Melesatlah, Garuda Muda
Di tengah segala keterbatasan, Indra Sjafri membentuk tim solid pesepakbola muda, Garuda 19. Mereka adalah anak-anak tangguh yang bertahun-tahun ditempa alam.
Oleh Silvia Galikano
Judul: Garuda 19
Genre: Drama
Sutradara: Andibachtiar Yusuf
Produser: Putut Widjanarko, Avesina Soebli
Produksi: Mizan Production
Pemain: Mathias Muchus, Yusuf Mahardika, Rendy Ahmad, Gazza Zubizareta, Ibnu Jamil, Verdi Solaiman, Puadin Redi, Reza Aditya, Mandala Abadi, Sumarlin Beta, Agri Firdaus, Amanda Khairunnisa, dan Bilqis Atari.
Lama nama Indonesia tenggelam dalam kejuaraan sepakbola internasional. Terakhir kali bendera Merah Putih dikibarkan adalah ketika timnas sepakbola Indonesia menjuarai Sea Games 1991.
Sepi prestasi ini “diimbangi” riuh rendahnya para pengurus PSSI yang gelut berebut kursi. Tak heran jika muncul kalimat sinis, “Masa dari 200 juta penduduk Indonesia, tidak bisa mencari 11 orang saja yang pandai bermain sepakbola?”
Di tengah kondisi demikian, Timnas U-19, pemain sepakbola nasional yang berusia di bawah 19 tahun, menorehkan prestasi dengan menjuarai piala AFF (Federasi Sepakbola Asean) U-19 pada 2013.
Setahun berikutnya, anak-anak asuh Indra Sjafri itu lolos ke babak final Piala Asia U-19 2014, setelah mengalahkan salah satu jawara sepakbola Asia, Korea Selatan.
Indra Sjafri (Mathias Muchus) bekerja tanpa banyak kata. Dengan uang terbatas yang dibekalkan federasi, dia keluar masuk kampung di pelosok Indonesia mencari remaja-remaja berbakat, para juara sepakbola antarkampung (tarkam) yang selalu digelar sederhana namun hidup.
Informasi masyarakat jadi andalan utamanya, seperti sewaktu ngobrol dengan pengojek di Ngawi yang membanggakan Sahrul (Rendy Ahmad), seorang pemain Ngawi FC yang hari itu sedang berlaga.
Yazid (Gazza Zubizareta), anak laut dari Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, seorang perenang alami sejak lahir. Dia senang berbaring di atas sampan dan membiarkannya terapung-apung hingga ke tengah laut.
Yazid juga pesepakbola andal. Pantai jadi lapangannya. Pasir pantai yang mencengkeram kaki saat dipijak itu mengajarkan banyak hal tentang bertahan dan menyerang, hingga akhirnya dia direkomendasikan mengikuti seleksi yang dilakukan Indra Sjafri dan tim pelatih.
Jauh di Alor, Nusa Tenggara Timur sana, Yabes (Sumarlin Beta), berlari tiap kali usai berlatih sepakbola di lapangan Kota Alor, mengikuti garis pantai, hingga sampai ke rumahnya di atas gunung. Jauhnya 15 kilometer. Selesai latihan sore hari, dia sampai di rumah sudah malam. Yabes lolos dalam seleksi yang diadakan di Kupang.
Anak-anak ini bukan dari keluarga kaya. Sahrul anak buruh tani yang tak kunjung dapat membelikan sepatu bola untuk putranya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan bapaknya, Sahrul bekerja sepulang sekolah hingga dapat membeli sepatu bola murah di pasar.
Yabes hidup bersama ibu dan adik perempuannya di rumah mungil tanpa penerangan listrik. Ibunya berladang, kadang ke pasar menjual ternak dan hasil bumi. Keluarga ini tak bisa bergantung hanya pada pensiun mendiang bapaknya sebesar Rp350 ribu per bulan. Walau sederhana, sebisa mungkin ibunya mengusahakan agar kebutuhan anak-anaknya tercukupi.
Sahrul, Yazid, dan Yabes meninggalkan kota kelahiran masing-masing untuk bergabung bersama Evan Dimas dan kawan-kawan di Yogyakarta dalam tim bernama Garuda 19. Perjuangan baru dimulai. Kali ini mereka punya satu tujuan sama: menjadikan Indonesia juara dunia.
Garuda 19 bukan hanya berisi bola, jersey, keringat, teriakan, suara peluit, dan lapangan berdebu. Ada banyak muatan emosi dalam narasinya, khususnya penokohan Indra Sjafri. Acap kali pelatih rendah hati dan tak gila sorot lampu ini digambarkan terpaksa membobok tabungan pribadi untuk nombok, dari urusan makan, hotel, sampai tiket pesawat.
Sama porsi dengan narasi adalah sinematografinya. Film Garuda 19 mengambil lokasi syuting di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Konawe Selatan, dan Alor. Alam Konawe Selatan dan Alor yang luar biasa indah tersuguh sempurna dengan kesyahduannya. Penonton juga “diberi waktu” untuk ikut terapung-apung di atas laut bening.
Film ini adaptasi dari buku Semangat Membatu (2014) karya FX Rudy Gunawan dan Guntur Cahyo Utomo. Mizan Production memilih Andibachtiar Yusuf (Ucup), sutradara yang identik dengan sepakbola, untuk menggawangi film ini.
Sebelumnya, Ucup menyutradarai The Jak (2007), The Conductors (2008), Romeo & Juliet (2009), dan Hari Ini Pasti Menang (2013). Semuanya tentang sepakbola. The Conductors dan Romeo & Juliet berlaga di festival-festival film internasional.
Lewat Garuda 19, sekali lagi Ucup meresonansikan harapan dan semangat akan persepakbolaan Indonesia. Setidaknya, kita punya para punggawa Garuda 19 didikan Indra Sjafri dan tim pelatih yang tak lelah mengingatkan cita-cita bersama menjadikan Indonesia juara dunia.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 150, 13-19 Oktober 2014