Menakar Siluman Sebuah Legenda

Opera Ular Putih, teater koma
Penguasa curiga ada siluman yang menyelinap di antara warganya. Kemurnian ras manusia harus dijaga walau dengan harga yang sangat mahal.

Oleh Silvia Galikano

Warga kota mulai curiga pada pasangan tabib pemilik rumah obat, Pehtinio (Tuti Hartati) dan Hanbun Ade Firman Hakim dan Dodi Gustaman). Rumah obat mereka belum lama berdiri tapi langsung laris manis. Sang istri diduga sakti.

Yang membuat kecurigaan bertambah, sejak mereka datang ke kota ini dan membuka usaha rumah obat, warga kota terjangkit wabah penyakit aneh dan hanya mereka yang bisa menyembuhkan. Ketika kecurigaan makin meruncing, Hanbun yang termakan hasutan, curiga telah menikahi siluman.

Menjadi manusia adalah keinginan tertinggi Pehtinio. Dia tak mau lebih lama lagi jadi siluman Ular Putih dan ingin bisa merasakan semua yang manusia rasakan, termasuk mencinta. Ular Putih pun bertapa selama 1700 tahun.
Keinginan Ular Putih awalnya ditentang sang adik, Ular Hijau (Andhini Puteri), tapi akhirnya mereka berubah jadi manusia, dua perempuan cantik. Ular Putih memakai nama Pehtinio, dan Ular Hijau diberi nama Siocing.

Tinio kemudian menikahi seorang manusia bernama Hanbun dan memulai hidup baru di kota lain sebagai tabib dan membuka rumah obat. Suami istri itu mendadak termahsyur karena mampu menyembuhkan berbagai peyakit.
Di saat Pehtinio dan Hanbun menjalani hidup tenang sebagai keluarga baru, mereka dikagetkan dengan kedatangan para pembasmi siluman yang merasa membawa mandat dari Langit. Pasukan dengan pembawaan kasar itu mencium aroma siluman di rumah obat.

Pendeta Bahai (Rangga Riantiarno) dan Peramal Gowi (Adri Prasetyo), muridnya, tetap menganggap Pehtinio dan Siocing sebagai siluman dan tak boleh hidup bebas bersama manusia. Sang Siluman Ular Putih akhirnya ditangkap dan dipenjara penguasa, tak peduli besarnya jasa Pehtinio pada warga kota.

Teater Koma akhirnya mementaskan kembali lakon Opera Ular Putih, 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lakon versi N. Riantiarno ini merupakan produksi ke-135 Teater Koma setela, antara lain, Rumah Kertas, Kontes 1980, Opera Primadona, Opera Sembelit, dan Republik Cangik.

Teater Koma pernah juga mementaskan kisah klasik Tiongkok ini pada 23 April hingga 8 Mei 1994. Dibanding pementasan pertama, tak ada yang berubah dalam naskah, kecuali membuat dialog lebih enak diucapkan.
Jika naskah sudah ada, kami akan membahas apa saja yang ada di sekitar kita. Bisa suasana politik, kondisi sosial, dan keadilan,” ujar Nano Riantiarno seperti tertulis di katalog pertunjukan.

Dua puluh satu tahun berlalu, lakon Opera Ular Putih selalu menemukan cara yang bijak dan bagus, sehingga bisa ditempatkan pada masa yang tepat. Dulu, berbicara tentang kekuasaan yang sewenang-wenang. Kini, tentang siapa yang mampu membedakan antara watak manusia dan siluman? Siapa manusia dan siapa siluman?

Naskah aslinya berlatar belakang Tiongkok era penjajahan bangsa Mongol pada awal 1200-an. Itu sebabnya hingga kini tak ada yang tahu nama pengarang Opera Ular Putih, karena pada masa itu tak ada yang berani menuliskan nama pengarangnya, takut pada penguasa Mongol. Namun ada teori, menilik ciri-ciri kebudhaaannya, kisah ini berkembang di Tiongkok ketika Buddha baru masuk dan dianut di negeri itu, yaitu pada zaman Dinasti T’ang II (618-906).

Cerita rakyat ini kemudian ditulis dalam bentuk novel dengan judul Pai Sheh Chuan (Kisah Ular Putih) pada zaman Dinasti Ching (Mancu, 1644-1911), dan sejak itu lahirlah berbagai versi sastra tulisnya.

Di Indonesia sendiri, cerita Ouw Peh Coa (Dua Siluman Ular) pernah amat populer di masyarakat peranakan-Tionghoa di Indonesia lewat sastra lisan, sastra tulis, maupun teater. Jejaknya ada di Buku Cerita di Negeri Cina Merk Goan Tiauw: Cerita Ouw Pek Coa dan Khouw Han Bun (W. Bruining CO. Betawi) yang terbit pada 1883.

Pementasan tertua cerita Ouw Peh Coa dalam bahasa Melayu-Pasar atau Melayu Rendah terjadi pada tahun 1911. Opera-derma atau cia-im atau cu tee hie, adalah sejenis komedi stamboel dan bangsawan yang marak pada 1890-an sampai 1920.

Rima Ananda Oemar yang jadi penata busana untuk pementasan kali ini, melibatkan batik di hampir semua busana, dalam atmosfer yang menyerupai dan dalam suasana yang tepat. Busana khas Tiongkok dimodifikasi dengan batik motif sidomukti, megamendung, hingga lereng, jadi paduan yang cantik dan kaya. Ditambah tata rias oleh Sena Sukarya yang memperlihatkan percampuran dua budaya dan menguatkan semangat akulturasi budaya.

Yang juga kali ini ada tapi tak ada dalam pementasan 1994 adalah musik klasik Tionghoa, seperti gu sheng dan erhu, yang diletakkan di panggung kanan depan (dari arah penonton). Apa yang dimainkan di panggung, dimainkan pula oleh musik Tionghoa, sehingga lebih mendekati suasana adegan.

Ketika para dewa yang berkuasa penuh membuat aturan, dan kemudian melanggarnya sendiri, manusia hanya bisa patuh. Bahkan para dewa sudah mengantongi siapa saja yang dianggap manusia dan siapa yang dianggap siluman.

Bagaimana kalau ternyata kita yang dicap sebagai siluman, akankah menerimanya begitu saja? Apakah cap siluman tak bisa dibasuh dengan air jenis apa pun? Lantas, semampu apa mata hati kita membedakan mana manusia dan mana siluman sehingga tetap segaris dengan keinginan Dewa bahwa “bumi harus bersih, langit harus suci”? 

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 176, 13-19 April 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.