Wahyu Suci Gelung Drupadi
Ada kekuatan sekeras baja di balik kelembutan dan kecantikan parasnya. Drupadi, sang ibu bumi dengan keluhuran pribadi, jadi perempuan spesial sepanjang masa.
Oleh Silvia Galikano
Drupadi berputar-putar. Jariknya ditarik terus dan terus oleh Dursasana di atas meja judi. Perempuan ini dipermalukan habis-habisan. Suaminya sendiri, Yudhistira, yang menjadikan istrinya sebagai bahan taruhan judi dadu.
“Sewu real minangka botohanipun…Paman! (Seribu real sebagai taruhannya…Paman!),” Duryudana, kakak sulung Dursasana dari keluarga Kurawa, sesumbar sebelum dadu diputar Sengkuni. Tanpa dikira sama sekali oleh Yudhistira, sulung keluarga Pandawa itu kalah. Dan kini, setelah hartanya habis, istrinya yang dia serahkan pada lawan judinya.
Adegan tersebut adalah klimaks cerita Drama Tari Musikal Pulung Gelung Drupadi oleh Suksma Budaya di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 25-26 April 2014. Klimaks cerita diikuti klimaks tata panggung berikut pencahayaan yang dramatis.
Pementasan ini menyuguhkan tampilan unik dengan dua penari berperan sebagai Drupadi, yakni Via, penari alumni ISI Surakarta, dan Nungki Kusumastuti. Tak jarang keduanya ada di panggung secara bersamaan memerankan dua “wajah” Drupadi, yakni sebagai ibu yang agung dan sebagai perempuan yang disia-siakan suaminya.
Pulung Gelung Drupadi disampaikan dalam bahasa Jawa, kecuali monolog Drupadi yang diucapkan dalam bahasa Indonesia. Ada empat inti pembabakan pergelaran yang masing-masingnya diiringi tembang-tembang magis, yakni Kelahiran, Rambut Tergelung, Terlepasnya Gelung, dan Rambut Tergelung Kembali dengan Pensucian. Tentu di sana ada peran besar Gandung Bondowoso sebagai pengarah drama, Sri Astari Rasjid sebagai produser dan artistik, dan Mitu M. Prie sebagai pengarah kreatif dan esensi naskah yang menjadikan drama tari ini menarik selain dapat dicerna.
Dalam kisah pewayangan Jawa, Drupadi lahir dari api suci. Sosoknya anggun, berparas cantik, dan bersifat rendah hati serta welas asih. Perempuan yang kemudian diperistri Yudhistira itu memiliki kekuatan sebagai pengimbang sekaligus pengayom kelima Pandawa, terutama pada masa menyedihkan dalam perjalanan hidup mereka bersama.
Namun di balik ketenangannya, Drupadi mampu mengubah sejarah. Dialah penyebab perang besar Bharatayuda antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, setelah dirinya jadi barang taruhan judi suaminya.
Kainnya dilucuti, hendak ditelanjangi Dursasana, tapi tidak pernah bisa. Lilitan kain di tubuhnya tak habis-habis. Maka terucaplah sumpah Drupadi bahwa dia tidak akan pernah menggelung rambutnya sebelum dicuci dengan darah Dursasana, karena gelung ibarat garbha (kerahiman) suci, yang juga berarti kehormatan perempuan yang sakral.
Dan ketika sumpahnya terlaksana, panggung berubah merah “mengerikan” dengan suara gemericik darah yang mengucur dari rambut Drupadi. Perempuan itu duduk menghadap bokor berisi darah Dursasana. Dengan tangan dia menciduk, lalu membawanya ke kepala dan mengusapkan ke rambut, berulang-ulang hingga darah dalam bokor habis, hingga merah tanah di sekitarnya makin luas.
Drama Tari Musikal Pulung Gelung Drupadi menyuguhkan kekuatan dan kedalaman sosok Drupadi sebagai salah satu poros budaya adiluhung. Dia berani jadi sesaji demi menjaga harkat saudara-saudaranya Pandawa yang kalah judi dadu. Inilah bentuk “suksma Drupadi”, sebuah sisi spiritual yang tidak banyak dikenal.
Figur kehalusan spiritualnya memancarkan kehormatan seorang perempuan, ibu, dan kekasih. Drupadi dalam refleksi alam semesta adalah ibu bumi, ibu pertiwi. Wujud kasih sayang mendalam yang tak terhingga di tengah pergulatan kehidupan beragam moral manusia.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 127, 5-11 Mei 2014