Berbincang Batu pada Clara

berbincang batu pada clara pek veis
Dalam detailnya, batu menjadi ruang perenungan tanpa batas. Tentu ini menjungkirbalikkan persepsi yang selama ini dipercaya secara luas.

Oleh Silvia Galikano

Batu 9 dalam empat kanvas menempatkan kita seolah-olah sedang berdiri di bibir tebing karang di tepi samudera. Karangnya dilukiskan dalam detail, seperti melihat melalui kaca pembesar. Berlajur-lajur, dan setiap lajur punya pola gerigi yang berbeda satu sama lain.

Batu tak menjadi “oh cuma batu” di tangan Clara Pek Veis. Dia memberi peran bagi benda yang sering dianggap tak penting ini. Peran batu dalam sebuah lansekap bukan semata-mata onggokannya, melainkan detailnya yang menyimpan keindahan. Di bawah kaca pembesar pula kerikil jadi berwarna-warni dan bersinar.

Mungkin itu sebabnya Clara memberi tajuk pameran tunggal pertamanya ini Nothing is Something. Yang dianggap “nothing” oleh orang lain adalah “something” bagi Clara. Sesuatu yang berarti. Rangkaian lukisannya dapat dinikmati pada 19-29 April 2014 di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Chandra Johan, pelukis yang memberi pengantar pameran, menyebut pemilihan batu sebagai subyek lukis adalah simbol keberhasilan Clara memiliki ruang privat. Ruang privat simbolik yang sangat terbatas sebagai perempuan, terlebih istri seorang duta besar. Clara Zondag adalah istri Duta Besar Yunani untuk Indonesia, Georgios Veis.

Karya-karyanya berfokus pada satu subyek, yaitu batuan. Sederhananya, bisa jadi karena di Yunani, negeri keduanya setelah Indonesia, Clara hidup di lingkungan yang berbukit-bukit, pemandangan Santorini yang berbatu-batu, puing-puing dari masa lampau, atau pulau dan laut dengan karang batunya.

Namun di lapis lebih dalam, lewat bebatuan, yang dilukis dengan teknik tekstur tebal, Clara menawarkan gagasan tentang nilai-nilai dan maknanya. Dari sesuatu yang sangat sederhana dan dapat ditemui berserakan di mana-mana, Clara membuatnya eksis.

Dia menjungkirbalikkan persepsi dengan “mengangkat” derajat batu ke posisi tertentu hingga berbeda nilainya. Perlu pengelolaan tersendiri untuk menjungkirbalikkan persepsi hingga menghadirkan makna, filosofi, serta nilai-nilai batu.

Sepotong batu bisa menjadi sangat puitis di tangan penyair dan bisa membangkitkan citra surreal di tangan perupa. Ambil contoh, di tangan penyair Michael Blumenthal, batu melambangkan kuasa laki-laki atas perempuan, tapi kemudian perempuan juga yang menenggelamkannya ke dasar lautan. Maka batu di sini melambangkan daya hidup yang terus menerus harus dipanggul laki-laki meskipun akhirnya sia-sia.

Bagaimana bentuk batu yang tidak definitif itu dapat diasosiasikan dengan hal lain, yakni bentuk dan ruang, adalah dengan membiarkan ruang kosong yang lebih luas guna membangun gagasan less is more. Hingga tak ubahnya zikir visual ketika Clara tertegun dengan kerasnya batu, terpesona dengan tekstur dan permukaan batu yang kasar, hingga keberanian melukiskannya secara berulang-ulang.

Clara pertama-tama mengisolasi batu dari lingkungan alamiahnya, lalu memaknainya di atas bidang kosong yang luas dengan warna-warna kontras. Hasilnya, kita tak lagi terpaku pada batu itu semata, tapi juga keseluruhan elemen ruang dan bentuk yang diciptakannya.

Dari cara penyajian demikian, Clara memiliki kecerdasan visual, selain mata yang sudah terasah, untuk mengangkat hal-hal sepele apa pun menjadi sesuatu yang menarik. Bahwa melukis bukan sekadar mengisi waktu luang atau semata-mata hobi nyonya pejabat, melainkan sebuah ekspresi diri dari ruang privat yang sudah dimilikinya. Nothing is Something adalah kejujuran Clara tentang kesungguhannya dalam melukis.

 ***
Dimuat di Majalah Detik edisi 102, 28 April – 4 Mei 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.