‘Bulan di Atas Kuburan’ dan Mimpi Akan Jakarta

Judul: Bulan di Atas Kuburan
Sutradara: Edo WF Sitanggang
Skenario: Dirmawan Hatta
Produser: Tim Matindas, Dennis Chandra, Leonado A. Taher
Produksi: MAV Production, Sunshine Pictures, FireBird Films
Pemain: Rio Dewanto, Tio Pakusadewo, Atiqah Hasiholan, Donny Alamsyah, Ria Irawan, Andre Hehanussa, Arthur Tobing, Nungki Kusumastuti, Adi Kurdi, Mutiara Sani, Annisa Pagih, Remy Sylado

Oleh Silvia Galikano

bulan di atas kuburan

Samosir di brosur-brosur wisata adalah pulau yang hijau, sejuk, dikelilingi danau Toba nan indah. Namun yang seumur hidup dirasakan Sahat (Rio Dewanto), kampung halamannya itu tak lebih dari ilalang dan batu. Sisi indah Samosir hanya untuk orang-orang berduit.

Tak banyak yang disodorkan Samosir , terlebih baginya yang ingin mengembangkan karier sebagai penulis novel. Jakarta, menurut Sahat, kota ideal untuk cita-citanya.

Sementara itu dalam sebuah pesta adat di Tomok, Tigor (Donny Alamsyah) yang bekerja sebagai sopir angkot, bertemu Sabar (Tio Pakusadewo) yang pulang kampung membawa cerita sukses di Jakarta. Sabar bercerita pekerjaannya sebagai pengusaha yang sering berurusan dengan menteri. Tigor pun melihat masa depan yang lebih cerah di Jakarta.

bulan di atas kuburanSahat meninggalkan mamaknya (Mutiara Sani) di Samosir untuk menjemput harapan di Jakarta bersama Tigor. Untuk sementara, keduanya menumpang di rumah Sabar.

Baru mereka sadari, Jakarta tak secemerlang yang selama ini dibayangkan. Ternyata Sabar bukanlah pengusaha kaya, melainkan makelar proyek yang menjajakan proposal ke kantor-kantor pemerintah. Dia tinggal berdua istrinya, Minar (Ria Irawan), di sebuah rumah kontrakan di lingkungan padat penduduk.

Keesokan harinya, Sahat mendatangi kantor penerbitan yang berjanji menerbitkan naskah novel yang sudah lama dia kirim. Pemilik penerbitan itu, Marulli (Arthur Tobing), adalah tim sukses calon presiden, Beni (Remy Sylado).

Sahat diterima putri Marulli, Mona (Atiqah Hasiholan) yang terlibat dalam kampanye. Mona sangat menyukai naskah Sahat, hingga mencuplik kata-kata dalam naskah sebagai gimmick kampanye. Bersama Mona, Sahat makin terlibat dalam kampanye dan lupa dengan cita-cita awalnya datang ke Jakarta.

bulan di atas kuburan

Tigor mendapat pekerjaan jadi timer angkot di terminal setelah menyelamatkan penguasa terminal dari keroyokan gangster. Tigor jatuh cinta pada Annisa (Annisa Pagih), perempuan pekerja malam, yang tiap malam menunggu angkot terakhir ke Senen. Namun perempuan ini selalu menghindar dengan alasan Tigor tak tahu siapa Nisa sebenarnya.

Gerak-gerik Tigor cukup lama diamati kepala gangster, Clemen (Andre Hehanussa) yang kagum akan keberanian anak muda itu. Dari timer, jabatannya dinaikkan jadi sopir angkot, dan terakhir jadi debt collector serta diberi akses menemui Clemen secara langsung hingga mengundang iri anggota lain.

Suatu hari, Tigor ditugaskan menagih cicilan sepeda motor yang sudah menunggak beberapa bulan. Dia gedor pintu rumah, berlanjut gedor pintu kamar, dan mendapati perempuan yang terduduk di tepi tempat tidur, gemetar ketakutan sambil memeluk anaknya yang masih kecil adalah Nisa.

bulan di atas kuburan 1973
Poster “Bulan di Atas Kuburan” (1973)

Terlepas Bulan di Atas Kuburan adalah film re-make, sudah lama, lama sekali, Indonesia tak punya film berbobot seperti ini. Dari alur cerita, karakter, dialog, setting, sinematografi, skor dan soundtrack, hingga kadar hiburannya nyaris sempurna (jika sempurna hanya milik Tuhan).

Ceritanya kompleks tapi Dirmawan Hatta dan Edo Sitanggang bisa membuatnya tetap enak dicerna, menghibur, dan tak kehilangan kedalamannya. Penonton akan dibuat betah duduk sampai film habis tanpa satu kali pun mengerutkan kening. Musik garapan Viky Sianipar semakin menguatkan roh film ini.

Bulan di Atas Kuburan pertama kali dibuat pada 1973 oleh Asrul Sani. Naskah ditulis Asrul dan Sitor Situmorang. Inspirasinya dari sajak Sitor Situmorang berjudul Malam Lebaran yang berisi hanya satu baris: Bulan di atas kuburan. Mutiara Sani, Muni Cader, Rachmat Hidayat, dan Kusno Sudjarwadi didapuk sebagai pemain.

Film yang diproduseri Sjumandjaja itu kemudian mendapat Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1975 untuk kategori Pemeran Pembantu Pria Terbaik, Aedy Moward, dan mendapat Plakat H. Usmar Ismail untuk kategori Film Aktuil Masyarakat Terbaik. Bulan di Atas Kuburan dianggap satu dari dua karya terbaik Asrul Sani, selain Apa jang Kau Tjari Palupi (1969).

Kini, 42 tahun kemudian, Edo menginterpretasi ulang kisah urban tersebut. MAV Production dan Sunshine Pictures membeli naskah original Bulan di Atas Kuburan.

bulan di atas kuburan

Kami menemukan seluloid film aslinya di Sinematek. Beberapa bagian kotor dan terbakar. Film itu kemudian kami cuci sendiri,” ujar Edo pada pemutaran film untuk wartawan, 6 April 2015, di Institut Francais Indonesie, Jakarta.

Dirmawan Hatta menulis ulang skenarionya dan meletakkannya dalam konteks persoalan era kini, termasuk sudut pandang anak muda sekarang yang mengglobal dan punya sentimentalitas politik. Korupsi sebagai tema asli dibuat pengayaannya, dan dipampangkan bagaimana semua kalangan punya kejahatannya masing-masing.

Kamera khusus pun didatangkan dari Singapura. Mutiara Sani yang dulu berperan sebagai Mona, kini bermain lagi, sebagai ibu Sahat. Yang istimewa juga, film ini menghadirkan sederet cameo, seperti Ray Sahetapy, Denada Tambunan, Dedy Lisan, Meriam Bellina, serta Ferry Salim.

Bulan di Atas Kuburan adalah wajah Indonesia kontemporer yang diwakili sosok ibukota, Jakarta. Jalan hidup memaksa manusia-manusianya yang dulu bersama, berpisah, makin jauh, dan menjalani karmanya masing-masing. 

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 176, 13-19 April 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.