Kawin Lari a la Suku Sasak

Oleh Silvia Galikano

Adat kawin lari (memari’) bukan sesuatu yang negatif di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebaliknya, malah ditunggu-tunggu. Dan ini bukan karena tak direstui orang tua.

Jika pasangan kekasih sudah saling cocok dan siap berumah tangga, si laki-laki akan menculik kekasihnya dan ditempatkan di rumah keluarga laki-laki. Baru kemudian keluarga laki-laki mendatangi keluarga perempuan memberitahukan bahwa anak perempuan mereka sedang di rumah keluarga laki-laki. Dari sini proses berlanjut dengan tawar menawar mahar atau biaya perkawinan.

“Kalau langsung meminta tanpa menculik lebih dulu, keluarga perempuan bisa tersinggung. Kesannya anak mereka barang,” ujar Onca, pria Sasak yang jadi pemandu saat cnnindonesia.com mengujungi Dusun Sade beberapa waktu lalu.

IMG_6157
Anak-anak bermain kelereng di Kampung Sade, Lombok. Foto: SiIvia Galikano

Suku Sasak adalah penduduk asli Pulau Lombok yang sekarang sudah mencapai 15 generasi. Mereka tersebar di sembilan dusun di Pulau Lombok dengan dusun utama di Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Di Dusun Sade berdiri 150 rumah dari 150 kepala keluarga dengan jumlah penduduk lebih dari 700 jiwa.

Agama utama suku Sasak adalah Islam. Uniknya, tak diketahui asal muasal suku Sasak dan bagaimana Islam bisa dipeluk masyarakat ini. Namun menurut nekara yang ditemukan di Tabanan Bali, orang Sasak sudah ada sebelum tahun 1600-an.

Dipercaya ada dua versi penyebaran Islam ke Lombok. Yang pertama, dari Arab dibawa Syeh Gaus Abdulrazak. Yang kedua, dari Jawa dibawa Sunan Prapen.

Kembali ke soal kawin lari, laki-laki boleh meminta orang lain untuk menculik untuk diletakkan di rumah keluarga laki-laki dan ditemani keluarga laki-laki. Perempuan yang sudah dilarikan disarankan keras agar dinikahi. Jika dikembalikan maka si laki-laki dianggap tak mampu menafkahi.

Penduduk Sasak umumnya menikah dengan keluarga dekat dan terjadi lewat proses kawin lari. Jumlah mahar atau biaya adat dihitung dari jarak rumah perempuan, misalnya melewati berapa masjid atau berapa jembatan.

Nyongkolan di Kota Mataram (4)
Barisan dara dalam arak-arakan nyongkolan. Foto: Silvia Galikano

Jika pasangan ini tinggal sekampung maka cukup membayar mahar senilai Rp500 ribu, sedangkan biaya perkawinan jika perempuannya dari desa lain bisa mencapai Rp40-50 juta. Itu pun setelah melalui tawar menawar rumit serta melibatkan banyak pejabat desa, semisal kepala desa dan babinsa.

Mahar bukanlah berbentuk uang, melainkan sapi, kerbau, atau beras yang diwakili simbol tali dan karung. Tali melambangkan sapi/kerbau, karung simbol dari beras. Jadi jika yang diberikan dua untai tali berarti dua ekor kerbau, dua lembar karung maksudnya dua karung beras.

Mahar akan lebih besar lagi kalau yang menikah adalah pasangan beda kasta. Ada empat kasta di masyarakat Sasak yakni raden (bagi laki-laki)/ lala (bagi perempuan), lalu/ baiq, bapak, dan amaq.

Gelar raden disandang orang yang pernah berjasa pada kerajaan di Lombok. Lalu adalah pembantu raja atau seorang yang jadi pahlawan bagi raja.

Amaq adalah strata paling rendah masyarakat Sasak, dikenal juga dengan sebutan bangsa jajar karang, bangsa sejajar karang, yang jadi kasta rakyat kebanyakan. Sedangkan bapak adalah bangsa amaq yang sudah berhaji dan kembali ke Lombok.

Gelar raden dan lalu adalah gelar bangsawan yang diturunkan bapak ke anak, sedangkan gelar bapak tidak diturunkan.

Nyongkolan di Kota Mataram (6)
Pengantin pria suku Sasak. Foto: Silvia Galikano

Laki-laki Sasak boleh mengambil perempuan dari luar untuk dijadikan istri. Namun hal ini tak berlaku sebaliknya karena begitu perempuan Sasak menikah dengan orang luar Sasak dianggap keluar, atau bahkan dibuang, dari masyarakat Sasak.

Hal unik lain perihal perkawinan di masyarakat Sasak adalah adanya aturan bagi laki-laki untuk memanjangkan rambut jika istrinya hamil. Ini untuk mengabarkan pada orang lain bahwa pria tersebut sudah beristri dan istrinya tengah mengandung anak mereka.

Laki-laki yang sudah menikah juga dilarang mengatakan “Tidak punya istri”, meskipun dalam nada bercanda, karena artinya sudah jatuh talak pada istrinya.

“Menurut adat, memang gampang-gampang susah laki-laki di sini dapat istri,” kata Onca.

Nyongkolan

Nyongkolan di Kota Mataram (2)
Pengantin diarak dalam acara nyongkolan. Foto: Silvia Galikano

Setiap Jumat hingga Minggu petang, ada pemandangan unik di jalan-jalan besar Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di sana ada arak-arakan pengantin lengkap dengan payung kebesaran berwarna emas dan musik meriah yang keluar dari pengeras suara.

Keriaan ini menarik masyarakat keluar rumah dan berkumpul di dua sisi jalan. Turis bule pun turun dari sepeda motor sewaan mereka untuk mengabadikan kesempatan ini. Lalu lintas macet selama beberapa menit.

Acara tersebut bernama nyongkolan, adat Sasak dalam memperkenalkan pengantin baru. Sasak adalah suku asli Pulau Lombok. Pasangan yang baru sepekan menikah itu, dalam busana dan riasan pengantin serta iringan dangdut jalanan (dajalan), berjalan sejauh 1 kilometer dan berakhir di rumah pengantin perempuan.

Nyongkolan di Kota Mataram (11)
Dajalan (dangdut jalanan) pengiring arak-arakan nyongkolan. Foto Silvia Galikano

Aslinya, musik pengiringnya adalah gendang beleq, gendang berukuran besar khas Sasak yang disajikan tanpa nyanyian. Seiring makin berkurangnya peminat gendang beleq, nyongkolan kini diiringi riuhnya dajalan oleh pemain gitar, keyboard, dan satu-dua drum yang diikatkan di badan mengiringi lagu dangdut oleh vokalis perempuan.

Pasangan pengantin berjalan tidak beriringan. Melainkan pengantin perempuan berikut puluhan pengiringnya, yang juga perempuan, berjalan di depan. Pengantin pria dan pengiringnya berjalan di belakang. Ini merupakan pesan bahwa istri harus diutamakan dalam rumah tangga.

***
Dimuat di cnnindonesia.com, 23 November 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.