Kisah Kanya Puspokusumo Berdamai dengan Multipel Sklerosis

Oleh Silvia Galikano

Gejala multipel sklerosis (MS) tak dapat diperkirakan. Sekarang terlihat sehat, tapi detik berikutnya ambruk, lalu tanpa aba-aba kembali ke sedia kala.

Emosi demikian pula, naik-turun tak diduga-duga dan susah dikelola, sehingga tak sedikit MS-er (sebutan bagi penderita MS) yang depresi. Khusus kasus di Amerika Serikat, malah sampai bunuh diri. Sampai sekarang belum diketahui sebab munculnya MS dan belum ditemukan juga obatnya, kecuali pereda gejala dan untuk memperlambat perkembangan penyakit.

multiple sclerosis, multipel sklerosis
Myelin. (www.howstuffworks.com)

Adalah selubung lemak yang membungkus serat saraf, disebut myelin, layaknya isolasi membungkus kabel listrik, yang memudahkan pengiriman perintah dari dan ke otak. Pada MS, sistem kekebalan tubuh terlalu “galak” hingga menyerang tubuh sendiri (autoimun), memakan myelin di sistem saraf otak dan tulang belakang.

Karena ada bagian serat saraf yang tanpa myelin, maka terganggu juga penyampaian pesan antara otak dan bagian tubuh lainnya. Bagian tanpa pelindung myelin ini membentuk parut (scars) yang makin lama makin lebar. Itu sebabnya disebut multiple sclerosis, parut yang berlipat ganda.

Keseharian MS-er berurusan dengan sakit kepala, kelumpuhan, baal atau kebas, koordinasi yang tak seimbang antara otak dan gerakan, gangguan penglihatan, gangguan daya ingat, depresi, dan emosi naik-turun dengan cepat (mood swings).

“Kadang kita jadi orang yang menyebalkan karena mood yang berubah-ubah itu. Ada yang sampai menarik diri, benci pada semua orang,” ujar Kanya Puspokusumo, 44 tahun, Ketua Yayasan Multipel Sklerosis Indonesia (YMSI) saat dijumpai di kediamannya di Bandung, 18 Desember 2015.

Kanya mengidap MS jenis hilang-timbul (relapsing-remitting) atau kambuhan. Yang terkena adalah sistem saraf tubuhnya bagian kanan. Alhasil, kini sensor tangan kanan dan kiri beda, juga sensor kaki kanan dan kiri.

Bermula pada 2001, sewaktu Kanya, sebagai staf pengajar bahasa Jepang di STBA Yapari ABA-Bandung, mengikuti program pertukaran dosen di Shizuoka, Jepang. Kanya mengajar bahasa Indonesia, dan dosen Jepang yang ke Indonesia mengajarkan bahasa Jepang.

Saat di Jepang inilah Kanya tiba-tiba lumpuh. Dokter mendiagnosis penyebab lumpuhnya adalah multipel sklerosis. Selama lebih dari sebulan dia bergantung pada kursi roda.

Ini bukan kali pertama Kanya lumpuh. Sebelumnya, tahun 1997 saat di Indonesia, dia pernah lumpuh selama sepekan, tapi saat itu MS-nya belum terdiagnosis. Dokter yang menangani hanya menyebut stroke ringan.

Membentuk MSI

Kanya Puspokusumo
Kanya Puspokusumo (ke-4 dari kanan) bersama pengurus MSI. (Foto: Dokpri Kanya Puspokusumo)

“Pulang dari Jepang, saya merasa ‘sendirian’. Tak ada informasi tentang MS di Indonesia. Informasi hanya yang saya dapat dari dokter di Jepang yang memberi saya banyak lembar fotokopian tentang MS,” cerita Kanya.

Tahun 2004, dari internet, perempuan bernama lengkap RA Kanya Varistha Devi Puspokusumo ini menemukan lembaga MS di London bernama Federasi Multipel Sklerosis Internasional (MSIF). Dia kontak lembaga itu tapi tak mendapat balasan.

Baru tiga tahun kemudian, 2007, jawaban didapat, itu pun karena dia menawarkan memberi versi terjemahan bahasa Indonesia untuk website MSIF secara gratis. Sejak itu komunikasi Kanya dan MSIF dimulai, berlanjut dengan diajak terlibat secara online dengan MSIF, dijadikan profile of the month, serta diwawancara BBC dan kantor berita asing lain.

“Karena sudah dekat, saya sampaikan ingin membuat Multipel Sklerosis Indonesia, ternyata MSIF mendukung,” ujar dia. Mulailah Kanya mencari orang-orang yang hendak bergabung, termasuk mengontak Pepeng (Ferrasta Soebardi, 1954-2015, yang juga terdiagnosis MS).

Indonesia Multiple Sclerosis Group (IMSG) akhirnya terbentuk pada 6 April 2008 dengan Kanya Puspokusumo sebagai presiden. Pada awal terbentuk hanya ada 11 anggota, itu pun MS-er hanya tiga orang.

Kanya mulai menulis tentang MS di media, membuat brosur, dan membuat buku yang diongkosi kocek sendiri. Pada 6 April 2015, IMSG berubah nama jadi Multipel Sklerosis Indonesia (MSI).

