Dunia di Balik Labirin

20140922_MajalahDetik_147_108 copy
Sekelompok pemuda hidup terisolasi di dalam lingkaran dinding raksasa. Jalan keluar satu-satunya adalah labirin yang menyesatkan dan mematikan.

Oleh Silvia Galikano

Judul: The Maze Runner
Genre: Action | Mystery |
Sutradara: Wes Ball
Skenario: Noah Oppenheim, Grant Pierce Myers
Produksi: 20th Century Fox
Pemain: Dylan O’Brien, Kaya Scodelario, Will Poulter
Durasi: 1 jam 54 menit

“Boom!” Lift kurungan kawat besi dari bawah tanah yang melaju membentur permukaan. Isinya seorang pemuda (Dylan O’Brien). Suara keras itu membangunkannya dari pingsan yang entah sudah sejak kapan.

Segerombolan pemuda berdiri di luar kurungan, memperhatikan. Alby (Aml Ameen) maju, membukakan pintu kurungan, menjulurkan tangan, dan menariknya keluar.

Dia masih linglung, tak tahu dari mana datangnya, tak tahu apa yang terjadi sebelumnya, bahkan tak ingat namanya sendiri. “Sudah biasa begitu,” Alby mencoba menghibur, “Kami semua juga demikian. Nanti setelah satu-dua hari, kau akan ingat namamu.”

Tempat ini bernama Glade, berisi para pemuda yang tak punya ingatan akan masa lalu mereka. Alby adalah pemuda pertama yang dikirim, tiga tahun lalu. Mereka membangun tempat tinggal berupa gubuk-gubuk dari kayu beratap ranting dan daun. Tiap bulan datang semacam helikopter yang melemparkan drum-drum berisi logistik untuk keperluan sebulan.

Glade dikelilingi tembok raksasa dengan empat pintu di empat penjuru mata angin. Satu pintu akan membuka begitu matahari terbit dan akan menutup sebelum matahari terbenam. Mereka tidak pernah melihat tiga pintu lainnya terbuka.

Gladers (penghuni Glade) dibagi-bagi dalam kelompok tugas berdasar kemampuannya. “Kasta” paling tinggi adalah runner (pelari), kelompok orang-orang pilihan, yang hanya dipunyai sangat sedikit orang. Minho (Ki Hong Lee) salah satunya. Tak ada yang boleh melewati pintu dinding raksasa itu kecuali para runner.

Di balik tembok yang mengelilingi Glade adalah labirin rumit yang menyesatkan tapi diyakini sebagai satu-satunya jalan keluar untuk bisa meninggalkan Glade dan kembali ke dunia nyata. Tugas runner menyusuri dan memetakan labirin, dari pagi hingga petang, sekali sepekan.

Begitu pintu terbuka di pagi hari, dua runner berlari melewati pintu, dan petang hari para Gladers sudah bersiap di pintu menunggu kepulangan mereka.

Jika hingga pintu ditutup runner tak kembali, dipastikan mereka tak akan kembali selamanya. Pasalnya di dalam labirin ada Grievers, makhluk-makhluk biomekanik berbentuk tarantula dengan sengat beracun, yang keluar pada malam hari. Grievers siap melumat habis manusia yang mereka temui.

Hari kedua, anak baru ini ditantang adu gulat melawan Gally (Will Poulter) yang sejak awal sudah nampak sinis. “Ayo Greenie (Hijau), lawan aku.” Walau sempat ragu, pemuda yang mendapat panggilan “Greenie” itu menerima tantangan Gally.
Sebuah serudukan keras dari Gally membuat tubuh Greenie terempas dan kepalanya membentur tanah dengan kencang. Seketika dia teringat namanya: Thomas.

The Maze Runner mencemplungkan para remaja yang belum pernah membaca novel laris serial The Maze Runner (2009) karya James Dashner.

Film ini merupakan debut feature sutradara Wes Ball yang sebelumnya menangani efek visual di The Beginners (2010) dan jadi sutradara film pendek animasi A Work in Progress (2002). Ball membangun adegan akhir yang menegangkan dan solid serta pengungkapan sebuah rencana besar di balik Glade yang membuat kisah coming-of-age itu makin menarik.

Pada satu jam pertama, film ini berjalan lambat dan tidak banyak pengembangan karakter. Seringkali gambar biru terang berkelebat, visual isi kepala Thomas, yang tak jelas tertangkap apa maknanya. Baru kemudian, ketika Thomas dan Minho sepakat mendobrak ketakutan selama ini untuk bersama-sama mencari jalan keluar, The Maze Runner mulai terasa serunya.

Baru beberapa hari Thomas datang, seorang gadis dikirim ke tengah-tengah gerombolan pemuda. Teresa (Kaya Scodelario) namanya. Begitu terjaga, nama Thomas yang dia gumamkan, setelah itu pingsan lagi.

Tentu penonton berharap Teresa memberi arti penting di Glade. Namun setelah mendapat porsi khusus dalam cerita sebagai orang dari masa lalu Thomas, satu-satunya perempuan ini pada akhirnya tenggelam jadi bayang-bayang. Penambahan seorang gadis terasa benar dipaksakan. Jadi jangan harap ada percintaan supranatural di sini, seperti di serial Twilight.

Karakter-karakter The Maze Runner cenderung datar dan dua dimensi. Sepanjang film, O’Brien terus menerus melemparkan tatapan kebingungan. Poulter yang biasanya brilian, kali ini jadi si jahat yang tak berhenti bersungut-sungut menyebalkan.

Kehadiran Grievers yang membahayakan Gladers kurang digali trio penulis skenario Noah Oppenheim, Grant Pierce Myers, dan TS Nowlin. Mereka terlalu fokus pada hari ini si A mati di dalam labirin, besok B, lusa siapa. Padahal selain menyodorkan adegan action yang menegangkan, dinding labirin yang kokoh dan menyesatkan itu merupakan sumber yang kuat untuk memberi bobot emosional film.

Dibandingkan film-film bergenre dewasa-muda lainnya, seperti The Hunger Games dan Divergent, The Maze Runner terasa low-tech, klasik, dan segar. Mungkin saja The Maze Runner dipatok sebagai The Hunger Games berikutnya. Dan Wes Ball akan lebih berani menangani cowok-cowok keren ini memimpin dunia yang hancur di The Maze Runner, Part Deux. Siapa tahu?

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 147, 22-28 September 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.