Di Ellis Island Mendaratkan Mimpi
Seorang imigran Polandia di Amerika terperangkap dalam lingkungan prostitusi demi menyelamatkan adiknya. Satu-satunya orang yang dia percaya akan jadi penolong, makin menampakkan bahwa ucapannya selama ini janji surga.
Oleh Silvia Galikano
Judul: The Immigrant
Genre: Drama | Mystery | Romance
Sutradara: James Gray
Skenario: James Gray, Ric Menello
Distributor: Weinstein Co
Pemain: Marion Cotillard, Joaquin Phoenix, Jeremy Renner
Durasi: 2 jam
Kapal yang mengangkut imigran dari Polandia baru saja lego jangkar di Ellis Island, New York, Amerika Serikat pada Juli 1921. Ini bukan rombongan pertama dari Polandia, juga bukan rombongan terakhir. Harapan sama saja dari waktu ke waktu, ada kehidupan yang lebih baik di tanah baru.
Rombongan itu kini digiring ke loket imigrasi untuk pemeriksaan surat-surat. Di dalam panjangnya antrean ada kakak beradik Ewa Cybulski (Marion Cotillard) dan Magda (Angela Sarafyan). Ewa sempat khawatir dengan kondisi Magda yang sejak tadi batuk-batuk. Apalagi Magda gagal menahan batuknya saat dua petugas menghampiri.
Dua petugas itu memisahkan adik dari kakaknya, membawa Magda ke rumah sakit untuk dikarantina karena batuknya diduga tuberkolosis. Yang membuat Ewa khawatir adalah, yang sudah-sudah, imigran yang ditemukan sakit akan dipulangkan ke negara asalnya setelah dinyatakan sehat. Maka ketakutan terbesar Ewa adalah tidak akan berjumpa adiknya lagi.
Kekalutan Ewa bertambah ketika petugas imigrasi tidak memberikan cap atas surat-suratnya karena dia diduga melakukan tindak asusila di kapal. Ewa dibawa ke dalam antrean khusus, antrean imigran bermasalah yang kemungkinan bakal segera dideportasi.
Ewa tidak tahu, dari tadi ada satu pria yang memperhatikan. Bruno (Joaquin Phoenix) namanya, dan nampak kenal dengan banyak petugas. Dia menghampiri Ewa, berbisik singkat dalam bahasa Poland, menawarkan jalan keluar yang segera disetujui Ewa.
Singkat cerita, Ewa kini tinggal di apartemen bersama sejumlah perempuan lain “asuhan” Bruno. Mereka adalah penari erotis di sebuah klub. Kalau ada klien yang meminta seks, perempuan-perempuan ini pun bersedia, tentu dengan hitung-hitungan tersendiri dengan Bruno.
Ewa tidak serta merta dijadikan penari erotis. Dia hanya dipaksa tampil di panggung, berpakaian tertutup, berperan jadi Lady Liberty yang kaku dan hanya mengangkat obor. Ewa patuh pada apa pun yang dikatakan Bruno karena, seperti kata Bruno, inilah upayanya mengumpulkan banyak uang untuk membebaskan Magda. Bruno kenal orang penting di Ellis Island, dan tentu saja jasa ilegal ini tidak gratis dan tidak murah.
Lalu muncul Orlando (Jeremy Renner), sepupu Bruno, di tengah-tengah mereka. Orlando adalah pesulap yang sebelumnya mengisi pertunjukan tetap untuk pasien di rumah sakit di Ellis Island. Orlando pernah melihat Ewa berada di tengah penonton. Saat itu, Ewa yang mendengar bakal ada acara hiburan untuk pasien, diam-diam menyeberang ke Ellis Island, berharap bertemu Magda di acara itu, tapi Magda tak dijumpai.
Kedatangan Orlando membuat Bruno tidak nyaman karena sepupunya itu jelas-jelas berusaha mendekati Ewa. Pasalnya Bruno yang selama ini menyukai Ewa tak kunjung punya sesuatu yang bisa dia banggakan di mata perempuan itu. Bahkan janji untuk membebaskan Magda-pun belum juga dia tunaikan.
Kukuhnya Ewa menjaga “kesucian” (yang dimaksud bukan keperawanan) dan kerasnya Bruno menahan hasratnya pada Ewa jadi faktor utama menariknya film ini. Mereka adalah karakter yang sama-sama membawa luka masa lalu.
Penampilan Marion Cottilard, seperti biasa, tak pernah mengecewakan. Dia memukau sebagai Ewa yang pandai menyembunyikan emosi, mengingatkan kita pada aktris-aktris film bisu. Mood film ini bergantung pada karakternya. Tak heran sutradara James Gray memberi porsi paling banyak pada Cotillard dibanding pada aktor lain.
Gray dan sinematografer Darius Khondji pandai menangkap keintiman emosional Cotillard dalam sejumlah adegan serta efektif dalam penggunaan ruang-ruang sempit khas New York 1920-an. Adegan Bruno dan Ewa diuber-uber polisi di terowongan adalah salah satu adegan kuat yang rasanya menyesakkan. Di sana tergambar besarnya keinginan mereka melarikan diri dari karakter masing-masing.
Walau ceritanya tentang cinta segitiga Bruno, Ewa, dan Orlando, The Immigrant sama sekali bukan drama sederhana, walau sedikit melodrama. Ewa terjebak di antara Orlando yang pengobral janji dan Bruno yang tidak dapat dipercaya, namun terus berusaha tetap pragmatis bahwa yang dia lakukan adalah yang terbaik untuk adiknya, bukan untuk kebahagiaannya sendiri.
Penulis skenario James Gray, Ric Menello membuat narasi yang tidak terburu-buru. Ada kompleksitas yang tersembunyi di bawah permukaan, lapis demi lapis. Mereka membangun peristiwa demi peristiwa secara cekatan hingga klimaksnya indah. Kalimat Joaquin Phoenix pada 5 menit terakhir film mengungkap begitu banyak hal tersembunyi, yang sepanjang film kita hanya bisa menduga-duga, hingga tak tahan untuk “menayangkan kembali” The Immigrant ini dari awal dalam pikiran kita.
Mungkin The Immigrant tidak memberi pengalaman paling emosional, tapi setidaknya inilah film yang dibuat cermat, berisi drama yang kaya serta cerita tentang moral yang kompleks.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 129, 19-25 Mei 2014