Revolusi Rasa dari Secangkir Kopi

revolusi secangkir kopi, java coffee
Bermula dari minuman terbatas para imam, kaum sufi, dan Sultan di Jazirah Arab, kopi mendunia membawa seribu cerita perjalanan. Di dalamnya ada java (Jawa), yang dijadikan nama lain kopi.

Oleh Silvia Galikano

Deretan poster memampangkan legenda kopi di Tanah Jawa. Foto-foto kuno berwarna sephia menguatkan narasi yang terkadang tak seindah citra yang ditampakkan.

Seperti poster yang menampilkan foto perempuan muda berkebaya berdiri di samping pohon kopi. Tangan kanannya menyibakkan ranting pohon, menampakkan biji kopi yang ranum berkilat-kilat. Narasi di sebelah foto bercerita tentang larisnya kopi dari Pulau Jawa di pasar dunia, sampai-sampai banyak produsen kopi yang curang, mengaku-aku produknya sebagai java coffee.

Berawal dari serangan jamur karat daun (Hemileia vastatrix) yang menghancurkan perkebunan kopi di Pulau Jawa pada awal abad ke-20 membuat produk java coffee sempat menghilang di pasar kopi dunia. Kopi-kopi lain pun ramai-ramai mengklaim sebagai java coffee, membuat kacau pasar kopi terbesar di dunia, Amerika.

Guna melindungi masyarakat konsumen, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada 1906 mengeluarkan fatwa, “hanya biji kopi dari Pulau Jawa yang boleh dijual sebagai java coffee!”

Poster tentang perjalanan kopi ini ada di Pameran Iklan Layanan Masyarakat The Road to Java Coffe di Bentara Budaya Jakarta, 9-11 Mei 2014. Pada saat bersamaan, diluncurkan juga buku The Road to Java Coffe yang merupakan hasil riset Prawoto Indarto, mantan creative director di sebuah biro iklan.

The Road to Java Coffe merekam jejak java coffee sejak Coffea arabica mulai ditanam di Pulau Jawa sampai berkembang dan menjadi ikon industri kopi dunia. Beberapa penggalan tulisan di buku tersebut dikemas ulang menjadi iklan media cetak dalam format iklan layanan publik. Poster iklan inilah yang dipamerkan.

Sebelum ke apa itu java coffee, mari lanjutkan dulu ke poster lain yang memuat foto lahan kosong sudah dipetak-petak siap ditanam, di puncak bukit. Di antara petak lahan, manusia berjajar panjang membentuk dua baris, mengestafetkan sesuatu, mungkin alat pertanian, mungkin bibit, dari bawah ke atas.

Foto dari abad ke-19 itu menguatkan narasi di sampingnya tentang Cultuur-stelsel (1830-1870), gerakan pemerintah kolonial Belanda yang mengeksploitasi lahan pertanian, sapi dan kerbau, alat-alat pertanian, hingga tenaga kerja tak diupah.

Pemerintah kala itu berasumsi desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerinah senilai 40 persen dari hasil panen utama desa. Untuk itu, setiap rakyat di Pulau Jawa wajib menyediakan seperlima bagian tanah pertanian mereka untuk ditanami jenis tanaman ekspor, di antaranya kopi.
Bagi rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian, mereka wajib bekerja di perkebunan milik pemerintah selama seperlima tahun (66 hari) tanpa upah sebagai pengganti pajak. Masyarakat pribumi menyebut Cultuur-stelsel sebagai sistem tanam paksa.

Kopi di tanah Jawa berkembang dan menyebar bersama kolonialisme Eropa sejak abad ke-16. Belanda berhasil membudidayakan tanaman kopi arabika di Pulau Jawa sehingga wilayah ini jadi penghasil utama kopi dunia sekaligus sebagai benih awal kopi arabika yang ditanam di Amerika Tengah. Kopi hasi perkebunan di Jawa pun dikenal pasar dunia dengan nama java kaffa atau java coffee.

