Kejujuran Seni Korea dalam Guci Bulan

guci bulan
Karya seni kontemporer Korea ini tercipta nyaris tanpa “campur tangan” seniman. Sebagian besar prosesnya mengandalkan alam.

Oleh Silvia Galikano

Satu bidang lukisan hanya diisi satu warna, ungu (violet) muda yang sangat halus. Sekilas polos saja dari tepi ke tepi bidang gambar, tak membentuk apa pun. Warna di tengah paling pekat, lalu makin ke tepi makin pudar. Ada tiga lukisan semacam ini yang dibuat seniman Korea Kim Taek-sang, yakni Breath Hue – Violet (2011), Breath Hue – Smoke (2013) yang berwarna biru, dan Breath Hue – Gently…softly… (2013) yang jingga.

Serial Breath Hue yang bermedia air dan akrilik di atas kanvas ini bukan berasal dari sapuan kuas, bahkan yang terlihat ungu itu pun bukan dari cat ungu, melainkan campuran merah dan biru.

Taek-sang menggunakan air yang banyak dan cat hanya 1-2 tetes. Caranya, kanvas diletakkan horisontal, lalu “direndam” campuran air dan cat tadi, ditutup kain jepang, kemudian didiamkan hingga membentuk endapan di atas kanvas. Lapisan pertama inilah warna yang tampak di tepi bidang lukis yang ungunya sangat-sangat muda, nyaris putih.

Setelah lapisan pertama kering, proses tersebut diulang lagi berkali-kali hingga didapat warna yang diinginkan (kita bisa lihat jejak lapis demi lapisnya di tepi bidang gambar). Tak heran jika merampungkan satu lukisan bisa butuh 7-8 bulan.

Breath Hue yang monokrom bersama karya-karya seniman Korea lain dipamerkan dalam Empty Fullnes: Materialitas dan Spiritualitas dalam Seni Kontemporer Korea di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 9-20 Januari 2015.

Pameran ini dimulai di Shanghai, lalu ke Beijing, Jerman, Hungaria serta negara-negara lain di Eropa, dan sekarang genap satu tahun perjalanannya.

Ada 52 karya yang dipamerkan, terdiri dari 47 lukisan dan 5 keramik, yang melibatkan 16 seniman. Para seniman itu di antaranya Yun Hyong-keun, Kwon Young-woo, Ha Chong-hyun, Chung Sang-hwa, Choi Myoung-young, Lee Gi-jo, Kim Ik-young, dan Kwon Dae-seop.

Lukisan monokrom khas Korea yang dalam bahasa Korea disebut dansaekhwehwa, kini jadi poros besar dalam seni kontemporer Korea. Lukisan ini sederhana namun anggun, beda dengan seni minimalis Barat, atau dalam istilah lain, “pengosongan secara material”.

Kim Taek-sang yang berlatar belakang pendidikan seni murni dan terbiasa dengan kanvas Barat, sempat menemui kesulitan mencari kanvas yang mendukung idenya membuat karya yang meresap. Akhirnya kanvas itu dia temukan di Jepang, kanvas jenis baru yang mendukung kebutuhan seniman Jepang membuat karya lukis yang meresap.

Selain pembuatan yang rumit, karya seni ini bukan hanya membutuhkan mata telanjang untuk menikmatinya, melainkan juga melibatkan mata hati sebagai media kontemplasi. Tak ubahnya cinta orangtua ke anaknya atau perasaan jatuh cinta yang tak nampak wujudnya tapi dapat dirasakan, seperti itu pula seri Breath Hue ini hanya dapat dinikmati dengan rasa.

Seperti Taek-sang utarakan di depan wartawan saat pembukaan pameran, “Saya tak bisa jelaskan lukisan-lukisan saya. Rasakan saja. Alam yang melakukannya, saya hanya menunggu alam bekerja.”

Lewat serial Meditation (1996 dan 2004), Chung Chang-sup (1927-2011) sang pelopor seni kontemporer Korea membuat karya yang tidak dirancang terlebih dahulu. Seniman ini menjadikan kanvas sebagai karya seni dengan menempelkan bubur kertas di atas kanvas.

Sebelum bubur kertas mengering, selembar kanvas yang lebih kecil ditekankan ke bubur kertas hingga membentuk bidang datar yang dipinggiri gundukan-gundukan tak beraturan.

Lewat Meditation, Chang-sup memasukkan unsur tradisional ke dalam seni modern Korea, antara lain teknik pembuatan kertas, penggunaan pewarna alam, dan proses pengeringan yang diangin-anginkan.

“Karya seni punya transformasinya masing-masing. Itu yang membedakan satu karya dengan lainnya,” ujar kurator pameran Chung Joon-mo.

Nilai spiritual berlimpah disuguhkan Guci Bulan (Dalhangari) yang dibuat Kwon Dae-sup, Lee Gee-Jo, Lee Kang-hyo, dan Wen Ping, menggambarkan sejarah dan nilai tembikar Korea. Berbahan keramik, berbentuk bulat sebagaimana umumnya guci, dan cara pembuatannya dengan menggabungkan dua mangkok.

Campur tangan seniman dalam pembuatannya cuma sampai guci ini dicetak. Begitu masuk tahap pengeringan, lalu pembakaran, banyak hal dapat terjadi di luar kuasa seniman, seperti berubah bentuk saat pemanggangan sehingga bulatnya tak sempurna.

Seperti Guci Bulan karya Kwon Dae-sup yang sebagian “perut”nya lebih cembung dibanding lainnya. Jika ditilik dari nilai spiritual, inilah bentuk campur tangan alam (dalam hal ini api) dalam sebuah karya, walau jika dilihat dari perspektif Barat, bisa saja guci ini dianggap cacat.

Guci Bulan adalah ekspresi kekayaan spiritual dari kekosongan fisik, sebuah pendekatan nilai dari era klasik Joseon (abad ke-14 hingga ke-19) untuk mencapai kematangan batin.

Di tengah keseharian Korea yang serbacepat, keinginan manusia yang tanpa batas, dan teknologi maju yang membuat manusia tak berhenti berkarya, kesenianlah yang bisa membuat manusia berlambat sejenak, berkilas balik, merenung. Kita bisa lihat betapa spiritualisme lukisan di Korea demikian hidup.

 ***
Dimuat di Majalah Detik edisi 164, 19-25 Januari 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.