Dongeng Indah Negeri Zubrowka

The Grand Budapest Hotel
Jalan hidup yang ajaib menjadikan Mustafa, pemuda yang dipaksa mengungsi oleh perang, jadi pemilik hotel megah di Eropa. Sama berharganya, petualangan bersama concierge yang dia hormati, Gustave.

Oleh Silvia Galikano

Judul: The Grand Budapest Hotel
Genre: Comedy
Sutradara: Wes Anderson
Skenario: Stefan Zweig
Produksi: Fox Searchlight
Pemain: Ralph Fiennes, F. Murray Abraham, Mathieu Amalric
Durasi: 1 jam 39 menit

Musim dingin yang muram di sebuah negara di Eropa. Dalam balutan jaket tebal, seorang gadis berjalan menyeberangi taman yang tanahnya tertutup salju, menuju patung di tengah taman. Patung seorang penulis yang bukunya sedang dia genggam.

Cerita kemudian mundur 2 dekade. Layar menampilkan si penulis (Tom Wilkinson) sedang bermonolog di depan kamera. Sekali-dua monolognya terpotong karena diganggu cucu yang ingin tampil juga. Dia bercerita tentang penulisan; masa lalu; dan bukunya yang fenomenal, The Grand Budapest Hotel.

Sekali lagi cerita mundur 2 dekade, ke era 1960-an. The Grand Budapest Hotel di Republik Zobrowka, Eropa disorot dari dekat. Bangunannya tetap besar, tapi sudah hilang kemegahannya. Tamu hanya satu-dua. Tak terdongkrak walau sudah banting harga. Hotel ini menghadapi masa senjanya. Di sinilah si penulis muda (diperankan Jude Law) mengisi hari libur

Ada seorang laki-laki tua yang menarik perhatian si penulis. Ekspresi pria itu selalu sedih dan dia selalu duduk sendirian di lobi. Dari concierge hotel, si penulis ketahui laki-laki tua itu pemilik hotel. Mustafa  (F. Murray Abraham) namanya, sering datang dan setiap datang menginap sepekan. Walau pemilik hotel, kamarnya di hotel itu ada di sudut paling buruk dan hanya sebesar kamar pelayan. Dari dulu begitu dan dia tidak mau menempati kamar yang lebih pantas

“Saya ingin tahu, mengapa Anda membeli hotel ini?” si penulis bertanya saat mereka sama-sama sedang berendam di ruang pemandian yang dibuat mirip rumah-rumah mandi Timur Tengah.
“Oh, saya tidak beli.”

Jawaban ini semakin menguatkan keingintahun si penulis. Mustafa mengundangnya untuk makan malam dan berjanji menceritakan semuanya saat makan malam.

Cerita mundur lagi ke tahun 1930-an, sebelum Perang Dunia II pecah. Di sana ada Mustafa (Tony Revolori), lobby-boy baru di The Grand Budapest Hotel yang mewah dan gemerlap. Ini hari pertamanya bekerja. Dia imigran Timur Tengah yang terpaksa mengungsi akibat perang yang menewaskan orangtuanya dan menghancurkan rumahnya.

Mustafa yang tidak punya pengalaman sebagai lobby boy, diajar dari dasar oleh concierge hotel yang bepenampilan rapi-jali, M. Gustave (Ralph Fiennes). Gustave yang ramah itu jadi concierge kepercayaan banyak tamu ternama, termasuk  Madame D (Tilda Swinton), perempuan bangsawan sepuh yang berat sekali meninggalkan hotel dan merasa hidupnya tak lama lagi.

Firasat Madame D benar. Dia ditemukan meninggal beberapa hari kemudian. Gustave, sesuai wasiat, mendapat warisan sebuah lukisan berharga. Keluarga Madame D tidak terima. Menurut mereka, karya seni itu hak mereka. Dikompori Mustafa, Gustave mengambil saja lukisan itu dari dinding rumah Madame D.

Maka dimulailah hidup Gustave dan Mustafa yang mendadak bagai roller-coaster begitu lukisan curian ada di tangan. Ditambah lagi tuduhan pembunuhan yang dilemparkan keluarga Madame D kepada Gustave.

The Grand Budapest Hotel bukan film tentang hotel berikut intrik di dalamnya, seperti biasa dijadikan tema opera sabun, tapi lebih luas dari itu. Pencurian lukisan berharga berlatar belakang perubahan politik yang dramatis di Eropa merupakan cara yang apik untuk mengemas sebuah kisah kemanusiaan.

Bagi penggemar karya-karya sutradara Wes Anderson, film ini sangat ditunggu sejak Moonrise Kingdom (2012).  Tak seorang pun dapat membingkai sebuah adegan seperti Anderson, yang secara hati-hati membangun pola dan warna yang luar biasa cantik hingga menajamkan keistimewaan karakter-karakternya. Karakter di film-film Anderson memang selalu menawan.

Satu-satunya yang mengganggu dan tidak sejalan dengan tipe komikal Anderson adalah adanya adegan pembunuhan binatang dan itu dijadikan bahan gurauan. Walau menggunakan alasan toh ini humor dewasa, tetap saja menyiksa dan membunuh binatang sama sekali bukanlah bahan humor.

The Grand Budapest Hotel mengingatkan kita pada casting omnibus It’s a Mad, Mad, Mad, Mad World (1963) yang juga sarat aktor berkelas dan berisi kejar-kejaran konyol.

Jika sebuah film bisa lucu secara elegan, kisah imajinatif tentang concierge legendaris Gustave, anak didiknya Mustafa, dan pembunuhan seorang bangsawan, maka film ini berhasil. Namun kita dituntut lebih jeli lagi bahwa film ini seperti boneka matryoshka. Di dalam boneka ada boneka, di dalamnya ada lagi boneka, dan seterusnya.

The Grand Budapest Hotel adalah kisah yang terentang di antara dua perang dunia, hingga kuku-kuku fasisme mencengkeram Eropa. Namun kita dininabobokkan alam fantasi yang indah, Republik Zubrowka.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 136, 7-13 Juli 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.