Hotel Damai Residence dan Kisah Rumah Bersalin

Hotel Damai Residence semakin indah saat malam, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Hotel Damai Residence semakin indah saat malam, 2015. (Foto Silvia Galikano)

Oleh Silvia Galikano

Menginap di bangunan tua adalah pengalaman tersendiri. Ada cerita-cerita seru yang melingkupi, suasana hangat hingga wingit yang tak tergambarkan, dan bisa sekadar bernostalgia “membuktikan” cerita orang-orang dahulu.

Jika berwisata sejarah ke Lawang Sewu Semarang maka akan paripurna pengalaman Anda jika menginapnya juga di bangunan tua. Bukan hotel tua, melainkan hotel yang memfungsikan bangunan tua.

Baca juga Hotel Candi Baru, Arti Sebuah Legitimasi

Berada di simpang Bangkong di tengah kota Semarang, hotel ini mengambil nama Hotel Damai Residence. Tepatnya di Jl. MT Haryono 854-856 Semarang, ke arah selatan dari Simpang Lima.

Konsepnya heritage hotel karena menggunakan bangunan lama yang sebisa mungkin dipertahankan keasliannya. Kisah tentang bangunannya, walau baru sedikit terkuak, menarik untuk diketahui.

Pengelola Hotel Damai Residence Selo Emka (The Poo Tjwa) menerangkan, hotel yang mulai beroperasi pada Januari 2013 ini punya 23 kamar, terdiri dari 6 kamar Platinum, 5 kamar Gold, dan 12 kamar Silver.

Bangunannya ada dua, yang melintang sejajar jalan dan yang membujur. Bangunan melintang adalah bangunan utama, tempat lobi dan resepsionis serta kamar-kamar Platinum dan Gold. Sedangkan bangunan yang membujur adalah barisan kamar Silver yang bersambung ke service area hotel.

Pilar-pilar dari teraso merah menyambut tamu begitu melangkahkan kaki masuk. Di kaki dua pilar utamanya terukir logo “LKH” dalam font hias yang rumit.

Ubin berpola indah di lobi Hotel Damai Residence, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Ubin berpola indah di lobi Hotel Damai Residence, 2015. (Foto Silvia Galikano)

Bangunan utamanya masih mempertahankan ubin lawas berpola, layaknya karpet terbentang, di area lobi. Di tengah-tengahnya berdiri meja marmer medallion kuno yang tembus sinar ketika disenter.

Baca juga Hotel Bali Beach, Karunia Bung Karno untuk Sanur

“Meja ini sudah ada di sini sejak dulu, bukan kami beli dari tempat lain,” ujar Selo ketika saya berkunjung ke hotel ini, Agustus 2015.

Bagian lain yang sebenarnya masih dipertahankan keasliannya adalah langit-langit yang tinggi bergaris-garis terbuat dari logam. Namun, kata Selo, khawatir langit-langit begini malah dianggap tamu terlalu tinggi, maka dilapisi dengan langit-langit baru yang lebih rendah berbahan gypsum. Langit-langit asli dapat dilihat di area penghubung bangunan utama dan bangunan samping.

Kamar Platinum Hotel Damai Residence, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Kamar Platinum Hotel Damai Residence, 2015. (Foto Silvia Galikano)

Teras depan bangunan utama berhias kaca patri kuning dan hijau yang cantik sekali ketika petang tiba dan terkena sorot lampu. Motif kaca di pintu belakang, jika dilihat dari halaman belakang dalam jarak 10 meter, akan membentuk motif kepala orang. Masing-masing yang melihat akan punya gambaran sendiri. Saya melihatnya seperti kepala penyanyi reggae Bob Marley.

Baca juga Hotel Besar, Cerita Tumbuhnya Purwokerto

Bangunan yang diperkirakan dibuat pada awal 1900-an ini awalnya rumah tinggal milik orang Belanda. Bangunan yang membujur aslinya memanjang tanpa sekat. “Melihat bentuknya, bisa jadi dulu istal kuda,” ujar Selo.

Sesudah kemerdekaan, rumah ini dimiliki seorang Tionghoa bernama Liem Khik Hong. Dari nama itulah asal logo “LKH” yang terukir di dua kaki pilar teras depan. Ini mematahkan asumsi awal bahwa logo itu bertuliskan “LHK”, singkatan dari Liem Hok Kyong, seperti selama ini diketahui. Belum diketahui siapakah Liem Khik Hong dan latar belakangnya.

