Dalam Cinta Abadi Jayaprana & Layonsari

jayaprana layonsari
Tiongkok punya Sampek Engtay dan Eropa punya Romeo dan Juliet, Bali punya Jayaprana dan Layonsari. Cinta sekejap saja mereka cecap, tapi alam jadi saksi abadi.

Oleh Silvia Galikano

I Nyoman Jayaprana adalah abdi kerajaan Wanekeling Kalianget, Buleleng. Pemuda ini cerdas, cekatan, dan tampan hingga raja Anak Agung Gde jatuh simpati dan menganggapnya anak sendiri.

Jayaprana kini sudah cukup umur untuk menikah. Raja menitahkan abdinya itu untuk mencari seorang istri. Menuruti titah Raja, Jayaprana mulai mencari istri. Dia akhirnya bertemu dengan putri kepala desa Banjar Sekar bernama Ni Nyoman Layonsari.

Jayaprana jatuh cinta seketika dan akhirnya meminang perempuan tersebut. Layonsari menerima pinangan pemuda itu tanpa banyak pikir karena dia pun telah terpikat sejak awal bertemu.

Ada taman di hati keduanya ketika Jayaprana membawa istrinya ke hadapan Raja untuk mendapat restu. Namun kecantikan Layonsari menggugah Sang Raja, membuatnya gelap mata dan menginginkan Layonsari, apapun yang terjadi.

Raja mengatur muslihat agar tidak mengundang kecurigaan. Dia mengirim Patih Ki Sawunggaling untuk menghabisi nyawa Jayaprana dalam sebuah tugas akal-akalan raja, menumpas perompak dan perahu kandas di Teluk Terima.

“Hai engkau Jayaprana, manusia tiada berguna. Aku yang menyuruh membunuh kau. Dosamu sangat besar. Kau melampaui tingkah raja. Istrimu sungguh milik orang besar. Kuambil kujadikan istri raja.

Serahkanlah jiwamu sekarang. Jangan engkau melawan. Layonsari jangan kau kenang. Kuperistri hingga akhir zaman.”

Setelah Jayaprana meninggal di tangan patih, Layonsari pun dipinang raja. Namun cinta Layonsari pada Jayaprana tak tergantikan. Perempuan ini kemudian memilih mati dengan cara sati, menusukkan keris ke dadanya, menggunakan keris milik Jayaprana.

Jayaprana dan Layonsari jadi patron ideal pasangan suami-istri bagi masyarakat Bali. Sampai kini pun, setiap bulan purnama dan hari-hari suci Galungan dan Kuningan, banyak umat melayat ke makam Jayaprana di Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, sekira 67 km sebelah barat Kota Singaraja.

Legenda Bali ini diangkat Gigi Dance Company dalam sebuah dance musical berjudul Jayaprana dan Layonsari di Auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK), Jakarta, 28 Juni 2014. Sebanyak 11 penari membawakan kisah tragedi ini dalam sebuah pertunjukan berdurasi singkat, 30 menit. Gigi Dance Company adalah kelompok tari profesional yang berdiri pada 2009, yang membawakan berbagai jenis tarian, mulai dari ballet hingga tari tradisional.

Walau dasarnya tari dan musik Bali, Gigi Dance Company memasukkan unsur modern yang banyak, nyaris dominan malah. Ya gerak tarinya, ya kostumnya, ya musiknya. Dalam venue terbatas seperti GIK yang hanya berkapasitas 150 penonton, penampil memang harus bersiasat agar cerita dapat tersampaikan dengan tepat. Tak adil juga membandingkannya dengan pertunjukan di Teater Jakarta, misalnya.

Legenda Jayaprana dan Layonsari akan sempurna jika disajikan secara kolosal di panggung besar dengan durasi minimal 2 jam, tapi memerasnya jadi hanya 30 menit terasa seperti layu sebelum berkembang.

Saat penonton masih meraba-raba dan mencerna jalan ceritanya (dance musical ini tanpa dialog), tahu-tahu lampu sudah menyala, panggung sudah terang, seluruh pemain sudah keluar semua dan berjajar untuk membungkukkan badan. Untung saja tadi layar yang jadi latar belakang panggung sesekali menampilkan satu-dua kalimat intisari babak penting berseling visual yang menguatkan cerita.

Bagaimanapun, apresiasi layak diberikan pada Gigi Dance Company dan GIK yang sudah mengemas dan mempertunjukan cerita besar milik Indonesia ini dalam sebuah pertunjukan mini yang menarik.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 136, 7-13 Juli 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.