selatan di dunia. Jorg Bruggemann merekam kehidupan masyarakatnya dalam esai foto Mas Austral.
Sampai akhir 1940-an, nyaris seluruh penduduk Ushuaia adalah narapidana yang dibuang ke tempat terpencil ini. Setelah dibentuk zona perdagangan bebas pada 1970-an, berbagai industri mulai tumbuh. Sekarang Ushuaia, kota berukuran 23 km persegi, dihuni 60 ribu jiwa.

Walau letaknya secara harafiah di ujung dunia, anak muda di sana ikut larut dalam arus globalisasi. Mereka menggunakan internet, menonton video di Youtube, dan mengunduh musik.
Di jalanan mereka berkumpul dengan teman, membuat grafiti dengan cat semprot, mendirikan band, minum bir, bermain skateboard. Ada komunitas hardcore, punk, skater, BMX, hiphop, elektro. Semua aliran generasi muda ada di Ushuaia, hanya saja dalam skala kecil.
Perubahan yang terbilang besar-besaran adalah Dubai. Gedung-gedung pencakar langit susul menyusul berdiri. Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia (829.8 meter), saat itu masih dalam proses pengerjaan. Thomas Meyer melalui esai Resort menyuguhkan wajah Dubai yang jarang kita temui.
Sejak awal datang sudah dia niatkan untuk tidak terbujuk gigantomania. Meyer menghindari segala kebesaran, lalu mencari detail, struktur, dan ornamen. Dalam foto Downtown Dubai dia menangkap tiga pekerja berdiri di sebuah lahan kosong yang luas, bersebelahan dengan gedung pencakar langit. Tiga sosok itu tak ubahnya nyamuk ketika dikontraskan dengan keluasan lahan kosong dan barisan gedung di dekatnya.
Terkesan, pertimbangan komersial jadi satu-satunya alasan “lomba tinggi-tinggian” gedung di Dubai. Tak terlihat visi, gagasan, dan konsep yang mengatakan seperti inilah kami ingin hidup. Selain Burj Khalifa, banyak gedung lain yang tidak terasa urgensinya diselesaikan lalu mencari penghuni atau penyewa.

Meyer menuliskan kalimat ini dalam pengantar esainya, “Saya sempat lihat orang-orang tampak bingung di depan bangunan yang mereka bangun sendiri. Segala kebangkitan di sini langsung dibayangi kehancuran, seakan-akan bangunan baru sekaligus merupakan reruntuhan, seakan-akan kelahiran dan kematian menjadi satu.”
Ratusan ribu orang setiap harinya di seluruh dunia pindah dari desa ke kota. Ada janji untuk kehidupan yang lebih baik, kesejahteraan, kesempatan yang lebih besar, dan kebebasan di sana. Tapi kota juga menyembunyikan kemiskinan, kriminalitas, dan ketimpangan sosial yang jadi ciri banyak kota metropolitan.
Kota adalah awal dari peradaban, peleburan kebudayaan, mental, agama, dan ide. Asal-usul dan keluarga jadi tak begitu penting selama bisa membuktikan pencapaian di bidang budaya dan sosial. Di kota, setiap orang merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang bermakna, tapi sekaligus hanya salah satu komponen kecil yang tidak penting. Kota menyimpan masa depan dunia.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 114, 3-9 Februari 2014