Dari Liem Khik Hong, pada 1950-an rumah ini beralih ke Phoa Ing Tjoen (David P.R.) yang berprofesi sebagai dokter dan tercatat sebagai dokter di Persatuan Haji Indonesia (PHI). Sampai sekarang pun tagihan listrik masih atas nama David P.R.

Dalam masa kepemilikan Phoa Ing Tjoen, bangunan ini dijadikan rumah bersalin selama beberapa tahun. Sepeninggal Phoa Ing Tjoen, kerabat memfungsikannya sebagai pabrik kecap.

Fakta-fakta ini baru diketahui Selo beberapa bulan lalu ketika Hotel Damai Residence dikunjungi adik David yang tinggal di Jakarta ingin bernostalgia melihat tempatnya tinggal dahulu. Sebelumnya, cerita masa lalu bangunan ini seperti rantai terputus, banyak cerita yang tak diketahui. Buktinya, logo pun keliru dibaca.

“Waktu dibilang bangunan ini pernah jadi rumah bersalin, papa saya Tom Nogo Kanoko (89 tahun) bilang koko saya lahir di sini, tahun 1957, ditangani dokter David itu,” ujar Selo.

Pemilik yang sekarang membeli rumah ini pada1998, lalu disewakan ke sebuah franchise kursus bahasa Inggris selama 12 tahun. Selo merahasiakan nama sang pemilik sebagaimana permintaan yang bersangkutan, dengan alasan privacy.

Deretan Kamar Silver Hotel Damai Residence, 2015. (Foto Silvia Galikano)
Deretan Kamar Silver Hotel Damai Residence, 2015. (Foto Silvia Galikano)

“Dia orang kaya lama,” kata Selo, namun sedikit memberi bocoran bahwa sang pemilik adalah orang Semarang, pengusaha sarang walet dan pemilik pabrik tinta.

Dulu, di halaman depan ada pohon mangga, tapi sekarang sudah ditebang untuk dijadikan lahan parkir. Tinggal beringin besar yang masih ada sampai sekarang. Di halaman belakang juga dulu tumbuh pohon jambu biji, tapi sekarang tak ada lagi. Hanya tiga pohon ketapang berjajar, tak jauh dari sumur tua.

Baca juga Langgam Eklektik Hotel Trio Solo

inisial LKH di hotel damai residence
Inisial LKH di tiang dekat lutut saya. (Foto: Nurkholis)

Nah, sumur tua punya cerita juga. Sumur ini sumur timba. Sengaja tidak ditutupi atau disembunyikan atau disamarkan, sebaliknya, ditonjolkan dengan lampu-lampu yang membuatnya cantik pada malam hari. Kekunoannya semakin dikuatkan lewat aksesoris ember kayu yang tergantung di atasnya serta tambahan atap sirap.

Sumur tua ini dipertahankan bukan semata-mata sebagai hiasan pendukung label heritage Hotel Damai, melainkan masih berfungsi jadi sumber air hotel. Tentu saja sekarang tak perlu lagi menimba. Fungsi itu sudah digantikan pompa yang terpasang ke dalam sumur. Sejauh ini dapat memenuhi kebutuhan hotel di musim terkering sekalipun.

Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia

Bibir sumur yang asli masih ada, tapi hanya setinggi 5 sentimeter dari permukaan tanah. “Mungkin dulu tingginya sepinggang. Beberapa kali ada peninggian tanah karena Semarang sering banjir, bibir sumur jadi pendek,” kata Selo.

Kini tinggi bibir sumur dibuat 1 meter dari permukaan tanah dengan pertimbangan keselamatan. Bukan dengan menyambung bibir sumur lama, melainkan membuat dinding baru di lapisan dalam sehingga bibir sumur yang lama tetap terlihat.

Nah, jika ingin merasakan serunya menginap di bangunan tua, atau ingin “menerawang” seperti apa dulunya kehidupan di sini, silakan datang ke Semarang dan menginap di Hotel Damai Residence.

***

Dimuat di DetikTravel 16 Oktober 2015

4 Replies to “Hotel Damai Residence dan Kisah Rumah Bersalin”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.