Rumah Kiagus Husin, Karya Bung Karno di Bengkulu

Rumah Kiagus Husin
Rumah Kiagus Husin di Jalan Prof. Hazairin, Bengkulu. (Foto: Silvia Galikano)

Oleh Silvia Galikano

Rumah ini saya temukan saat jalan kaki selepas asar dari masjid Muttaqin dekat Pasar Barukoto menuju Gereja St. Yohanes di seputaran Lapangan Merdeka, Bengkulu, Jumat 5 September 2014.

Melihat bentuk atapnya, saya langsung ingat foto rumah rancangan Bung Karno yang dipasang di Rumah Pengasingan Bung Karno di Anggut Atas. Sama persis.

Baca juga Melongok Kejayaan Siak

Saya tengok plang jalan. Jalan Prof. Hazairin, dan berlokasi di hoek, sama dengan yang tertera di keterangan fotonya. Apa benar ini rumahnya?

Saya menyeberang jalan, menuju rumah itu.

kiagus husin, sukarno, bung karno, bengkulu
Kiagus Husin dan Saodah. (Foto: SIlvia Galikano)

Seorang bapak berkaus hijau keluar dari rumah itu, pergi ke halaman samping. Setelah menyandarkan kruknya di pagar, dia merunduk di atas tumpukan sampah. Mungkin hendak membakar sampah.

Dia menegakkan badan dan menjawab salam, kemudian menjawab pertanyaan saya,

“Betul. Rumah ini dirancang Bung Karno. Ini rumah kakek saya.”

Baca juga Masjid Jamik Bengkulu

Bapak yang sebagian rambut gondrongnya berwarna perak itu bernama Kemas (Km) Ali Arridha Thaha, 55 tahun. Ayahnya, Kol (Pol.) Km Thaha, punya jabatan terakhir Wakapolwil Bengkulu.

Begitu pensiun, Thaha menolak jabatan apa pun dan memilih menghabiskan masa pensiun dengan tenang hingga meninggalnya.

Thaha punya 9 anak, 7 perempuan dan 2 laki-laki. Satu anak laki-laki sudah meninggal, tinggal Ali anak laki-laki Thaha.

kiagus husin, sukarno, soekarno
Rumah Kiagus Husin, September 2014. (Foto: Silvia Galikano)

Selama masa pembuangan di Bengkulu pada 1938-1942, Bung Karno sempat merancang beberapa bangunan. Dua di antaranya Masjid Jamik Bengkulu dan Rumah Kiagus Husin.

Yuke Ardhiati dalam buku Bung Karno Sang Arsitek (2004) menuliskan  bahwa Sukarno yang insinyur teknik sipil dari Technische Hoogeschool (THS), Bandung, itu membuat padu padan gaya arsitektur pada periode 1926-1945. Padu padan gaya dan menolak nuansa kolonial dinilai memiliki konsistensi sekaligus memberi entitas bagi karya Sukarno.

Baca juga Bentang Bagak Arsitek F. Silaban

Gaya tersebut dapat dilihat di rumah Kiagus Husin. Bentuk atap mansard (atap dengan empat sisi miring curam), adanya tritisan, jendela atap dormer windows, dan hiasan kemuncak atap menyerupai gada.

Konon, inspirasinya adalah gada senjata Bima sang tokoh pewayangan yang jadi karakter favorit Sukarno. Demikian kagumnya Sukarno pada Bima, nama ini dia pilih sebagai nama pena dalam tulisan-tulisan kebangsaan di surat kabar Oetoesan Hindia milik HOS Tjokroaminoto.

Selain itu, penggunaan ventilasi alami melalui lubang ventilasi silang; pilar bentuk persegi polos dengan aksen kepala pilar berupa ornamen Inka-Maya; detail kaca patri (stained glass) pada jendela, pintu, dan plafon; serta penggunaan material alami.

Ruang depan
Ruang depan. Foto: Silvia Galikano.

Pernah jadi rumah sakit

“Lihat dua tonjolan di wuwungan. Saya tidak tahu itu apa, tapi rumah-rumah rancangan Bung Karno pasti ada itunya,” kata Ali usai memapankan diri, duduk di atas tembok teras. Saya berdiri di dekatnya.

