Berguru Leo Kristi pada Alam

 

leo kristi, penyanyi leo kristi

Tak banyak penyanyi idealis Indonesia yang konsisten di jalur yang tak umum. Leo Kristi ada di antara yang sedikit itu selama lebih dari 40 tahun.

Oleh Silvia Galikano

Suaranya masih segahar dulu saat nada mengentak. Falsetto-nya tak kehilangan power. Dan ketika sampai di Lenggang Lenggok Badai Lautku yang bercerita tentang getirnya hidup nelayan, Leo menggeber gitarnya dengan semangat yang tak pernah luruh.

Kiranya nelayan muda kembali hanya perahu/ meninggalkan istri lama bersedih menunggu/ kenapa tak kembali/ kenapa tak kembali/ kenapa tak kembali nelayanku

Sabtu malam pekan lalu, 25 April 2015, jadi ajang reuni dan reriungan bagi 200-an LKers (sebutan bagi penggemar Leo Kristi) dalam konser bertajuk Leo Kristi Live in Concert @Springhill di Function Hall Springhill Clubhouse, Kemayoran, Jakarta. Dua ratusan penonton memenuhi function hall. Selain penonton yang duduk di kursi, bagian depan (terdekat dengan panggung) dipenuhi penonton “kelas lesehan”.

Bersama Titi Ajeng (vokal), Maryam Lupita (vokal), Aliya Shafira Wibowo (vokal), Puspita Herdiani (cajon), Mung Sriwijana (bass), Liliek Jasqee (violin), dan Djoko (gitar), Leo mengajak penonton ke masa-masa saat semua masih sederhana. Ketika duit seratus rupiah bisa untuk membeli selinting kretek, segelas kopi tubruk, dan satu pisang goreng (Di Deretan Rel Rel). Tak heran jika penontonnya pun generasi yang pernah mengalami masa-masa itu, walau terselip juga beberapa orang muda usia 20-an tahun.

Leo mengenakan jas tutup hitam dengan pin garuda emas tersemat di tengah dada. Selain memainkan gitar, sesekali Leo memainkan harmonika, ukulele, piano, dan meniup suling. Panggung dibuat seperti hutan yang meranggas dengan ranting-ranting kering di tepi dan rontokan daun kering mengisi lantai panggung.

Lebih dari 20 lagu dia bawakan dan semua ikut dinyanyikan penonton. Dari Catur Paramita, Nyanyian Malam, Nyanyian Maria, Kereta Laju, Tepi Surabaya, Salam dari Desa, Beludru Sutera Dusunku, Dari Fajar hingga Fajar, Laut Lepas Kita Pergi, Lewat Kiaracondong, Silhouette Kathedral Tua, Di Atas Bukit Utara Selaksa Bunga Rumput Goyang Bersama, sampai Gulagalugu Suara Nelayan.

Konser ini konser Leo, tapi dia tak menempatkan diri sebagai bintang “di atas panggung” yang lebih tinggi dari penggemarnya. Dia melayani sedulur-sedulur (sapaan khas sesama LKers) tanpa terkungkung daftar lagu dan durasi.

Leo menyanyikan apa saja yang diserukan penggemarnya dan memanggil LKers untuk tampil bersama di panggung. Tak heran jika konser ini berlangsung hampir empat jam. Oh satu lagi, di tiga-perempat konser entah siapa yang membawa sekotak besar tahu goreng, tahu-tahu kotak itu sudah diestafetkan dari satu orang ke orang lainnya. Konser apa ini?

Penonton pun menggila sejak lagu pertama. Yang berkumpul di sudut kiri depan sepertinya pentolan garis kerasnya. Sekira 6-7 orang menyanyi paling gegap-gempita, paling sering menyerukan request lagu, paling seru berjoget, dan paling rajin memberi aba-aba ke penonton lain dengan ketukan yang presisi. Saya curiga, mereka ini provokator konser.

Sebelum menyanyikan Islander milik Nightwish, Leo bercerita saat lewat kawasan yang digunakan keriaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, dia melihat banner Sukarno jatuh tertiup angin. Tak ada yang mengembalikan posisi banner walau di sana banyak petugas.

“Teringat saat-saat terakhir beliau, di Wisma Yaso dan kesunyian yang beliau rasakan. Kira-kira apa yang kita rasakan saat-saat akhir nanti?” ujar Leo, lirih.

Kehadiran Titi Manyar seakan ibu bagi semua pemain dan penonton. Dalam usia yang tak lagi muda, suara beningnya tetap jernih dan bulat saat menanjak nada-nada tinggi, serta lincah meliuk-liuk di nada-nada cepat. Seperti ketika Titi menyanyikan Serenada 1971 dan Siti Komariah Si Ikal Mayang yang diminta penonton—penonton di sudut kiri tadi itu—sementara Leo bermain piano.

Engkau membaca ayat-ayat suci dan menghitung setiap dencing pundi-pundi/ aku teringat akan ibu di sana yang tak pernah membaca apa-apa/ hanya menghitung setiap hati manusia/ hanya menghitung setiap tangis manusia/ hanya menghitung setiap jerit manusia.

Leo si pria kelahiran Surabaya, 8 Agustus 1949 itu mulai dikenal pada 1969 lewat grup Lemon Trees bersama Gombloh dan wara-wiri di festival-festival musik folk di Surabaya, Jakarta, dan Bandung. Waktu itu dia masih menggunakan nama Leo Imam Soekarno. Baru pada 1970-an namanya jadi Leo Kristi.

Leo sempat membuat duet dengan Titi Ajeng dalam Leo & Christie, membawakan balada Bob Dylan, Joan Baez, Nana Mouskouri, Cat Stevens, Simon and Garfunkel, serta Peter, Paul and Mary. Kemudian membentuk kelompok folk dengan nama Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK) dan pada 1975 merilis album debut Nyanyian Fajar pada label Aktuil Musicollection yang dikelola majalah musik Aktuil di Bandung.

Formasi awal KRLK adalah Naniel, Mung, serta penyanyi Tatiek dan Yayuk. Barisan kemudian berubah jadi Ote, Komang, Coki Negral, dan penyanyi kakak beradik Rafael dan Derkley, selain Mung. Hingga sekarang KRLK sudah berganti-ganti formasi, tapi semangat yang mereka usung tetap sama, menyenandungkan balada, semangat cinta bangsa, dan kisah-kisah rakyat lewat lirik-lirik puitis. Leo menemukan pengembaraan musiknya lewat perjalanan panjang menjelajah Nusantara.

Setelah Nyanyian Fajar (1975), berturut-turut KRLK mengeluarkan sepuluh album lagi, di antaranya Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka (1977), Lintasan Hijau Hitam (1984), Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993), dan yang terakhir Warm, Fresh, and Healthy (2010).

Nyanyian Tanah Merdeka dianggap paling sukses di pasar. Di dalamnya ada Gulagalugu Suara Nelayan yang jadi lagu wajib tiap kali Leo manggung, Kaki Langit Cintaku Berlabuh, Salam Dari Desa, Lewat Kiaracondong, Hitam Putih, Kereta Laju, dan Tepi Surabaya. Hingga kini, 40 tahun berlalu, terbukti lagu-lagunya masih berdaya sihir kuat bagi penggemar lagu-lagu bermutu.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 179, 4-10 Mei 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.