Fase Baru Mariah Carey
Setelah dua dekade mendominasi chart tanpa gangguan berarti, Mariah Carey kini mulai berdamai dengan zaman yang tak lagi terkejar.
Oleh Silvia Galikano
Albumnya yang ke-14, Me. I Am Mariah… The Elusive Chanteuse keluar di ujung periode kerja paling kerasnya sejak Glitter, 13 tahun lalu. Sebenarnya album ini keluar terhitung terlambat. Betapa tidak, single Triumphant (Get ‘Em) sudah wara-wiri di radio sejak dua tahun lalu. Menyusul setelahnya, The Art of Letting Go, yang diturunkan sebagai bonus track, dan #Beautiful featuring Miguel satu per satu merangkaki chart.
Walau belum ada satu pun single yang masuk 10 besar Billboard’s Hot 100, tapi album ini tidak separah yang dikhawatirkan. Kini Mariah tak lagi ngotot mencari pengakuan publik, dia tetap berlimpah cinta dan kemegahan… yang belum lama juga lewatnya.
Berbeda dengan Jennifer Lopez atau Madonna yang masih menancapkan kuku-kukunya dan tetap bisa mengejar selera remaja era Twitter, I Am Mariah tidak tinduk pada selera radio. Lewat album itu seolah-olah Mariah mendeklarasikan tanpa ragu inilah tempatnya sekarang.
D
i situ Jermaine Dupri dan Bryan-Michael Cox sebagai produser eksekutif. Duo ini pula yang membantu karier Mariah pertama kali di dunia rekaman. Dupri dan Carey-lah penulis We Belong Together, yang tanpa diduga menempatkan kembali Mariah sebagai titan pop pada 2005.
Cry membuka album ini dengan vokal rendah Mariah ditingkahi denting lembut piano, menonjolkan kemampuannya menjaga keseimbangan antara mempertahankan vokal di nada-nada sulit sambil tetap mengedepankan power. Lagu tentang kepiluan mengingat cinta yang lama itu kental dengan tipikal gaya dramatis Mariah.
Rasa zaman 80-an dihadirkan lewat cover lagu George Michael, One More Try. Serupa dengan George, Mariah pun mempertahankan cengkok khas lagu ini di sema bagian. Bedanya bisa dibilang cuma di ketukan drum menonjol di versi Mariah.
Potongan rap dari The Dupri dan Cox dalam lagu disco You Don’t Know What to Do dengan liukan-liukan nada gitar yang menukik-menyapu layaknya burung menyambar sasaran di permukaan laut. Lagu ini mengingatkan kita pada Heartbreaker dan Fantasy walau sedikit-sedikit ada rasa disco Pharrell Williams.
Tiga track itu mewakili genre yang jadi “pegangan” Mariah, yakni gospel dan disco, yang membuat namanya demikian kuat dan jadi legenda hidup.
Selain tiga track yang jadi zona nyaman Mariah, di album ini ada Supernatural, walau bukan yang terbaik, tapi masuk dalam daftar wajib dengar. Inilah cara paling teatrikal yang pernah dia lakukan untuk menunjukkan pada dunia ”ini anakku”, si kembar Moroccan dan Monroe. Beatnya selaras dengan lincahnya anak-anak, vokalnya “akrobatik”, dan ocehan keduanya jadi latar belakang yang menggemaskan dari awal hingga akhir.
Kolaborasi keren di album ini juga adalah dengan Hit-Boy dari label G.O.O.D. Music membawakan Thirsty, sebuah lagu club yang berhasil mereka taklukkan. Track ini senapas dengan Niggas in Paris yang dipopulerkan Jaz-Z dan Kanye West pada 2010. Paduan suara empuk Mariah plus bait-bait pop-nya mampu melumerkan suara kering dan dingin Hit-Boy.
Beberapa track ada yang kurang pas, ambil contoh Heavenly (No Ways Tired/Can’t Give Up Now) yang seperti materi lagu choir, dan Meteorite yang mengingatkan kita pada lagu-lagu disco Cher.
Namun demikian, secara keseluruhan, I Am Mariah menempatkan Mariah (atau sebaliknya, cara Mariah memantapkan diri) bahwa dia sudah selesai dengan fase popnya, kupu-kupu yang sudah terbang jauh, jauh sekali, dari kepompongnya. Tinggal kita tunggu, apa kelanjutannya.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 140, 4-10 Agustus 2014