Dukungan orang terdekat

Dorongan terbesar saat itu hingga Kanya membentuk MSI adalah karena tak adanya dukungan orang terdekat, yakni suami. Saat MS kambuh, yang munculnya mendadak hingga dia tak bisa apa-apa kecuali berbaring, yang Kanya peroleh adalah tudingan pemalas dan manja. Bahkan tugas rumah tangga tetap dibebankan padanya.

“Sudah sakit, harus hidup sendiri. Awalnya berat. Karena itu, alasan utama saya membuat organisasi MSI, untuk membantu MS-er yang tidak didukung orang dekat, dan menjadikan MSI tempat berbagi. Kami juga memberi tahu keluarga, apa itu MS dan bagaimana menghadapi keluarga yang mengidap MS,” ucapnya.

Sejak November 2015, MSI telah berbentuk jadi yayasan, Yayasan Multipel Sklerosis Indonesia (YMSI) sehingga dapat bergerak dalam cakupan lebih luas. YMSI akan membuat acara besar Februari nanti, guna menggedor pemerintah agar obat-obatan MS masuk dalam daftar obat yang ditanggung BPJS.

MS-er umumnya mendapat suntikan steroid saat MS kambuh, dan interferon untuk menjaga agar saat MS kambuh, tidak berat. Penderita MS lebih membutuhkan interferon ketimbang steroid.

Untuk kasus Kanya, saat awal didiagnosis MS, dia mendapat suntikan interferon tiga kali seminggu selama minimal setahun. Lanjut ke steroid sebanyak tiga seri, lalu masuk lagi interferon.

Saat awal Kanya kembali ke Indonesia, interferon tak ada di Indonesia. Paling dekat di Singapura, dan sekali suntik menghabiskan Rp2 juta (harga saat itu). Sekarang interferon sudah ada di Indonesia dan harganya lebih murah. Harga per paket isi 12 ampul adalah Rp18 juta.

Walau demikian, interferon belum masuk dalam obat yang ditanggung BPJS. Steroid ditanggung BPJS, itu pun karena masuk dalam rangkaian pengobatan lupus, penyakit yang ditanggung BPJS.

“Ada MS-er hingga meninggal harus cuci darah karena MS-nya berimbas ke ginjal. Ada yang saluran napasnya harus dibolongi karena kalau kambuh, dia sesak napas. Kalau pasien tidak punya uang, terpaksa pasrah menggunakan obat-obatan apa saja asal ditanggung BPJS.”

Bebas obat berkat mindful therapy

Kanya Puspokusumo
Kanya Puspokusumo bersama putranya, Mohammad Rayhan Candraditya Pramesti. (Foto: Dokpri Kanya Puspokusumo)

Gejala MS yang Kanya rasakan banyak berkurang sejak 2012 ketika melepaskan status “orang kantoran” dan jadi penerjemah yang bekerja di rumah. Inilah caranya melepaskan diri dari stres sambil tetap mengkondisikan otak agar terus aktif, salah satu terapi mengatasi MS.

Yang juga dia rasakan sebagai terapi adalah menekuni hobi, yakni membaca, menulis, dan bermain piano. Kanya menyukai bacaan filsafat, budaya, dan bahasa serta menulis puisi.

Kanya mulai menempuh mindful therapy di Bandung pada 2008 yang menggabungkan pengobatan Barat dan Timur melalui meditasi guna menyeimbangkan tubuh, pikiran, dan jiwa. Terapi ini dia rasakan memberi dampak besar.

Dalam meditasi, dia menyerahkan semua pada Tuhan. “Penyakit, napas, semua yang ada bukan punya kita, kembalikan saja. Sampai ke titik itu, ketenangan didapat.” Dia pun mulai memaafkan dan memberi kasih sayang tanpa syarat sebagai cara mendetoksifikasi pikiran negatif.

Ini bersebalikan dengan sebelumnya. Setiap kali menghadapi orang menyebalkan, penyakitnya kambuh, hingga lumpuh. Kanya pernah tiga kali lumpuh. Lumpuh total dan koma pada tahun 2004 bersamaan dengan perceraiannya dari suami.

Setelah menempuh meditasi dalam mindful therapy, perlahan-lahan dia dapat mengurangi konsumsi obat-obatan hingga sekarang bebas dari obat. Parut yang berganda itu akan tetap bertambah, tapi dengan berpikir positif, lajunya melambat, dari yang biasanya dua tahun, misalnya, bisa “diundur” jadi 20 tahun.

Sekarang gejala MS-nya sudah jarang kambuh, kecuali gejala ringan, seperti kesemutan, penglihatan berbayang, dan sakit kepala. Tapi saking biasanya, dia anggap tak ada saja. Mau tahu seberapa sakit yang disebut sakit kepala akibat MS? Kanya memberikan analogi mudahnya.

“Bayangkan sakit kepala akibat flu. Nah ini 10 sampai 20 kali lipatnya. Sampai-sampai air mata keluar sendiri padahal tak sedang menangis.”

***
Dimuat di CNNIndonesia.com, 29 Desember 2015

Kanya Puspokusumo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.