Bingkai Wajah Jakarta
Jakarta adalah megapolis yang dikenal dunia karena notoriousity-nya. Ada panorama urban dengan beragam kisah dan karakteristik warganya.
Teks & Foto: Silvia Galikano
Dua perempuan menutup muka, satu dengan kedua tangan, satu dengan kain. Sulit menjelaskan apa “cerita” foto ini kecuali sudi menengok sebentar ke bidang putih di tepi foto, tempat dituliskannya judul: Kota (2006), yang mengacu pada kawasan industri malam Jakarta.
Makin jelas lagi ketika memperhatikan latar belakangnya, yakni foto berbingkai yang hanya tampak kira-kira seperlima bawahnya, berisi jajaran perempuan berbaju seragam dalam posisi duduk, jajaran “orang-orang terhormat”. Dua kelompok ini seakan-akan sedang dipertentangkan. Yang di depan berseberangan dengan yang di belakang.
Perhatikan juga bangunan-bangunan tinggi apartemen yang kotak-kotak minimalis, tak ubahnya sarang burung dara di foto berjudul Kemayoran (2008). Padahal latar depannya patung kuda, patung bola dunia, dan patung burung dengan sayap terentang, ketiganya menonjolkan citarasa seni dengan detail apik, sangat berlawanan dengan kotak-kotak minimalis di belakangnya.
Maka inilah Jakarta, tempat istilah-istilah antonim sangat diakrabi macam penghuni-pendatang, peluk-campak, kaya-miskin, eksplisit-hipokrit, untung-rugi, kalah-menang, hidup-mati, dan tentu saja, cinta-benci. Walau atas nama cinta, Jakarta tak selalu harus antagonis.
Fotografer Fanny Octavianus menyajikan esai foto urban tentang Jakarta, yang makin hari makin redup toleransinya, dalam pameran bertajuk JKT. di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, 21 Juni – 31 Juli 2015. Pameran ini untuk memperingati ulang tahun ke-488 Jakarta.
Fanny menatap Jakarta sebagai kota buta, cyclops raksasa buas bermata satu yang kehilangan penglihatan setelah mata satu-satunya tertikam pedang tajam Sinbad, pelaut fiktif dari Baghdad. Metropolitan seperti dibiarkan tersungkur tanpa daya, tersudut di koordinat garis lintang dan bujur satelit bumi kita.
Di metropolitan ini, berkantor secara resmi wakil-wakil rakyat yang tak pernah kunjung dewasa juga para eksekutif yang belum mampu menegakkan benang basah bernama hukum. Belum lagi balada kemacetan dan variasi kriminal menjadi lumrah, hingga warga Jakarta akhirnya dengan pasrah terpaksa menerima kenyataan itu.
Semenjak bergabung dengan Divisi Mandiri Pemberitaan Foto Antara pada 2006, Fanny berkesempatan mengenal lebih dekat dengan kota yang saat ini populasinya terus membengkak. Penghuninya mendekati angka 14 juta jiwa pada siang hari dan nyaris 10 juta jiwa pada malam hari.
Segenap penghuni dengan sejumlah sifat selalu punya kisahnya sendiri. Seganjil apapun. Dari keberadaan 14 juta jiwa itu, sederet kemungkinan diciptakan, terciptakan, atau kemungkinan baru yang tercipta dengan memangsa kemungkinan lainnya. Saling memangsa sebagai wujud kepanjangan tangan dari kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang kemudian berwujud tekanan kuat serta tarikan tegang yang harus ditanggung kota ini, ditanggung warganya.
“Masyarakatnya lebih peduli pada segala hal yang printilan sifatnya. Suka atau tidak, Jakarta dewasa ini adalah megapolis yang semakin konservatif, dan karenanya hipokrit. Horor dan kebencian atas nama keyakinan juga semakin menjadi,” seperti ditulis kurator pameran Oscar Motuloh dalam pengantar.
Itu sebabnya Fanny menangkap Jakarta sebagai kosmopolis verbal yang buta dan tak berjiwa. Tak ada lagi aura gemerlap yang terpancar dari kepongahan belantara gedung pencakar langit yang menggapai-gapai seperti ingin menggaruk surga.
Satu demi satu frame terekam dalam kartu memori digital pada otak kecil kameranya. Bagaimana pun, fotografi hanyalah gapura. Gerbang untuk menghamparkan opini visual perihal jiwa kota tempat Fanny tinggal. Sampai graffiti itu tak lagi tertangkap mata. Jauh sekali di sana. Tak berbatas.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 187, 29 Juni – 5 Juli 2015