Serenada Indah AriReda

arireda, ari malibu, reda gaudiamo
Berawal dari menyanyi di kampus lebih dari tiga dekade lalu, keduanya menciptakan penggemar yang spesifik. Penyuka puisi dan penyuka lagu puitis.

Oleh Silvia Galikano

Selalu sama. Duduk di atas dua kursi tinggi menghadap dua standing mic. Yang satu, Reda Gaudiamo, 52 tahun, yang suara beningnya menjangkau nada-nada tinggi tanpa cela atau menembak nada-nada miring dalam kesempurnaan. Yang satu lagi Ari Malibu, 54 tahun, teman duet Reda sekaligus gitaris.

Keduanya menamakan diri AriReda. Tahun 2014, usia duet ini genap 32 tahun. Mereka rayakan secara sederhana, tanpa kue ulang tahun, tanpa lagu Panjang Umur dan sejenisnya. Hanya berkumpul dengan kawan-kawan akrab, menyanyikan lagu, yang walau itu ke itu juga, tapi selalu dinantikan.

Duet ini, berawal dari membawakan lagu-lagu balada pada awal 1980-an, namun kemudian identik dengan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Keduanya punya satu album, Becoming Dew (2007), setelah sebelumnya, terlibat dalam pembuatan album Hujan Bulan Juni (1990) yang digagas Sapardi.

Reda dan Tatyana Soebianto, dalam duet Dua Ibu, juga membuat album Gadis Kecil (2005). Tiga album ini sama-sama memuat musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono.

Setelah 32 tahun, penggemar mereka kini dua generasi. Di setiap konser, selalu ada saja orang muda di antara penonton, ikut menyanyi bait demi bait dengan mata berbinar-binar.

Bertempat di Coffeewar, Kemang, Jakarta, 27 September 2014 malam, keduanya menyanyi dalam bingkai Sebermula adalah Kata, yang diambil dari puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Dalam Bis. Acaranya dibagi dalam dua sesi, yakni sesi pertama musikalisasi puisi Sapardi, dan sesi kedua AriReda membawakan lagu-lagu balada tahun 1970-an dari Simon & Garfunkel, Beatles, John Denver, Bob Dylan, dan Boni Mitchell.

Café sudah penuh usai magrib, padahal acara dimulai pukul 7 malam. Sebagian penonton duduk di kursi, yang tak kebagian kursi suka rela “melantai”, dan selebihnya menikmati dari halaman café yang dibatasi kaca tembus pandang, format yang kerap ditemui saat AriReda manggung.

Spesialnya perayaan ulang tahun ini adalah di panggung bukan hanya Ari dan Reda. Tapi mereka diiringi Hendrikus Wisnu Nugroho (perkusi), Bonita (vokal), Petrus Briyanto Adi (bas), dan Dima Miranda (vokal).
Ekspresi excited penonton tak terbendung begitu Akulah Si Telaga menyapa penonton.

Lagu indah yang musiknya dibuat AGS Arya Dipayana, mengantar ke track-track lain yang sama indahnya. Akulah si telaga/ berlayarlah di atasnya// Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil/ yang menggerakkan bunga-bunga padma.

Usai Di Restoran, lalu Gadis Kecil, lagu pertama yang Reda buat, dan Nocturno. AriReda melanjut ke Sajak Kecil tentang Cinta. Lagu yang musikalisasinya dibuat Umar Muslim ini pernah dijadikan soundtrack Minggu Pagi di Victoria Park (2010), film yang dibuat Lola Amaria.

Mencintai angin harus menjadi siut/ mencintai air harus menjadi ricik/ mencintai gunung harus menjadi terjal/ mencintai api harus menjadi jilat// Mencintai cakrawala harus menebas jarak/ mencintaiMu harus menjelma aku.

Sajak Kecil tentang Cinta pertama kali dibawakan di album Bulan Apresiasi Sastra (1988) sebelum ada gerakan mengenal kebudayaan yang dibuat Sapardi dan AGS Dipayana. Orang terakhir ini dipanggil kawan-kawannya Aji. Dua sastrawan tersebut ingin anak-anak SMP dan SMA mengenal puisi penyair Indonesia. Maka tercetuslah ide musikalisasi puisi.

Waktu pertama membuat musikalisasi puisi, mereka hanya membuat lima lagu. Satu dari puisi Toto Sudarto Bachtiar, Gadis Peminta-minta, yang musikalisasinya dibuat Aji. Satu lagi Umar Muslim membuat komposisi Engkau Menunggu Kemarau, puisi yang ditulis Abdul Hadi W.M.

Yang terbanyak digarap adalah puisi-puisi Sapardi, bahkan puisi yang “masih segar”. Sapardi menulis sambil ditunggui Aji. Begitu selesai, lembarannya diserahkan ke Aji untuk segera dibuat nadanya menggunakan gitar.
Cerita menggelikan muncul ketika Ari Malibu kebagian tugas menggarap musikalisasi puisi Lima Sajak Empat Seuntai. Ari membuatnya dalam irama rock.

