Pikat Indah Kain Timor
Oleh Silvia Galikano
Warna-warna kain tradisional Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur sangat kuat dan berani. Setiap daerah memiliki kecenderungan warna tertentu.

Cokelat menjadi warna dominan di ujung barat Timor; hitam dominan di bagian tengah pulau, yakni di kedua sisi perbatasan dengan Timor Leste; serta cokelat dan hitam banyak dijumpai di ujung bagian timur Pulau Timor
Beragamnya warna tenun Timor dapat dinikmati masyarakat dalam Festival Museum Tekstil bertema Puspa Warna Wastra Timor pada 10 Desember 2015 hingga 3 Januari 2016 di Museum Tekstil, Jakarta.
Festival Museum Tekstil kali ini adalah gelaran perdana dan diagendakan jadi acara tahunan Museum Tekstil Jakarta tiap akhir tahun. Selain pameran kain tenun Timor, festival juga mengadakan bazaar kain dan produk kriya, bincang kain, workshop membatik, serta pentas kesenian dan musik.
“Ada 100 helai kain tenun Timor unggulan milik kolektor kain tenun di Jakarta. Sebagian berasal dari paruh kedua abad ke-20, serta beberapa dibuat sebelum itu,” ujar Kepala Unit Pengelola Museum Seni Jakarta Esti Utami saat pembukaan pameran.
Penyebutan waktu jadi penting di sini karena secara perlahan, kain Timor mengalami perubahan, seiring berjalannya zaman. Yang sangat terasa adalah variasi warna yang berkembang dengan tersedianya benang impor yang sudah berwarna pada awal abad ke-20.
Saat itu, pedagang dari Tiongkok dan Bugis ramai mendatangi kawasan antara pelabuhan lama Atapupu di pesisir timur laut Timor Barat hingga Wewiku-Wehale, pelabuhan tua di pesisir tenggara Timor untuk berdagang rempah-rempah. Tak sedikit pedagang dari Tiongkok yang kemudian menikah dengan putri-putri kerajaan lokal.
Warna ungu muda dan merah muda pun muncul, sehingga sekitar tahun 1960-an pernah jadi ciri khas warna kain tenun Timor Timur (sekarang Timor Leste). Warna merah muda juga ditemukan pada kain yang berasal dari Timor Barat.
Kain yang berwarna-warni berasal dari sekitar Oecussi, sebuah daerah kantong di Timor Leste yang terletak di bagian tengah pesisir utara Timor Barat yang sangat dipengaruhi cita rasa Portugis. Warna-warna baru yang dapat ditemui saat ini adalah kuning muda, abu-abu, dan krem.

Bahan utama menenun adalah kapas pintal tangan dan benang siap pakai yang tersedia di toko (masyarakat menyebutnya benang toko). Benang sutra dijumpai dalam jumlah terbatas, diimpor dari Tiongkok, digunakan di beberapa daerah pesisir untuk kaum bangsawan sekitar pelabuhan yang dikunjungi pedagang dari Tiongkok.
Saat ini, segala macam benang digunakan, terutama benang yang dapat menghasilkan efek halus menyerupai sutera.
Berbagai-bagai teknik hias memberikan karakter pada tenun Timor. Teknik ikat lungsi, yakni benang lungsi diikat-ikat dengan serat atau tali, dicelup pewarna alami, diatur pada alat tenun, lalu ditenun menggunakan teknik tenun sederhana.
Teknik ikat lungsi lebih banyak dipraktikkan pada masa lalu. Andaipun sekarang ada yang menggunakan teknik ini, prosesnya dipersingkat dengan menghilangkan tahap mengikat dan mencelup karena sudah tersedia benang toko.

Teknik lain adalah buna, yakni memasukkan utas-utas benang hias pendek di antara pakan dasar saat proses menenun, untuk membentuk motif. Teknik tenun lungsi tambahan, dikenal juga dengan sebutan sotis dan lotis, adalah membuat lajur-lajur panjang searah lungsi dengan tenun bertekstur.
Tenun tapestri pernah merupakan ciri dari kain istimewa di masa lalu, yakni motif tambal dengan warna-warna berani. Setiap pakan saling terpisah dan ditenun bolak-balik melewati lungsi hanya pada daerah warna tertentu sehingga muncul celah kecil vertikal di antara bidang warna.
Setiap daerah punya warna dan motif tertentu. Tenun tapestri saat ini digunakan di Molo, Timor bagian barat, untuk membuat sarung perempuan. Lautem sampai batas tertentu di Ainaro, keduanya di Timor Leste, juga masih menggunakan teknik ini untuk menghasilkan lajur-lajur lebar di sepanjang tepi selimut dan selendang laki-laki.
Tenun Timor, seperti kebanyakan tradisi tenun di Indonesia, selama satu abad terakhir berjuang keras bersaing dengan kain-kain printing yang lebih murah. Namun, di hati pencinta kain tradisional, sehelai kain yang berbulan-bulan ditenun kaum perempuan di halaman rumah tak akan tergantikan dengan sekodi kain produksi massal sekali pun.
***
Dimuat di cnnindonesia.com, 10 Desember 2015