Berbilang Masa Mencari Mbah Kawit

mbah kawit, teater tari sahita, sita nursanti
Srimpi Ketawang Lima Ganep adalah cerita kehidupan. Sosok bernama mbah Kawit jadi inspirasinya.

Oleh Silvia Galikano

Saking kayanya, sepasang orang kaya sampai bingung musti liburan ke mana lagi. Ke Korea sudah khatam dari ujung utara sampai ujung selatan. Ke Amerika sudah bolak-balik, sampai tak beda seringnya dengan Bekasi-Senen pergi pulang.

Ciku (Chandra Satria) dan Riku (Sita Nursanti) nama mereka. Ciku melilit kain panjangnya dengan sabuk emas. Namun karena tertutup baju, dia sering mengangkat ujung bajunya untuk menunjukkan sabuk emas itu pada lawan bicara.

Riku lain lagi. Perempuan setengah genit ini mengenakan hiasan kepala bertabur emas dan akan menggeleng-gelengkan kepala kalau bicara sehingga yang di depannya silau terkena kilatan kuning di jidatnya.

Di rumah mewah itu juga tinggal empat perempuan penjaga rumah. Karena Ciku dan Riku lebih sering berada di luar negeri ketimbang di rumah mereka sendiri, empat perempuan paruh baya inilah yang mengisi dan memeriahkan rumah dengan senda gurau mereka. Keempatnya bekerja dengan hati gembira sambil menyanyi dan menari.

Dulu sekali, mbah Kawit yang bekerja di rumah ini. Empat perempuan yang dulu masih muda-muda itu bekerja mengelola rumah dan halaman yang luas di bawah arahan mbah Kawit.

Setelah mbah Kawit wafat, keempatnya bagai anak ayam kehilangan induk. Walau tetap tinggal di rumah besar itu tapi mereka seperti kehilangan pegangan, tak tahu ke mana tempat bertanya.

Riku, walau genit, adalah perempuan bijaksana dengan pertimbangan mendalam terhadap apa pun. Contohnya, melihat sang suami galau mencari tempat liburan, dia berkata pelan tanpa kehilangan nada genitnya, “Ciku cintaku, apakah kau lupa, ada satu tempat yang sudah lama sekali tidak kita datangi, ranjang pengantin kita?”

Tari teatrikal yang sarat humor ini dijuduli Srimpi Ketawang Lima Ganep. Dimainkan Kelompok Teater Tari Sahita beserta Sita Nursanti dan Chandra Satria, di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, 28 Februari 2015. Sita Nursanti dan Chandra Satria adalah penyanyi yang kerap juga tampil di panggung-panggung teater Indonesia.

Pementasan berdurasi 60 menit ini dibagi menjadi tiga babak. Babak pertama diisi Sahita bercerita tentang kegembiraan empat perempuan dalam balutan jarik lusuh dan rambut beruban tapi tetap energik bekerja dan menirukan lakon-lakon wayang.

Babak kedua tentang Ciku dan Riku serta betapa kayanya mereka. Babak ketiga berisi empat perempuan ini kelelahan setelah berbilang tahun tanpa mbah Kawit dan terpaksa meraba-raba sendiri.

Mbah Kawit bukan hanya “bos” mereka, melainkan juga guru kehidupan yang mengajarkan jalan pulang, jalan kembali ke alam asal muasal. Hidup dengan membutakan mata dan menulikan telinga sama saja artinya dengan kehilangan hati nurani dan nalar.

Hanya semangat mbah Kawit yang dimunculkan dalam Srimpi Ketawang Lima Ganep. Karakternya pernah jadi tokoh utama dalam lakon Tuh (naskah dibuat pada 1988) yang ditampilkan Teater Gapit dalam drama berbahasa Jawa.

Sahita memang tak bisa dilepaskan dari Teater Gapit. Kelompok Teater Tari Sahita asal Surakarta ini didirikan empat perempuan, yakni Wahyu Widayati (Inonk), Sri Setyoasih (Ting Tong), Atik Sulistyaning Kenconosari, dan Sri Lestari (Cempluk).

Awalnya mereka anggota Teater Gapit, hingga akhirnya sang sutradara, Bambang Widoyo SP (Kenthut), wafat pada 1996. Keempatnya kemudian membentuk Kelompok Teater Tari Sahita pada 22 Juni 2001, tahun yang sama dibuatnya naskah Srimpi Ketawang Lima Ganep.

Karya-karya Kelompok Teater Tari Sahita yang sebelumnya pernah digelar antara lain Srimpi Srempet, Iber-iber Tledhek Barangan, Alas Banon, Gathik Glinding, Rewangan, dan Sendon Abimanyu. Mereka juga terlibat dalam produksi seniman-seniman seperti Sardono W. Kusumo dalam Opera Diponegoro, Garin Nugroho untuk film Opera Jawa, dan Atilah Soerjadjaya untuk Matah Ati.

Srimpi Ketawang Lima Ganep sendiri berarti nihil. Ketawang adalah tari bedoyo yang keluar setahun sekali sewaktu ulang tahun penobatan raja (tingalan jumenengan), sedangkan srimpi adalah tari klasik lain lagi, sama-sama dari kraton. Ganep adalah bilangan genap, sedangkan lima bilangan ganjil.

“Jadi, srimpi ketawang adalah nihil, lima ganep juga nihil. Artinya, bagaimana pun kita ini tidak ada apa-apanya,” ujar Inonk usai pementasan.

Mbah Kawit dan empat perempuan ini mengingatkan kita pada istilah magersari, yakni orang yang boleh tinggal di sebuah rumah tapi tak boleh memiliki. Orang kaya dalam masyarakat Jawa dahulu bisa dipastikan punya rumah utama, disebut rumah kanjengan. Tiap rumah kanjengan umumnya punya magersari.

Dalam cerita ini, mbah Kawit adalah magersari pertama, yang punya tanggung jawab memelihara dan merasa memiliki (rumongso melu handarbeni) rumah. “Setelah mbah Kawit yang jadi pengikat itu tak ada, empat perempuan ini tak kuat lagi menyangga. Apalagi anak-anak sudah dewasa, larinya sudah tak bisa dikendalikan,” kata Inonk.

Mbah Kawit yang ikhlas, jujur, dan setia mengajarkan manusia tak perlu pusing membalas perbuatan buruk orang lain toh si jahat dan si baik sama-sama menuju akhirat. Sama-sama menyanyi dengan gembira sambil terus melakukan kebaikan adalah laku terbaik agar jalan pulang lapang adanya.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 171, 9-15 Maret 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.