Benar juga. Rumah di Kebun Ros, Bengkulu, yang juga dirancang Bung Karno, ada dua tonjolan serupa, onamen gada.

Kakeknya (mertua Thaha), Kiagus Husin, menjabat Kepala Adat di Karesidenan Bangkahulu saat Bung Karno membuatkan rancangan rumah ini. Keduanya bersahabat.

kiagus husin, sukarno, bung karno, bengkulu
Ruang Tengah. (Foto: Silvia Galikano)

Ali tidak tahu bagaimana ceritanya sampai Bung Karno merancangkan rumah untuk kakeknya, padahal saat itu kakeknya sudah punya rumah. Dia juga tidak tahu apakah kakeknya sempat menempati rumah itu atau tidak.

Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia

Sepenuturan Ali, Kiagus Husin seorang pintar dan berwawasan luas. Dia menguasai lima bahasa asing, kemampuan yang juga dimiliki Thaha.

“Kakek saya itu paling berani pada Belanda. Dia disegani Belanda. Jabatannya kepala adat, tapi gajinya di atas Residen.”

Kiagus Husin yang beristrikan Saodah, wafat di Jakarta pada 1971.
Pada masa Orde Baru, rumah ini sempat jadi Rumah Sakit Angkatan Darat.

Keluarga Thaha kemudian mengurus pengambilan kembali rumah ini. “Surat-suratnya, sertifikat rumah ini, ada pada kami kok. Mereka mau ngotot apa buktinya?”

Guruh Soekarnoputra adalah satu-satunya keluarga Bung Karno yang pernah datang ke rumah ini. Waktu itu Ali sedang tidak di rumah, jadi adiknya yang menerima. Selebihnya yang datang adalah mahasiswa (dari Jakarta, mahasiswa Universitas Trisakti) untuk keperluan studi.

Rumah Kiagus Husin terdiri dari dua rumah, yakni yang bercat putih (menghadap utara) dan yang bercat hijau (menghadap timur), dengan bagian belakang saling tersambung. Tampak depannya masih mempertahankan keasliannya.

Baca juga Rumah Inggit Garnasih

Ali menempati rumah putih, adiknya di rumah hijau. Sebagian rumah putih sudah diubah bentuknya jadi “modern” dengan teras berpilar kecil, dan kini dihuni seorang adiknya.

Empat bersaudara tinggal di Bengkulu: tiga di sini, satunya lagi terpisah di wilayah lain di Bengkulu.

Rumah Hijau
Rumah bercat hijau menghadap timur. Foto: Silvia Galikano.

Bagaimana bisa sebagian rumah putih itu diubah bentuknya? Mungkin karena rumah ini tidak termasuk dalam benda cagar budaya meski usianya tua, sejarahnya jelas, orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang terbaik bangsa.

Bisa jadi Anda terkejut dengan hipotesis itu sama seperti saya yang seketika kelu lidah sewaktu Ali menjawab cepat tanpa ragu, “Ngga. Rumah ini bukan benda cagar budaya.”

Siapa yang dirugikan di sini? Bangsa Indonesia? Warga Bengkulu? Pemilik rumah? Pemkot & Pemprov Bengkulu? Semua benar? Semua salah?

Sekarang silakan googling “Kiagus Husin” atau “Rumah Kiagus Husin,” adakah hasilnya?

***

 

13 Replies to “Rumah Kiagus Husin, Karya Bung Karno di Bengkulu”

  1. Salam kenal Bu. Saya adalah salah seorang cucu dari Kiagus Haji Husin. Ayah saya bernama Kiagus Thalus Syamsu. Beliau satu-satunya anak dari istri kedua Kiagus Haji Husin yaitu Siti Hapsah. Kakek saya menikahi nenek saya setelah ditinggal wafat oleh istrinya, Saodah. Salah seorang anak Kiagus Haji Husin dari istri pertama yaitu Kiagus Muchsin sampai saat ini masih ada dan bermukim di Bekasi. Jika ibu ingin menggali lebih dalam tulisan mengenai sosok Kiagus Haji Husin dan kedekatan kakek saya dengan Ir. Soekarno atau mengenai sejarah kota Bengkulu mungkin bisa menghubungi beliau. Saya sangat senang dan ucapkan terima kasih atas tulisan ibu di blog ini khususnya mengenai kakek saya dan rumahnya. Tambahan informasi dari saya yang saya ketahui, kakek saya juga seorang penulis buku. Ada beberapa buku yang beliau tulis seperti : Kumpulan Undang-undang Adat Lembaga dari Sembilan Onderafdelingen dalam Keresidenan Bengkulu, Kitab Himpunan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia dll. Saya juga ingin bertanya kepada Ibu, apakah atas buku-buku kakek saya tersebut para ahli warisnya masih bisa menerima Hak Cipta seandainya ada dari ahli waris yang ingin mengurusnya ? Demikian. Terima kasih.