Kopi arabika yang ditanam di Pulau Jawa berasal dari Ceylon (Srilanka), yang juga jajahan Belanda. Kala itu Belanda menemukan perkebunan kopi yang ditinggalkan para pedagang Arab ketika Ceylon dikuasai Portugis. Belanda kemudian menjadikan negeri ini sebagai kebun penelitian tanaman kopi. Di sinilah ahli botani Carolus Linnaeus menemukan sistem budidaya tanaman kopi.

Linnaeus menamakan genus tanaman itu Coffea arabica. Kata “Coffea” diambil dari kata “qahwa”, sedangkan “arabica” ditambahkan karena Linnaeus mengira tanaman itu berasal dari Arab, sebab ditanam pedagang Arab yang sempat bermukim di Ceylon.

Genus tanaman ini dibawa Henricus Zwaardeeroon untuk ditanam di Pulau Jawa pada 1699, tahun yang  disepakati industri kopi Indonesia sebagai titik awal tanaman Coffea arabica atau kopi arabika mulai ditanam di Indonesia. Seiring penyebaran tanaman kopi ke berbagai negara, masyarakat dunia menyebutnya sebagai coffea arabica atau arabica coffee (kopi arabika).

Pada 1707 di Batavia, Gubernur Jenderal VOC, Willem van Outshoorn, mengundang bupati Priangan untuk dilibatkan dalam budidaya tanaman kopi di Pulau Jawa. Bupati diminta menanam dan menjaga volume produksi kopi yang hasilnya akan dibeli VOC.

Setiap pikul kopi (sekitar 61 kg) dari bupati Priangan akan dibeli VOC seharga 5-6 ringgit Belanda. Perjanjian dagang antara VOC dengan Bupati Priangan dalam komoditas kopi ini disebut Koffie-stelsel, titik awal Coffea arabica ditanam dalam skala perkebunan besar, yang melibatkan bupati serta penduduk pribumi di Priangan.

Sebanyak 400 kg kiriman kopi perdana Bupati Cianjur Aria Wiratanudatar dibawa VOC ke Balai Lelang Amsterdam pada 1711. Kopi tersebut berhasil memecahkan rekor harga lelang tertinggi, dan menempatkan Pulau Jawa sebagai wilayah penghasil kopi di luar Mocha, Yaman.

Sekitar 10 tahun kemudian, di Priangan Barat, terutama di Kabupaten Cianjur, tumbuh lebih dari 1 juta pohon kopi, sehingga produk kopi dari Pulau Jawa mulai mendominasi Pasar Eropa dan populer dengan nama java coffee.

Kondisi tanah vulkanik di Pulau Jawa yang kaya nutrisi dengan sistem drainase yang baik memberi cita rasa unik dan berbeda dibanding kopi dari wilayah lain. Paduan karakter yang kaya aroma serta rasa herbal pada after taste, membuat java coffee dipuja pencinta kopi di seluruh dunia.

Apresiasi pasar terhadap produk kopi dari Pulau Jawa tetap bertahan meski 200 tahun lebih java coffee diperkenalkan dan diterima sebagai a high grade coffee. Inilah yang membuat “java” identik dengan kopi, bahkan menjadi pengganti kata kopi di industri kopi dunia.

Orang-orang Indonesia berada di tengah-tengah kopi berkualitas, kopi dari Pulau Jawa, yang sudah tahan uji selama 200 tahun. Maka menggelikan dan tak berdasar jika ada orang Indonesia modern yang mengeluhkan kopi lokal kalah kelas dibanding kopi impor.

Banggalah Anda saat menyeruput kopi tubruk nasgitel, panas-legi-tur kentel (panas-manis-dan kental), karena di sana ada cerita berabad lalu, menyusuri jalan pahit kolonialisme dan perendahan derajat kemanusiaan yang tak terperi.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 129, 12-25 Mei 2014

0 Replies to “Revolusi Rasa dari Secangkir Kopi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.