Selapis di Balik Salju
Tiga kasus mutilasi menyeret keterlibatan seorang janda korban. Tiga korban ini pernah dekat dengannya. Sekarang detektif terobsesi pada si janda.
Oleh Silvia Galikano
Judul: Bai ri yan huo (Black Coal, Thin Ice)
Genre: Mystery & Suspense , Drama
Sutradara: Yi’nan Diao
Skenario: Yi’nan Diao
Distributor: Fortissimo Films
Pemain: Fan Liao, Lun Mei Gwei, Xuebing Wang
Durasi: 1 jam 46 menit
Potongan tungkai kaki ditemukan dalam bak berisi tumpukan batu bara di ban berjalan. “Hentikan mesin! Hentikan mesin!” teriakan supervisor pabrik batubara mengagetkan para pekerja. Ban berjalan pun dihentikan.
Tungkai itu diduga dipotong menggunakan pinggiran ice skate. Beberapa potongan lain ditemukan juga di bak-bak lainnya. Beberapa hari kemudian, ditemukan lagi potongan tubuh di dalam bak, teraduk di dalam gunungan batu bara.
Dua temuan ini mengingatkan Zili Zhang (Liao Fan), petugas keamanan pabrik, pada kasus yang sama lima tahun lalu, 1999. Dulu, potongan tangan yang ditemukan.
Sebelumnya Zhang adalah detektif yang bermitra dengan Captain Wang (Yu Ailei). Keduanya menangani kasus potongan tangan itu. Korbannya diketahui adalah laki-laki bernama Zhijun Liang (Wang Xuebin). Jandanya, Wu Zhizhen (Gwei Lun Mei), mengubur abu suaminya itu di bawah pohon depan laundry tempatnya bekerja.
Baru saja penyelidikan dimulai untuk mencari siapa pembunuhnya, Zhang bertindak ceroboh dalam sebuah penyergapan di salon kecantikan yang menyebabkan beberapa detektif tewas tertembak. Alhasil Zhang di-non–job-kan. Dari detektif yang cemerlang, dia jatuh jadi pemabuk yang menyedihkan. Istri pun menceraikannya.
Kini, kasus yang sama muncul lagi. Potongan tubuh terpencar-pencar di seluruh pabrik. Bahkan bola mata ditemukan dalam sup di sebuah warung tak jauh dari pabrik.
Karena kasus ini, Zhang bertemu lagi dengan Wang yang masih belum dapat memecahkan teka-teki lima tahun lampau. Keduanya berdiskusi di dalam mobil sambil menyusuri pelan jalan desa yang tertutup salju. Zhang menaruh curiga pada Zhizhen, “Dia ada hubungannya dengan tiga pembunuhan. Setiap laki-laki yang dekat dengannya berakhir mati.”
Zhang dilibatkan lagi dalam penyelidikan kasus ini. Namun kali ini dia mengawasi lekat-lekat sang janda muda yang nampak ringkih dengan sorot mata sedih.
Sutradara film noir (drama kriminal yang menekankan sikap sinis dan motivasi seksual) kontemporer cenderung membuat produksi yang “berbusa-busa” dan sarat pernak-pernik modern. Contoh yang paling menyolok dari genre tersebut adalah Sin City (2005), Kiss Kiss Bang Bang (2005), Brick (2006), dan Drive (2011).
Sutradara Tiongkok Yi’nan Diao mengambil jalan berlawanan lewat kisah detektif Black Coal, Thin Ice yang berlatar belakang kota industri yang ditutupi salju di Tiongkok bagian utara. Realisme sosial ditangkap dalam gerak kamera yang penuh kesabaran. Diao ingin penonton terutama memahami otentisitas karakter dan situasi filmnya ketimbang menitikberatkan estetika yang dipercaya umum.
Diao menjadikan Zhizhen sebagai pusat pusaran intrik yang rumit dan gelap, sekaligus menjadikannya titik berangkat ketika plotnya pelan-pelan menuju konfrontasi psikologis dan fisik. Pun dia membuat percintaan antara Zhang dan Zhizhen yang dingin, jauh secara emosional, tapi tetap menarik.
Black Coal, Thin Ice adalah masterpiece dalam hal framing dan komposisi. Tak ada shot yang tak perlu atau tak tepat. Plotnya yang minimalis seperti tengah malam yang beku, pelan tapi pasti merayapi malam.
Namun demikian, kesejatian film ini bukan ada di plotting, melainkan di sinematografi Jinsong Dong yang luar biasa presisi. Siang harinya putih belaka, malam harinya diambil alih cahaya neon kuning. Setting bersalju ini memberi gambar-gambar mengesankan yang tak terbatas. Ada sesuatu yang tak tertembus, memisahkan permukaan dengan apa yang ada di baliknya.
Kamera tanpa henti melakukan hal-hal tak terduga, framing-nya tak biasa. Jangan harap adegan perkelahian dan momen-momen mengejutkan seperti umumnya di film Hollywood.
Lompatan waktu lima tahun, dari 1999 ke 2004, disajikan dalam satu shot yang tak terputus. Visual lainnya diambil dari The Third Man (1949) garapan Carol Reed dan Vertigo (1958) yang disutradarai Alfred Hitchcock. Penonton dipaksa mempertimbangkan kembali apa yang mereka lihat semakin lama kamera mempertahankan shot-nya.
Yang lumayan menjengkelkan adalah cara film menahan informasi. Plot dari yang bergerak perlahan-lahan dan bertahap, lalu cepat dan menyentak, lalu diam-diam Diao menahan tensi di adegan-adegan kuncinya melalui visual yang tak terduga-duga. Tak heran kalau penonton bingung, tapi itu tadi, seolah-olah Diao menikmati ketidakmengertian penonton. Akibatnya pencapaian subtil film ini dan atmosfernya yang kompleks dibayangi alur cerita yang sebenarnya tak perlu misterius.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 157, 1-7 Desember 2014