Kerajaan Sci-Fi Buatan Besson

Jika manusia rata-rata hanya menggunakan 10 persen otaknya, apa jadinya jika 100 persen dapat diakses?

Oleh Silvia Galikano

Judul: Lucy (I)
Genre:  Action | Sci-Fi
Sutradara: Luc Besson
Skenario: Luc Besson
Produksi: Universal Pictures
Pemain: Scarlett Johansson, Morgan Freeman, Min-sik Choi
Durasi: 1 jam 29 menit

“Mr. Jang bilang, Anda harus tunggu di sini. Sebaiknya Anda ‘tunggu di sini,’” kata resepsionis hotel mewah di Taipei pada Lucy (Scarlett Johansson) yang berdiri di depan meja concierge. Dia menekankan pada “tunggu di sini” yang artinya Lucy bahkan tidak boleh bergeser selangkah pun. Koper masih ada di tangannya.

Lucy dijebak Richard (Pilou Asbæk) mantan pacarnya, untuk mengantar koper itu ke Mr. Jang di hotel dengan bayaran US$500. Dia tidak tahu apa isi koper karena hanya Mr. Jang yang bisa membukanya.

Kini gerombolan orang bertampang sangar keluar dari lift. Yang di tengah adalah Mr. Jang, dikelilingi pengawalnya. Tanpa kata, satu pengawal menembak David yang berdiri di luar hotel. Yang lain meringkus Lucy, menyeretnya ke lantai atas.

Lucy terbangun dari pengaruh bius dalam dengan perban membebat perut. Baru saja dia dioperasi untuk memasukkan sebungkus narkoba berbentuk kristal biru ke perutnya. Narkoba sintetis itu bernama CPH4 yang punya efek dahsyat. Lucy dan tiga lelaki lain yang sama-sama barusan siuman akan dikirim ke berbagai negara di Eropa sebagai kurir.

Sementara menunggu keberangkatan, Lucy dikurung dalam ruangan mirip penjara dengan penjaga berganti-ganti. Dalam sebuah insiden, seorang penjaga menendang perutnya tanpa ampun, berkali-kali, hingga darah merembesi perban.

Luka bekas operasi terbuka lagi. CPH4 pecah di dalam perut dan sebagian masuk ke dalam sistem tubuhnya. Lucy, yang ditinggalkan sendiri dengan tangan dirantai ke lantai , kejang-kejang, menggelepar-gelepar, terlempar ke sana ke mari. Makin lama makin intens hingga dia tak sadarkan diri.

Ketika siuman, Lucy adalah perempuan yang sama sekali berbeda dibanding sebelumnya. Kekuatan fisiknya bertambah berkali-kali lipat, dia dapat membaca pikiran orang lain, dan sorot matanya dapat menggerakkan benda.

Dia bebas setelah membunuh seluruh penjaga, lalu pergi ke rumah sakit untuk operasi mengeluarkan sebagian besar CPH4 yang masih ada di perut, tanpa perlu anestesi. Sasaran utama Lucy berikutnya adalah Mr. Jang.

Sementara itu, di sebuah universitas di Paris, Profesor Norman (Morgan Freeman), memberi kuliah tentang potensi otak manusia. Selama ini manusia rata-rata hanya menggunakan 10 persen potensi otak mereka.

Profesor Norman menyampaikan hipotesis apa yang akan terjadi jika manusia dapat mengakses 20 persen otaknya, 30 persen, bahkan hingga 50 persennya.

“Apa yang terjadi jika 100 persen?” seorang mahasiswa bertanya.
“Artinya kita akan memasuki kerajaan science-fiction. Tidak ada yang tahu. Itulah yang akan kita cari tahu.”

Inilah yang terjadi pada Lucy. CPH4 yang masuk ke sistem tubuhnya melepaskan potensi yang selama ini belum dimanfaatkan. Dia kemudian mendapatkan nama Profesor Norman sebagai satu-satunya orang yang mengerti kondisinya, dan segera bertolak ke Paris untuk rencana berikutnya.

Dari La Femme Nikita (1990), Leon: The Professional (1994), hingga ke The Fifth Element (1997), penulis/sutradara Luc Besson sudah menciptakan perempuan-perempuan jagoan action paling diingat dalam sejarah sinema. Dan kini, Besson mengusung Scarlett Johansson dalam Lucy, thriller-action tentang seorang perempuan yang terjebak dalam gengster narkoba internasional dan berubah jadi petarung yang kemampuannya melampaui logika manusia.

Karya-karya Besson secara cerdas menggabungkan visual dramatis, tema sci-fi dengan alur cepat, dan kekerasan yang brutal. Namund demikian kadang terlampau keras dan suram, kaku yang artifisial, dan kurang peka secara kemanusiaan.

Hal yang sama terasa pula pada Lucy yang cepatnya luar biasa, bikin tahan napas, walau segar. Konsep plotnya canggih. Adegan kejar-kejaran mobilnya menegangkan, demikian pula efek-efek visual secara umum, terutama klimaksnya. Karena kamera Besson bergerak demikian cepat, kita sulit dapat kesempatan mencerna satu adegan sebelum berlanjut ke adegan berikutnya.

Sang sutradara sangat terberkati dengan adanya Johansson yang kharismatik dan membuat “kesibukan” film pseudo-ilmiah ini berhasil. Hanya saja jadi minus akibat ketika karakter Lucy berubah mirip robot dengan suara monoton ketika otaknya makin luas dapat diakses.

Jangan lupakan Morgan Freeman yang setiap berkata-kata seperti bersabda. Kita akan mengamini semua hipotesisnya tentang penggunaan otak yang 10 persen hingga 100 persen itu, atau tentang apa pun lah.

Film ini cerdik dan Besson mengisahkannya secara brilian dengan kecepatan yang mengagetkan. Lucy cocok bagi penggemar film action, bukan bagi pencari jawaban atas teka-teki alam semesta. Walau bertabur teori tentang alam semesta, sistem neuron, dan reaksi kimia, namun karakter utamanya menyelesaikan masalah cukup dengan pistol di dua tangan. Dar-der-dor, dar-der-dor, klaar.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 144, 1-7 September 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.