Di Balik Penjara Gitmo

Camp X-Ray
Amy menemukan definisi baru tentang hidup dari pertemanannya dengan Ali di Guantamo. Padahal Ali tak lagi merasa hidup sejak dikurung di sini.

Oleh Silvia Galikano

Judul: Camp X-Ray
Genre:  Drama
Sutradara: Peter Sattler
Skenario: Peter Sattler
Produksi: IFC Films
Pemain: Kristen Stewart, Peyman Moaadi, Lane Garrison
Durasi: 1 jam 57 menit

Dari kota kecil yang hari demi hari nyaris statis, Prajurit Satu Amy Cole (Kristen Stewart) menerima tantangan rotasi jadi penjaga Camp X-Ray di Pangkalan Angkatan Laut Teluk Guantanamo, Kuba, penjara untuk para tersangka teroris. Amy ingin membuktikan, pada diri sendiri dan pada ibunya, dia dapat bekerja sama baiknya dengan rekan-rekan pria.

“Tugas kalian di sini bukan mencegah tahanan melarikan diri. Memang mau lari ke mana? Kalian di sini untuk mencegah mereka sekarat,” kata Sersan Ransdell (Lane Garrison) saat membawa tentara-tentara muda itu berkeliling blok. “Mereka akan menguji kalian habis-habisan.”

Camp X-Ray berdinding tebal, berpintu baja, satu sel dihuni satu orang, dan lampu di seluruh sel menyala 24 jam sehari. Para tahanan makan hingga buang air di dalam selnya. Di tiap blok, dua penjaga berkeliling melongok satu pintu sel ke pintu sel berikutnya selama 24 jam. Ada waktunya tahanan berolah raga di lapangan tapi masing-masing berada dalam kurungan kawat.

Dengan keseharian rutin begini, kebosanan dan stres jadi dua masalah utama tahanan dan penjaga. Maka kepada penjagalah para tahanan melampiaskan kemarahan. Baru beberapa menit Amy bertugas, bibirnya pecah disikut seorang tahanan yang sedang dipindahkan ke sel lain. Namun Amy tak kecut hati.

Tugas pertamanya mengantar buku-buku perpustakaan ke tahanan (buku disusun di troli, dibawa dari sel ke sel). Saat inilah perhatiannya tersita pada tahanan bernomor 471, bernama Ali (Peyman Moaadi) yang meminta seri terbaru Harry Potter, tapi tak ada dalam troli Amy.

Dia sudah membaca seluruh seri Harry Potter, kecuali seri terakhir. Pada petugas-petugas sebelumnya dia sudah meminta. Walau berkali-kali dijanjikan, tapi tak juga dipenuhi.

“Kalian SENGAJA tak menyediakan seri terakhir Harry Potter! ” Ali berteriak ke Amy. “Saya tak akan gila!”
Ali kemudian berulah dengan menutup kaca pintu selnya dengan handuk kecil. Amy berhasil menarik keluar handuk itu dengan memasukkan tangan ke lubang sempit di bawah kaca. Namun ternyata Ali punya handuk lain, lalu menutup kaca pintu selnya lagi.

Untuk kedua kalinya Amy membuka celah sempit di bawah kaca. Belum lagi tangannya masuk, tangan Ali yang menggenggam cangkir kertas sudah lebih dulu terulur keluar, lalu dalam gerakan cepat dia siramkan isinya ke baju Amy, memercik sedikit ke wajahnya. Cangkir kertas itu berisi kotoran manusia.

Camp X-Ray bukanlah film perang, bukan pula tentang “keterorisan” para tahanan, melainkan lebih ke studi karakter manusia yang diuji pada sebuah situasi, serta bagaimana hidup dapat mengungkung tanpa perlu dinding penjara.

Sutradara Peter Sattler menyusunnya dari potongan-potongan pendek percakapan Amy dan Ali yang dibatasi kaca kecil di pintu sel Ali. Momen-momen provokatifnya muncul bersamaan berkembangnya persahabatan di antara keduanya. Sebenarnya Sattler sudah memberi petunjuk sejak awal ketika Amy ngotot meninggalkan kenyamanan rumah untuk menjalani kehidupan militer yang maskulin dan penuh tekanan.

Selain Amy dan Ali, karakter lain tak banyak digali. Alhasil kita mendapat sederet karakter anonim yang berseberangan, yakni para pria Timur Tengah yang berteriak-teriak di dalam sel dan mereka yang berbalut seragam Angkatan Laut di luar sel.

Drama macam ini punya kecenderungan mudah terpeleset ke stereotipe militer yang misogini (membenci perempuan), pembenaran atau penyangkalan sebuah ideologi, hingga ke xenofobia (ketidaksukaan pada orang asing). Jangan lupa ini Gitmo, tempat para tersangka teroris merasa sedang menjalani hukuman seumur hidup tanpa peradilan.

Namun Sattler jeli memainkan narasi. Di saat kita mengira ceritanya bakal hitam putih sampai akhir, saat itu pula keyakinan kita dibuyarkan. Sattler menciptakan ruang bagi Stewart dan Moaadi membangun cerita berbeda dibanding yang biasa kita dapatkan dalam film bertema perang terhadap terorisme.

Camp X-Ray adalah debut film feature Sattler. Latar belakangnya di bidang desain grafis mempengaruhi caranya membangun set, seperti sel, lorong sempit, ruang berlapis baja, dan tampilan monokromatik yang senada seragam tentara, menciptakan suasana tertekan dan muram.

Di tengah sempitnya ruang, Kristen Stewart dan Peyman Moaadi menemukan ritme yang tepat yang membuat karakter Cole dan Ali nampak nyata dan penonton jadi lebih fokus pada gestur mereka. Contoh saja, kita tahu Ali mulai tertarik pada Amy ketika dia agak lama merapikan kumisnya.

Kristen Stewart mengundang kekaguman lewat karakternya sebagai tentara muda di Guantanamo. Sebagai bintang Twilight (2008-2012) dia bisa saja berpuas diri hanya bermain di film berlabel besar macam Snow White and the Huntsman (2012, Universal Pictures). Namun dengan nama besarnya, Stewart berani menerima tantangan berakting di film-film indie Camp X-Ray, Clouds of Sils Maria (2014), dan Still Alice (2014).

Stewart berhasil mengimbangi penampilan Moaadi yang selalu menakjubkan. Di balik sorot tajam matanya ada kemurungan yang mengendap-endap dan memberi kesan misterius. Di sana juga ada kecerdasan, kebaikhatian, kebingungan, dan nakal yang semuanya serbasekilas.

Moaadi dikenal lewat A Separation (2012), drama rumah tangga Iran yang memenangi Oscar untuk film berbahasa asing terbaik. Lewat karakter Ali, Moaadi menyodorkan dimensi yang lebih banyak dibanding Stewart dengan menyeimbangkan sisi dramatik, simpatik, sambil sesekali berkelakar. Penampilan solid dan genuine dari dua bintang utamanya menjadikan Camp X-Ray tontonan yang recommended.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 163, 12-18 Januari 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.