Rumah Kaca Sebuah Agenda Besar
Inilah upaya para seniman makin merumahkacakan sejarah kita dengan memanggil masa lalu, mengenal jatidiri, untuk menghapus hegemoni Orde Baru yang sudah mengakar, menanamkan kekerasan.
Oleh Silvia Galikano
Tiang-tiang besi berbungkus “kelambu” hitam membentuk sebuah bangunan di halaman Teater Jakarta. Dinding kelambu tembus pandang membuat yang ada di dalam bangunan dapat melihat ke luar, juga sebaliknya, yang ada di luar dapat melihat ke dalam.
Baca juga Wayang Tavip Merawi Sie Jin Kwie
Di bangunan yang disebut Museum Temporer Rekoleksi itulah dikumpulkannya karya-karya para seniman yang menggugat tak kunjung terbukanya tragedi 1965 melalui foto-foto dan seni instalasi dalam acara Museum Temporer: Rekoleksi Memori di Taman Ismail Marzuki (TIM), 7-12 Desember 2015. Film dokumenter dan fiksi, yang merupakan bagian dari perhelatan ini, diputar di Kineforum TIM.
Rekoleksi Memori adalah proses mengetahui, menggali masa lalu dengan cara memanggil kembali memori masa lampau dari ingatan-ingatan pelaku sejarah yang tak dicatat dalam buku sejarah. Tragedi kemanusian 1965 mulanya, disusul kemudian kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia.
Baca juga Rumah Kiagus Husin, Karya Bung Karno di Bengkulu
Itu sebabnya arsitek muda Stephanie Larassati, Gosha Muhammad, dan WEN Urban Office membuat bangunan Museum Temporer Rekoleksi seperti ini, hitam dan tembus pandang.
“Kami ingin membuat bangunan sederhana, yaitu kotak, yang menonjolkan kekokohan tapi secara bersamaan tembus pandang,” ujar Stephanie Larassati sebelum pembukaan pameran.
“Kontrasnya dua sifat, yakni kokoh dan tembus pandang, adalah arti penting dari pelanggaran HAM saat ini karena kita bisa melihat adanya pelanggaran HAM tapi tak tersentuh.”
Baca juga Buku untuk Ultah Pramoedya

Mereka menerjemahkan aksi merangkai memori buram ke dalam sebuah struktur rangka tembus pandang, metafora dari rangka memori. Juga merupakan simbol pernyataan bahwa generasi muda menolak melupakan tindakan-tindakan pelanggaran HAM, melalui pendekatan kreatif.
Dengan bentuk sederhana, paviliun ini mengubah pelataran TIM yang terbuka jadi ruang untuk kontemplasi dan dialog. Di sana ada deretan foto hitam-putih Sri Suprapti, Mariyam Labonu, dan mbah-mbah lain penghuni panti Waluya Sejati Abadi, tempat berteduh beberapa penyintas, yang dipotret fotografer Adrian Mulya sepanjang 2007-2015.
Baca juga Juragan Abiyoso dan Tradisi Gandrik
Yovita Ahtajida membuat seni instalasi poster bergambar seram layaknya poster film horor. Di tengah-tengah poster terpasang pesawat televisi yang menayangkan penggalan video Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.
Di poster itu juga Yovita menuliskan karya instalasinya dalam font “berdarah”, Wahana Loebang Maoet, disusul tulisan “Buka setiap hari di Museum Pancasila Sakti Lubang Buaya”.
Lewat karya ini Yovita berupaya membentuk ulang wacana sejarah yang diciptakan Rezim Orde Baru. Dia mengkritisi klaim kebenaran yang ada di dalam Museum Lubang Buaya dengan memposisikan ulang (rebranding) bahwa Museum Lubang Buaya bukan lagi ruang untuk pembelajaran sejarah, melainkan ruang mencari sensasi ketakutan dan ketegangan, tak beda dengan rumah hantu pasar malam.
Baca juga Geger Kota Sang Inspektur

Tida Lupa, film dokumenter berdurasi 20 menit, dibuat Asrida Elisabeth yang tertarik dengan isu ‘65 setelah mengikuti diskusi di banyak kota dan mendengar kesaksian korban serta keluarga korban.
Film yang diputar di Kineforum Taman Ismail Marzuki pada 5, 6, 7, 9, dan 10 Desember itu bercerita tentang orang-orang yang diduga terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dikumpulkan di Ruteng, ibukota Manggarai, untuk menjalani pemeriksaan terkait keterlibatan mereka. Sebagian kemudian dieksekusi mati di pekuburan umum Puni.
Baca juga Mengantar Ging Ginanjar (1)
“Pembantaian ‘65 seolah-olah balas dendam, bukan sistematis dan terstruktur. Flores 50 tahun lalu susah akses tapi tentara bisa datang sampai masuk ke pelosok kampung,” kata Asrida.
Demikianlah atas sejarah yang masih terus diburamkan serta atas dasar keadilan dan kemanusiaan, ada peristiwa yang mendesak-desak untuk dibuat seterang-terangnya. Inilah upaya para seniman makin merumahkacakan sejarah kita dengan memanggil masa lalu, mengenal jatidiri, untuk menghapus hegemoni Orde Baru yang sudah mengakar, menanamkan kekerasan.
***
One Reply to “Rumah Kaca Sebuah Agenda Besar”