Walau kawan-kawan senang-senang saja dengan karya tersebut, tapi tidak bagi empunya puisi. Begitu lagu itu diputar di depan Sapardi, hanya satu komentar sang penyair, “Nggilani (menjijikkan)!”

“Habis itu kami tidak berani menyanyikannya lagi, takut banyak yang kejang-kejang. Musikalisasi Lima Sajak Empat Seuntai akhirnya dibuat ulang Mas Aji dengan pemahaman yang benar,” Reda bercerita diiringi seringai geli Ari

Hampir tiap jeda antarlagu Reda menyelipkan cerita-cerita ketika mereka mahasiswa, masa awal AriReda, dan kegiatan menyanyi di kampus. Keduanya juga pernah menyanyi reguler di Pasar Seni Ancol, diantar mobil VW Combo punya kawan mereka bernama Toha. Dijemput tepat waktu tapi selalu mulur jauh saat pulang hingga Reda terpaksa masuk rumah dengan cara lompat jendela.

Kembali ke kehangatan Coffeewar, Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, yang digarap Umar Muslim, malam itu dibuat agak bossanova. Hujan sempat turun, deras tapi tak lama. Lanjut ke Metamorfosis dan Hatiku Selembar Daun.

Hatiku Selembar Daun diserahkan Aji ke AriReda dalam bentuk kaset. Lama sesudah itu baru keduanya menyadari bahwa di Side B, ada satu musikalisasi yang belum sempat mereka garap, yaitu Dalam Doaku. Akhirnya musikalisasi ini dibawakan Dua Ibu. “ Entah di mana kaset itu, mudah-mudahan masih ada di Nana (Tatyana Soebianto).”

Lagu wajib AriReda, Aku Ingin, berulang lagi setelah dari panggung ke panggung, dari tahun ke tahun mereka bawakan. Reda pun mengulang lagi cerita konyol tentang pasangan calon pengantin yang menulis puisi ini di surat undangan dan dalam liturgi gereja yang kerap memuat puisi.

Sang calon pengantin menuliskan Kahlil Gibran, alih-alih Sapardi Djoko Damono, sebagai pencipta puisi. Protes dari pastor yang berkawan dengan Sapardi pun dibantah calon pengantin dengan alasan tak ada orang Indonesia yang bisa membuat puisi seindah itu. Ketika pastor menelepon Sapardi menceritakan kisah ini, sekali lagi hanya satu kata tanggapan Sapardi, “Pengong (dungu)!”

Lagu-lagu wajib mereka bersusulan kemudian, yakni Hujan Bulan Juni dan Kuhentikan Hujan yang menandai redanya hujan di Kemang, Ketika Kau Tak Ada yang komposisinya dibikin Mimi Larasati, dan ditutup Ketika Berhenti di Sini, orderan khusus Reda ke Aji, yang jadi penutup sesi musikalisasi. Sesi berikutnya lebih merupakan nostalgia keduanya bersama kawan-kawan kuliah yang sebagian datang malam itu.

Ari Malibu dan Reda Gaudiamo bertemu saat Reda kuliah tahun ke-2 di Sastra Prancis, Universitas Indonesia, dan menyanyi di acara inisiasi mahasiswa baru. Ferrasta Soebardi (Pepeng) ikut menonton. Pepeng yang tinggi besar berambut kribo “menguasai” satu ruang kecil kegiatan mahasiswa di dekat senat. Tamu rutinnya adalah Ari Malibu, mahasiswa Akademi Pimpinan Perusahaan yang sering dikira mahasiswa UI karena hampir selalu ikut acara seni mahasiswa UI.

“Saya dipanggil Pepeng,” ujar Reda, lalu menirukan omongan Pepeng, “‘Sini lu, duduk, main sama anak ini. Dua hari lagi lu main ya di ulang tahun Ikatan Kekerabatan Antropologi yang ke-25.’” Baru kemudian Reda bekerja sama dengan Aji yang superngotot memaksanya ikut dalam proyek musikalisasi puisi pada 1987. Ari bergabung setahun kemudian.

Lagu-lagu Aji yang banyak bernada miring bukanlah lagu yang mudah dibawakan. Reda pun kerap protes. “Setiap kali bikin lagu pasti lagunya begini. Padahal ada lho pola lagu yang sudah baku, Mas.” Tapi Aji memang ingin membuat musik yang demikian, musik yang susah, yang tak termuat dalam pakem menulis lagu.

Setelah 32 tahun, dari lagu-lagu yang tak biasa ini, AriReda sudah mendentingkan sederet serenada indah dan menciptakan soundtrack kenangan bahagia bersama kawan-kawan akrab.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 149, 6-12 Oktober 2014

0 Replies to “Serenada Indah AriReda”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.