  2. Salam kenal Bu.
    ==> Salam kenal kembali, Pak Bustanul. Semoga dalam keadaan sehat.
    Saya adalah salah seorang cucu dari Kiagus Haji Husin. Ayah saya bernama Kiagus Thalus Syamsu. Beliau satu-satunya anak dari istri kedua Kiagus Haji Husin yaitu Siti Hapsah. Kakek saya menikahi nenek saya setelah ditinggal wafat oleh istrinya, Saodah.
    Salah seorang anak Kiagus Haji Husin dari istri pertama yaitu Kiagus Muchsin sampai saat ini masih ada dan bermukim di Bekasi. Jika ibu ingin menggali lebih dalam tulisan mengenai sosok Kiagus Haji Husin dan kedekatan kakek saya dengan Ir. Soekarno atau mengenai sejarah kota Bengkulu mungkin bisa menghubungi beliau.
    ==> Baik, Pak. Kalau suatu hari saya butuh menghubungi Pak Kiagus Muchsin, saya akan hubungi Pak Bustanul. Saya juga tinggal di Bekasi.
    Saya sangat senang dan ucapkan terima kasih atas tulisan ibu di blog ini khususnya mengenai kakek saya dan rumahnya.
    ==> Saya lebih senang lagi ada kerabat Pak Kiagus Husin yang membaca blog saya.
    Tambahan informasi dari saya yang saya ketahui, kakek saya juga seorang penulis buku. Ada beberapa buku yang beliau tulis seperti : Kumpulan Undang-undang Adat Lembaga dari Sembilan Onderafdelingen dalam Keresidenan Bengkulu, Kitab Himpunan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia dll.
    Saya juga ingin bertanya kepada Ibu, apakah atas buku-buku kakek saya tersebut para ahli warisnya masih bisa menerima Hak Cipta seandainya ada dari ahli waris yang ingin mengurusnya ?
    ==> Masa berlaku perlindungan hak cipta di Indonesia adalah seumur hidup penciptanya. Jika sang pencipta yang memiliki hak cipta sudah meninggal dunia maka berlaku 50 tahun sesudahnya. Orang yang berhak mewarisi hak cipta tersebut adalah keluarga yang jadi ahli waris dari pencipta. (UU 19/2002 bab III dan pasal 29).
    Demikian. Terima kasih.
    ==> Kembali kasih, Pak.Semoga terjawab ya.

  3. Wah terima kasih udah share. Kebetulan bapak saya cerita bahwa dulu Yai (Kakek) saya, ayahnya bapak, ke Bengkulu buat menemui alm. Kiagus H. Husin yang merupakan omnya Yai, yang katanya adalah orang yang dihormati di bengkulu. Setelah baca blog ini, saya makin yakin bahwa memang benar adanya beliau merupakan Om dari Yai saya. terima kasih karena sudah membuat tulisan ini sehingga saya masih bisa ‘meraba’ sanak keluarga dari pihak Yai saya….

  4. Salam kenal, Iqbal, semoga suatu saat bisa melihat langsung rumah yai ya.
    Beberapa bulan lalu saya juga dikontak cicit Kiagus Husin, bernama Daniel tinggal di Madiun. Mungkin Iqbal kenal?

  5. Salam kenal Mba Silvia. Seneng banget baca-baca blog Mba Silvia. Jadi tambah pengetahuan. Saya suka cerita tentang rumah-rumah lama. Dan gaya bertutur mba unik, bikin pengen terus baca. Ada niatan buat membukukan kisah-kisah rumah lama seperti ini nggak Mba? Pasti bagus dijadikan dalam 1 buku.

Leave a Reply to Silvia Galikano Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.