Prekuel yang Kurang Horor

insidiousSeorang remaja diteror roh jahat. Inilah momentum bagi cenayang veteran membuktikan dirinya lebih kuat dari hantu terjahat sekali pun.

Oleh Silvia Galikano

Insidious: Chapter 3
Genre: Horor
Sutradara: Leigh Whannell
Skenario: Leigh Whannell
Produksi: Focus Features
Pemain: Dermot Mulroney, Stefanie Scott, Angus Sampson
Durasi: 1 jam 37 menit

Quinn Brenner (Stephanie Scott) merasa beberapa hari belakangan ibunya, yang wafat setahun lalu, sedang menyampaikan pesan. Pasalnya barang-barang di kamarnya kerap berubah posisi.

Didorong keinginan dapat berkomunikasi dengan arwah ibunya, Quinn menemui cenayang, Elise Rainier (Lin Shaye). Elise yang ditemui di rumahnya, menolak dengan alasan dia sudah pensiun dari kegiatan yang berurusan dengan arwah.

Sejenak Quinn melupakan keinginan absurdnya. Selain bersekolah, dia kembali menekuni drama dan rajin ikut casting. Saat casting di sebuah gedung pertunjukan, sekilas dia melihat bayangan hitam di kejauhan, lalu bayangan itu hilang.

Bayangan itu muncul lagi sewaktu Quinn menyeberang jalan. Perhatiannya tertuju pada bayangan padahal dia sudah melangkah ke jalan, hingga brakkk! Mobil menabrak dari belakang, tubuh Quinn terpental keras ke kap mobil, lalu berakhir di aspal dan tak sadarkan diri.

Quinn keluar dari rumah sakit dalam keadaan kedua kakinya digips karena patah dan kini sepenuhnya bergantung pada kursi roda. Dalam keadaan tak berdaya demikian, peristiwa yang dialami Quinn semakin mengerikan. Dia didorong jatuh terjerembab dari kursi roda. Kali lain, dia terbangun sudah berada di unit apartemen kosong, tepat di atas unit apartemennya.

Ayahnya, Sean Brenner (Dermot Mulroney), menemui Elise setelah menyadari aktivitas paranormal yang terjadi pada putrinya sudah dalam taraf membahayakan nyawa. Kali ini Elise menyanggupi.

Dapat ditebak, rangkaian peristiwa yang belakangan terjadi pada Quinn, termasuk berubahnya letak benda-benda di kamar, tak ada sangkut pautnya dengan Lillith sang ibu. Ada roh jahat yang sedang mencari medium, dan Quinn dianggap tepat. Remaja ini dalam keadaan “terbuka” karena pernah berusaha membuat kontak dengan mendiang ibunya.

“Kau harus benar-benar hati-hati,” Elise memperingatkan. “Jika kau memanggil salah satu dari roh orang mati, seluruhnya dapat mendengarmu.”

Terungkap juga alasan mengapa Elise pernah menolak Quinn, yakni karena ada roh jahat dengan energi yang sangat kuat yang dulu bersumpah akan menghabisi nyawanya jika Elise melanjutkan aktivitasnya sebagai cenayang.

Insidious: Chapter 3 merupakan debut penyutradaraan Leigh Whannel yang juga menulis naskah sekaligus berperan sebagai Specs. Walau judulnya mengandung angka 3, tapi posisinya sebagai prekuel dari dua seri sebelumnya, Insidious (2010) dan Insidious: Chapter 2 (2013) yang sudah mengumpulkan $257 juta (lebih dari Rp3,4 triliun) dari seluruh dunia.

Posisinya sebelum tim Spectral Sighting terbentuk. Di sini kita bertemu lagi dengan karakter-karakter Sean Brenner (Dermot Mulroney), Quinn Brenner, Tucker (Angus Sampson), Specs (Leigh Whennel), dan Elise Rainier.

Fokusnya pada keluarga Lambert, keluarga yang kerepotan mengurus rumah tangga usai kematian mendadak sang ibu, Lillith. Selain itu, film ini mengeksplor asal-usul cenayang Elise Rainier serta bagaimana terbentuknya hubungan profesional Elise dengan Specs dan Tucker, dua pemburu hantu bersenjatakan gadget yang muncul di seri pertama dan kedua.

Karena ini prekuel, maka yang belum menonton Insidious dan Chapter 2, dapat juga menikmatinya tanpa bertanya-tanya “ini siapa” atau “mengapa bisa begini”.

Wan adalah masterclass dalam mengkoreografikan ketegangan, dan sudah dia buktikan di Insidious & Insidious: Chapter 2. Sebaliknya, Whannell tak banyak menampilkan kemampuan tersebut dalam debut penyutradaraannya ini, malah mengandalkan pekikan skor musik yang mengagetkan.

Tak ada satu pun trik Whannell di sini yang tak ada di dua seri sebelumnya yang disutradarai James Wan. Penggambaran tentang alam “berikutnya” garing dan tak imajinatif. Boro-boro serem.

Visi artistik Insidious padahal sudah diartikulasi secara jelas, tapi sayang, Whannel mereproduksi secara seadanya. Ada adegan yang jauh lebih bagus ketika dieksekusi Wan di bagian pertama. Insidious mengalami kemunduran di tangan Whannell.

Selain cerita asli untuk Elise, selebihnya, tak satu pun tambahan tentang mitologi Insidious, sehingga bagian ini terasa sekadar dasar atas sesuatu yang lebih penting. Chapter 3 ini mundur dibanding Chapter 2 dan Insidious, secara harafiah sekaligus metafora.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 184, 8-14 Juni 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.