Selamat Datang di Dunia Alice

Shira Piven, welcome to me, welcome to me movie

Sosok Alice dan acara televisi garapannya adalah cermin buruk budaya pop kita. Bukan cerminnya yang buruk. Cermin hanya memantulkan objek, bukan?

Oleh Silvia Galikano

Judul: Welcome to Me
Sutradara: Shira Piven
Skenario: Eliot Laurence
Produksi: Alchemy
Pemain: Kristen Wiig, James Marsden, Linda Cardellini
Durasi: 1 jam 27 menit

Gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) yang diidap Alice (Kristen Wiig) menjadikan dirinya pusat semesta kecil. Identitasnyalah penguasa semesta, yang menolak maju tanpa menyaring dulu lewat kesadaran alami tentang sekitar. Dia bisa saja tiba-tiba bertanya pada orang asing yang baru keluar dari kios, adakah adegan sex di film tertentu.

Ada satu dinding rumahnya yang dipenuhi video Oprah Show yang dia tonton berkali-kali. Alice hafal setiap kata yang Oprah ucapkan, bahkan bisa dibilang terobsesi pada Oprah dan filosofi self-help yang dipromosikan Oprah saat itu.

Selain itu, dia seorang narsistis yang mengatur barang-barang di rumahnya dalam pengelompokan warna, tak peduli fungsinya tak berhubungan. Panci diletakkan bersisian dengan koper karena sama-sama berwarna merah, misalnya. Mirip bocah? Bisa jadi. Saat tantrum, Alice akan lebih mirip seorang bocah.

Namun bukan berarti Alice tak ramah dan egois. Hanya saja keramahan dan kepeduliannya lebih sering diarahkan pada benda mati atau hewan kecil dibanding pada orang-orang yang peduli padanya: sahabat dan orang tuanya. Ada kepahitan yang terjadi bertahun-tahun lalu dan masih mengganggu.

Suatu malam menjelang tidur, dia ketahui dia menang lotere sebesar US$86 juta. Seketika Alice terpikir menghadirkan dunianya ke dunia luas. Dia membeli talk show sendiri di TV kabel lokal dengan syarat tak ada bintang tamu dan tak dibagi dalam topik-topik tertentu. Pokoknya acara itu hanya tentang dia.

Di acara yang diberi nama Welcome to Me itu Alice bicara –bermonolog, lebih tepatnya—tentang emosi, kemarahan, dan makanan yang dia konsumsi untuk mengontrol mood. Dia bercerita tentang ibunya yang membuatnya tak nyaman, tentang psikiaternya yang menyebalkan, dan ketidakadilan yang bertahun-tahun lalu dia alami.

Acara itu hanya berpusat pada dirinya: lihatlah aku. Welcome to Me tentu berbeda dari talk show dan reality show yang umumnya mengudara. Alice tak berniat membuat sesuatu selain merayakan dirinya, tapi jadi tipis bedanya ketika hasilnya tak dapat dibedakan dari acara yang dibintangi egomaniak terkenal.

Inilah komedi hitam tentang perempuan yang tak sehat secara mental (disebut “sakit mental” kurang tepat juga) yang berupaya menyelamatkan diri. Sebuah satire liar di dunia yang tak sehat yang bahkan tak sadar ada yang salah.

“Semua orang ingin tampil di TV,” ujar Alice Klieg. Dia yakin benar akan hal itu, sebuah prinsip di dunia kita yang sulit dilawan. Walau prinsip tersebut mudah disampaikan, tapi Welcome to Me tak menempuh jalan mudah, melainkan berliku, dengan emosi mentah tanpa sensor yang mengejutkan, karena perempuanlah sebagai pusatnya.

Hal terbaik yang dapat dikatakan tentang Welcome to Me adalah film ini berusaha menggambarkan borderline personality disorder yang sebenarnya, kebalikan dari yang dikerap digambarkan Hollywood.

Sulit dibedakan apakah yang ditampilkan film Welcome to Me semata-mata penyakit Alice atau penyakit budaya secara luas. Alice, dalam acara televisi miliknya itu, adalah seorang seniman panggung. Acaranya seperti kebalikan dari Truman Show.

Hal pertama yang luar biasa tentang film Welcome to Me adalah penampilan Wiig sebagai Alice. Dia – sebagai Wiig dan Alice — meluapkan kemarahan, ketakutan, dan kepedihan.

Wiig tak menyembunyikan kerapuhan dalam mempertahankan agar tetap sebagai Alice meski sulit. Pasalnya karakter ini punya kedalaman yang tak biasa, kenyataan tentang orang dengan sakit mental yang jarang dihargai film. Mereka tidak berbahaya, kecuali membahayakan diri sendiri, baik itu secara fisik, emosional, dan sosial.

Di sana ada humor yang tak pernah mengundang kita untuk menertawakan Alice, walau tak pernah benar-benar di pihaknya juga. Kita tertawa – atau terkikik kikuk – karena dia “boleh” mengungkapkan monolog utama tentang sesuatu biasanya kita sembunyikan. Kita menyensor monolog internal jika untuk konsumsi publik kan? Alice tidak.

Jika Alice sendiri adalah pertanyaan yang sulit tentang garis tipis antara yang semestinya “sakit” dan yang seharusnya “sehat”, demikian pula kisahnya tentang garis tipis antara penyakit budaya (cultural sickness) dan kesehatan umum.

Film berbudget rendah ini yang tak akan punya kesempatan sukses dalam lingkungan budaya pop kita hari ini karena berjalan melawan masifnya industri hiburan. Masyarakat yang suka hal-hal konvensional akan mendiagnosis hiburan macam ini sebagai kelainan (disordered).

Namun di tangan sutradara Shira Piven, penulis skenario debutan Eliot Laurence, serta produser Wiig dan Will Ferrell serta Adam McKay, Welcome to Me merupakan sebuah keajaiban. Cahaya kecil di kegelapan.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 195, 24-30 Agustus 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.