Pesan Lestari Pesta Seni Anak-anak

Pesan Lestari Pesta Seni Anak-anak
Rakyat sebuah negeri berhasil mempertahankan negerinya dari pengusaha tamak yang ingin mengambil tanah mereka. Pancasila yang selama ini dipegang teguh melahirkan getaran kehidupan dan kasih sayang di jiwa rakyatnya. Alien pun ngacir.

Oleh Silvia Galikano

Sekumpulan petani yang bekerja riang di sawah dan ladang terganggu dengan datangnya seorang pengusaha. Dia hendak menggusur petani dan mengubah sawah ladang mereka jadi hotel, restoran, pasar swalayan, dan taman rekreasi.

Pengusaha ini sudah menyebabkan gunung gundul, pohon-pohon tandas ditebang, lembah kering kerontang, dan lautan tercemar. Dia juga membakar hutan, membuat kijang mati diamuk polusi, banjir di mana-mana, asap sampai ke negara-negara tetangga, hingga waduk kering. Belum lama ini dia pula yang menghancurkan monumen Garuda Pancasila yang dulu dibangun warga secara bergotong royong.

“Jangan coba menghalangi jalan!” si pengusaha menghardik warga, “Roda pembangunan mesti berjalan. Siapa menghalangi, siap mati.”

Si pengusaha tak kompromi pada siapapun yang menentang rencananya. Yang membangkang dia buang ke belakang. Hutan dianggap tak ada faedahnya, pohon dianggap tak berjiwa, jadi lebih baik dibasmi. Sedangkan manusialah makhluk utama.

Rakyat melawan. Pengusaha yang licik ini berhasil ditangkap. Namun karena rakyat “terlalu baik hati” dan menghindari cara kekerasan, si pengusaha dapat melarikan diri. Bahkan dia menertawakan ketika rakyat berdoa dan meminta ampun pada Tuhan karena selama ini sudah lalai.

Namun di saat yang tidak diduga, pengusaha itu datang lagi ke kampung, menangis-nangis minta maaf pada rakyat. “Aku mengaku salah, aku tobat. Aku rusak hutan, cemari laut, polusi udara, rampok bumi. Aku dosa.”

Demikian isi cerita Spectacle Zero: a Visual Theatre Performance karya Putu Wijaya yang dipentaskan Teater Tanah Air di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat 11 April 2014. Pementasan ini merupakan bagian dari Pesta Kesenian Anak-anak “Mutiara Indonesia” (Peska) X, tontonan yang dikhususkan bagi anak-anak dan keluarga, digelar pada 11, 12, dan 13 April 2014.

Sutradara Jose Rizal Manua kali ini menyuguhkan penampilan berbeda. Dalam durasi hampir 45 menit, anak-anak dari Teater Tanah Air ini berada di panggung nyaris terus menerus secara full-team, bukan ke belakang panggung dulu sebagian untuk nanti bergantian tampil.

Butuh pemain berdedikasi kuat untuk bisa membawakannya nyaris tanpa cela seperti anak-anak ini. Tentu itu pekerjaan rumah yang tidak main-main juga bagi penata Gerak Jecko Siompo untuk menciptakan gerakan-gerakan yang bukan hanya berbobot artistik, tapi juga tetap nyaman dinikmati dari kursi penonton tanpa menerbitkan rasa bosan.

Kami anak-anak pewaris dunia// Penerus masa depan umat manusia// Kami sedih damai lenyap tak ada// Manusia terus perang antarsesama

Setelah Spectacle Zero, keesokan harinya, tampil kelompok Animal Pop Family membawakan tarian Animan Pop Dance Musical. Tari ini terinspirasi dari tarian tradisional Indonesia yang dikombinasikan dengan teknik poppink (hip hop dance).

Pada hari terakhir, Minggu 13 April 2014, Farabi Dwiki Dharmawan Music School menyuguhkan konser musik Anak Negeri Bernyanyi yang menampilkan para musisi cilik berbakat dan dalang cilik.

Tahun ini adalah pelaksanaan Peska yang ke-10. Peska pertama kali diselenggarakan pada Maret 1999, bertepatan liburan sekolah. Karena kalender pendidikan terus berkembang, pelaksanaan Peska berubah mengikuti jadwal kalender pendidikan. Peska selanjutnya akan berlangsung secara berkala setiap dua tahun sekali.

Kembali ke Spectacle Zero, kini negeri para petani kembali tenang. Bapak dan ibu petani bisa mengakrabi lumpur sawahnya lagi tanpa teror. Namun tanpa mereka ketahui, selama ini ada dua alien yang mengawasi dari kejauhan, melihat kemungkinan untuk menguasai bumi.

Keduanya melapor ke komandan mereka bahwa di sini ada kehidupan yang bukan sembarang hidup. Ada getaran kehidupan dan kasih sayang. Adat, tradisi, dan kearifan lokalnya sedang bangkit.

“Komandan, aku dengar Pancasila. Aku dengar Ketuhanan yang Maha Esa, aku dengar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, aku lihat Persatuan Indonesia, aku lihat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, aku melihat Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Mereka cepat-cepat kabur, mencari planet lain yang benar-benar mati, yang tidak memiliki peradaban. “Jangan ganggu mereka. Biarkan Merah Putih berkibar. Biarkan Indonesia Raya!”

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 125, 21-27 April 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.