Menyesap Hangat Kopi Pipikoro

Kopi toratima yang baru dikumpulkan, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Kopi toratima yang baru dikumpulkan, 2015. (Foto Silvia Galikano)

Kopi adalah komoditas tua di Porelea. Terbatasnya akses jalan ikut menghambat dikenalnya kopi ini di daerah lain.

Oleh Silvia Galikano

Desa Porelea punya kopi kelas satunya bernama kopi toratima. Kopi ini hasil fermentasi kelelawar, tikus, atau tupai.

Hewan-hewan itu memakan biji kopi yang sudah matang, mengunyah dan menelan kulit kopi yang manis, lalu memuntahkan biji kopi dalam keadaan sudah terkupas (sudah jadi beras-kopi) dan berwarna putih. Kopi ini tinggal disangrai dan ditumbuk. Aromanya lebih wangi dan rasa lebih enak dibanding kopi yang dipetik.

Selama ini, kopi toratima tidak dijual, melainkan hanya untuk konsumsi sendiri, sebagai sajian bagi tamu adat, serta suguhan utama dalam upacara-upacara adat. Kopi toratima inilah yang sedang disiapkan untuk jadi komoditas andalan Desa Porelea, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Kopinya hanya akan diolah secara tradisional, tak tersentuh mesin. Dijemur di bawah matahari dan disangrai di atas wajan tanah liat dengan bahan bakar kayu bakar. Saat proses menyangrai, wanginya menguar ke seantero desa.

Medan Pipikoro yang berbukit-bukit dan jalan sempit, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Medan Pipikoro yang berbukit-bukit dan jalan sempit, 2015. (Foto Silvia Galikano)

Desa Porelea terletak di pegunungan bagian selatan Kabupaten Sigi. Suhu udara rata-rata tahunan 18-30 derajat Celsius. Iklimnya tropik basah. Bulan basah pada Oktober –Juni, bulan kering Juli–September, sedangkan musim panen kopi pada Juni-Juli.

majalah detik mengunjungi desa ini dua pekan lalu atas undangan Kemitraan – Karsa Institute. Dari Kota Palu, butuh waktu sekitar empat jam berkendara untuk mencapai desa ini.

Kendaraan roda empat hanya sampai di Desa Gimpu, Kecamatan Kulawi Selatan. Sedangkan dari Gimpu ke Desa Porelea sejauh 24 kilometer harus ditempuh dengan ojek sepeda motor, memakan waktu dua jam.

Baca Medan Ekstrem, Motor Pun Dimodifikasi

Desa Porelea masih terisolasi dari daerah luar. Akses cuma jalan setapak yang muat satu sepeda motor, diapit tebing dan jurang. Sebelum tahun 2000, kendaraan di sini adalah kuda, sehingga waktu tempuh Gimpu-Porelea bisa sehari semalam. Kini, sepeda motor telah melenyapkan kuda dari Porelea, dan dari Kecamatan Pipikoro.

Mengumpulkan kopi toratima, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Mengumpulkan kopi toratima, 2015. (Foto Silvia Galikano)

Mayoritas penduduk desa Porelea adalah petani. Budidaya tanaman padi dilakukan melalui sistem perladangan di lahan kering lereng gunung dan perbukitan dengan kemiringan ekstrem.

Di samping berladang, penduduk juga membudidayakan kopi dan kakao (cokelat). Dibandingkan desa lain di Pipikoro, Porelea memiliki lahan perkebunan kopi yang relatif luas, 250 hektare hingga tercatat sebagai salah satu lumbung kopi terbesar di Pipikoro, setelah Desa Peana dan Pelempea.

Kopi merupakan tanaman komoditas kedua setelah kakao, tapi yang tertua. Masyarakat Porelea mulai mengenal tanaman komoditas atau tanaman perdagangan sejak 1927 dengan masuknya kopi di wilayah ini sekaligus mengenal perdagangan hasil hutan, seperti damar dan rotan.

Kopi yang masih menempel di ranting (kiri), setelah dilepaskan dari ranting (tengah), setelah dijemur (kanan), dan setelah digiling untuk dikupas kulitnya (dalam cangkir), 2015. (Foto Silvia Galikano)
Kopi yang masih menempel di ranting (kiri), setelah dilepaskan dari ranting (tengah), setelah dijemur (kanan), dan setelah digiling untuk dikupas kulitnya (dalam cangkir), 2015. (Foto Silvia Galikano)

Baru tahun 2012 desa ini punya industri penggilingan kopi bernama Industri Kecil Menengah Pengolahan Biji Kopi di Porelea (IKM Porelea) melalui program Peduli (PNPM Peduli) Kemitraan. Kopi hasil panen dapat diolah hingga tuntas di Porelea, dan dikonsumsi. Sebelumnya, warga menjual biji kopi ke Gimpu untuk kemudian membeli kopi bubuk kemasan produksi Palu.

Pemasaran kopi dari Porelea telah memenuhi kebutuhan warga Porelea, bahkan telah memasok kebutuhan kopi desa-desa tetangga di Pipikoro hingga ke Desa Gimpu di Kulawi Selatan. Sejak 2013, kopi dari Porelea dijual dengan merk Kopi Pipikoro seharga Rp6 ribu per kemasan 100 gram.

Kemasannya masih sederhana dan masih perlu dikembangkan hingga mendapat kemasan serta logo yang pas. Kopi Pipikoro dijual dalam tiga varian, yakni kopi original, beraroma jahe, dan beraroma kayumanis. Dua aroma ini didapat dari jahe dan kayumanis yang ikut disangrai bersama kopi.

Kelebihan Kopi Pipikoro adalah organik, ditanam tanpa pestisida dan tanpa pupuk kimia. Bubuknya murni 100 persen kopi tanpa tambahan jagung atau beras sangrai. Jenisnya robusta sehingga relatif aman di lambung. Wanginya khas berasal dari kayu bakar saat menyangrai. Kopi ini pun diyakini sebagai obat sakit kepala.

Tak heran, orang yang biasanya “alergi kopi”, bisa minum kopi hasil bumi Porelea ini pagi, siang, sore, malam seperti penduduk Porelea pada umumnya, tanpa timbul keluhan pusing, kembung, atau diare.

Dari Kopi Pipikoro kita mengenal kopi berkualitas baik yang diolah sejalan dengan ramahnya alam. Tak susah membayangkan bagaimana nanti kopi toratima yang grade-A bisa masuk pasar dan jadi menu mahal di kafe-kafe kota besar.

***
Dimuat di DetikTravel 10 Oktober 2015
Majalah Detik edisi 203, 19-25 Oktober 2015

Yang berminat beli Kopi Pipikoro bisa hubungi Yultri dari Karsa Institute di 0813-4111-1130

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.