Ayunan di Rumah Telaga

ujung surabaya, imelda roselino, ayunan, rini
Rini di atas ayunan, 1981. (Foto: Oom Faisal)

Ayunan di foto ini ada di rumah kami di Surabaya. Adik saya, alm. Rini, yang ada di atas ayunan, dipotret Oom kami, Faisal, yang sedang berkunjung ke Surabaya, tahun 1981.

Papa yang membuatkan ayunan itu setelah saya meminta, hanya sekali, bukan merengek, lebih tepat istilahnya mencetuskan ide. “Pa, bikin ayunan,” atau “Bikin ayunan, Pa.” Eh itu mah perintah ya? Siap, laksanakan. Hehehe….

Pada masa itu, ayunan bukan barang yang mudah ditemui seperti sekarang. Tak ada di halaman sekolah. Yang terdekat ada di Taman Barunawati, kira-kira 3 kilometer dari rumah, dan musti bayar tiket masuk.
Maka pada suatu sore atau mungkin pada suatu pagi di hari Minggu, satu-satunya hari libur tentara kala itu, papa memilih-milih papan jati bekas dari tumpukan kayu bekas di halaman belakang. Papa hendak membuat ayunan seperti yang saya minta! Horeee….

Ayunan itu akan digantungkan di dahan pohon waru di halaman belakang, dekat kayu melintang tempat bertengger ayam dan dekat sudut pagar sesek (pagar dari bilah bambu) yang memisahkan rumah kami dan rumah Arif.

Papa melapisi satu sisi papan dengan lipatan karung plastik supaya empuk diduduki. Lalu papan berikut “busanya” dibebat karung plastik beberapa lapis hingga terlipat rapi.

Tambang plastik oranye digunakan sebagai tali ayunan, menghubungkan papan dan dahan pohon waru. Setelah posisi papan seimbang, tali diikatkan kuat-kuat ke dahan waru dan disimpul mati (sebagai tentara yang pelaut, papa bisa sambil merem urusan tali temali begini, kalah Pramuka).
Lalu set set set, voilà… jadilah ayunan kita…..

Tentu saja, tak menunggu lama, kabar baik ini menyebar, dan kawan-kawan kecil kami berdatangan untuk ikut bermain. Biasanya sepulang sekolah, sekitar pukul 10, hingga jam makan siang. Lalu datang lagi pada sore hari hingga menjelang magrib. Mereka akan bergantian bermain, dengan aturan tak tertulis, yang akan berayun bertugas mendorong terlebih dahulu. Alhasil, saya pun terpaksa masuk daftar antrean kalau ingin bermain pada jam-jam ramai begitu. Yakali maen ayunan subuh-subuh…..

Yang saya ingat betul tentang ayunan ini dan kawan yang bermain adalah Lisa. Entah ada masalah apa sebelumnya, ketika Lisa sedang bermain ayunan dan giliran saya mendorong, sengaja saya dorong demikian kuat hingga Lisa jatuh ke tanah lalu menangis pulang. Aduhhh, maaapppp ya, Lis 🙂

Saat Lebaran tiba, ayunan ini jadi rebutan dua anak laki-laki Om Bagjo (Soebagjo Hadipurwanto), kawan papa di kapal. Begitu mobil Om Bagjo berhenti di depan rumah, keduanya akan langsung menyerbu turun, lalu lari sekencang-kencangnya ke halaman samping hingga ke halaman belakang dan meraih tali ayunan. Mereka bermain sambil tertawa-tawa. Hanya ayunan yang jadi perhatian keduanya dari Lebaran ke Lebaran. Bukan rendang, bukan kalio ayam.

Ayunan ini sempat diperbarui. Diganti papan yang lebih lebar serta tali lebih kokoh dan lebih pendek, mengikuti perkembangan tubuh kami.

Saya tak ingat kapan ayunan ini kemudian dipensiunkan. Yang jelas, ketika kami dapati ada anak pohon jambu air tumbuh tepat di bawah ayunan, tanaman itu kami tutup dengan kurungan ayam, supaya tidak di-eker-eker ayam, hingga batangnya kuat. Mungkin bersamaan dengan itu ayunan tamat riwayatnya. Purnabakti. Rampung pengabdiannya menghibur kanak-kanak sederhana yang punya mimpi-mimpi besar.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.