Ujung Odyssey Middle Earth

The Hobbit: The Battle of the Five Armies
Kekompakan kurcaci, peri, dan manusia diuji saat berhadapan dengan musuh kuno, Sauron. Mereka juga harus belajar merelakan orang-orang tercinta pergi.

Oleh Silvia Galikano

Judul: The Hobbit: The Battle of the Five Armies
Genre:  Adventure | Fantasy
Sutradara: Peter Jackson
Skenario: Fran Walsh, Philippa Boyens
Produksi: Warner Bros.
Pemain: Ian McKellen, Martin Freeman, Richard Armitage
Durasi: 2 jam 24 menit

Naga Smaug (diisisuarakan Benedict Cumberbatch) akhirnya dapat dikalahkan para kurcaci di bawah komando Thorin Oakenshield (Richard Armitage). Lonely Mountain yang sebelumnya dikuasai Smaug kini kembali jadi milik mereka, juga istana Smaug yang dipenuhi emas.

Thorin hilang fokus melihat tumpukan demi tumpukan emas di tiap ruang istana. Dia hanya mau duduk di singgasana menunggui emas sementara di luar sana rakyat menghadapi teror musuh kuno mereka bernama Sauron alias Dark Lord (Benedict Cumberbatch). Melihat gelagat ini, Bilbo Baggins (Martin Freeman) pun menyembunyikan batu bertuah Arkenstone untuk dia amankan.

Sauron mengerahkan pasukan Orc untuk menghancurkan manusia. Sederet panjang pasukan kegelapan muncul dari balik bukit. Seluruh tubuh mereka berbalut besi hitam. Pedang ada dalam genggaman dan terselip juga di pinggang.

Ketika derap kaki pasukan kegelapan makin jelas terdengar, keputusan ada di tangan manusia, kurcaci, dan kaum peri, apakah akan bersaing sesama mereka atau bersatu melawan pasukan kegelapan. Nasib Middle Earth kini dalam pertaruhan.

The Hobbit: The Battle of the Five Armies melanjutkan kisah petualangan epik para kurcaci dipimpin Lord Thorin. Selain perjuangan bersama merebut Lonely Mountain, film ini juga berkisah tentang pertempuran yang dihadapi setiap orang, bagaimana kesetiaan dapat bergeser, dan betapa menyakitkannya kehilangan orang yang dicintai. Plot dan karakternya kompleks. Seri The Hobbit sebelumnya adalah An Unexpected Journey (2012) dan The Desolation of Smaug (2013).

Serial The Hobbit adalah prekuel dari serial The Lord of the Rings dengan jarak enam dekade. Dua seri itu diangkat dari karya novel fantasi karya penulis asal Inggris, J.R.R. Tolkien (1892-1973). Seperti sejatinya prekuel, mereka harus terhubung atau belum terputus dari masa depannya, yang dalam hal ini sudah lebih dahulu diketahui.

Martin Freeman kembali sebagai Bilbo Baggins, jantung dan pusat moral cerita. Sejak awal, aktor ini membentuk karakter Bilbo yang menggemaskan, konyol, dan punya percaya diri tinggi dengan petualangan tak terduga.

The Battle of the Five Armies bisa dibilang akbar dalam skala dan ambisi. Adegan utama pertempuran demikian mengesankan hingga film ini “naik” ke zenith-nya yang dipuncaki fantasi. Action-nya nonstop dan menegangkan, misal ketika Orc mengayunkan batu berantai di atas air beku saat bertarung dengan Thorin, dan ketika makhluk ini ternyata membuka mata padahal sudah tenggelam di bawah lapisan es.

Tampilan visualnya yang menakjubkan disajikan secara maksimal, gabungan dari sinematografi, efek visual, efek khusus (special effects), make-up dan prostetik, serta musik dan editing. Kostum yang detail, desain produksi yang menakjubkan, dan keindahan Selandia Baru sebagai setting menciptakan realitas fantasi yang luar biasa, gabungan yang pas sebagai penutup trilogi The Hobbit dan keseluruhan saga Middle Earth.

Namun banyak karakter jadi sekadar singgah untuk memenuhi panggilan terakhir mereka, yang membuat plotting-nya berat dan tak fokus, hal yang jarang ditemui di karya tertulis Tolkien. Sepertinya penulis skenario Fran Walsh, Philippa Boyens, Jackson, dan Guillermo del Toro kesulitan mengakali masalah ini.

The Lord of the Rings dengan tiga subjudulnya, yakni The Fellowship of the Ring (2001), The Two Towers (2002), dan The Return of the King (2003), menyimpan seri terbaiknya sebagai penutup. Alhasil The Return of the King diganjar 11 Oscar, antara lain untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, dan total 17 Oscar dari seluruh tiga serialnya.

Sekarang mari tengok The Hobbit yang mengawalinya dengan lambat. An Unexpected Journey dikenang lebih karena menyentak kesadaran dibanding karena hiburannya. Teknologinya banyak dipuji karena menggunakan kecepatan 48 (alih-alih 24) frame per second (fps) dan menyodorokan gambar-gambar jernih.

The Desolation of Smaug yang mengisahkan seekor naga raksasa di Lonely Mountain punya cerita yang jauh lebih baik dengan emosi dan action yang seimbang.

Bukan berarti seri terakhirnya mengecewakan. Bagaimana pun Jackson harus memuaskan penggemar franchise ini, sehingga “membungkus secantik mungkin” setiap subplot yang berakhir dengan kekalahan.

Ambil contoh bagaimana akhir kisah cinta antarspesies Tauriel (Evangeline Lilly) yang peri dengan Kili (Aidan Turner) yang kurcaci, akankah kesombongan Thranduil (Lee Pace) berakhir, atau apa iya Azog the Defiler (Manu Bennett) akan belajar tersenyum.

Jackson juga menciptakan ruang yang lebih bagi Armitage untuk menunjukkan apa saja yang dapat diperbuat raja kurcaci dan, jangan lupa, pertempuran Thorin dengan dirinya sendiri memampangkan introspeksi gelap dan mendalam. Namun sebaliknya bagi karakter-karakter lain yang seperti kewalahan menempatkan diri dalam hiruk pikuk hampir sepanjang film.

Tak heran jika pertarungan kebaikan melawan kejahatan kali ini kurang ‘nendang dibanding cerita tentang naga di seri sebelumnya. Atau jika bicara tentang Oscar, jangan-jangan akan bernasib sama seperti para kurcacinya, The Battle of the Five Armies bakal pulang tanpa membawa emas.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 160, 22-28 Desember 2014

0 Replies to “Ujung Odyssey Middle Earth”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.