Emi Rose Sang Pembaca Ampas Kopi

emi rose peramal ampas kopi
Emi Rose, peramal menggunakan medium ampas kopi. Foto: Silvia Galikano

 

Oleh Silvia Galikano

Kopi bercampur gula diseduh air panas hingga dua per tiga gelas. Ditunggu sebentar agar uap panasnya berkurang. Kopi lantas diminum orang akan diramal.

Setelah kopi diminum separuh, dan endapan sudah tercipta, sang peramal menanyakan nama lengkap dan tanggal lahir orang yang akan diramal. Lalu dia tepekur menggenggam gelas sementara bibirnya bergerak cepat layaknya merapalkan doa.

Cairan kopi dia tuangkan ke gelas ke-dua lalu membiarkannya mengendap lagi. Gelas pertama diputar-putar agar endapan kopi meninggalkan jejak di dinding gelas, kemudian ditelungkupkan.

Gelas ke-dua tadi diambil, cairan kopinya dituangkan ke gelas ke-tiga lalu dibiarkan mengendap lagi. Proses selanjutnya sama dengan gelas pertama hingga akhirnya berjajar tiga gelas yang ditelungkupkan.

Di dinding tiga gelas itu tercipta pola berlekuk-lekuk dari ampas kopi. Pola inilah yang dibaca sang peramal. Dari masalah di masa lampau hingga tantangan di hari depan, dari urusan asmara yang tak selesai hingga intrik di kantor, terbaca semua.

Inilah yang disebut meramal menggunakan medium ampas kopi. Kemampuan yang lebih mewajibkan bakat sebagai landasan utama, dan lebih banyak ditekuni perempuan ketimbang laki-laki.

Salah seorang yang menekuni ramalan dengan medium ampas kopi adalah Emi Rose, 46 tahun, yang berpraktik di Mal Mangga Dua Square, Jakarta.

Ruang praktiknya yang berukuran 3×2 meter hanya berisi satu dispenser air, satu kursi untuk Emi dan dua kursi pasien—demikian Emi menyebut kliennya, dan satu meja.

Di atas meja sudah tersedia tiga gelas berisi kopi dan gula yang belum diaduk dan belum diseduh agar jika pasien datang, Emi tinggal mengaduk dan menambah air panas.

“Cukup air panas dispenser, tak perlu air mendidih,” ujar Emi saat ditemui CNNIndonesia.com di tempat praktiknya, Rabu (6/1).

Gelas yang Emi gunakan tak beda dengan gelas yang ada di warung-warung kopi tengah pasar, yakni gelas oblong bening, bukan cangkir kopi dari keramik dan bertelinga. Pasalnya dia membaca ampas kopi dari bagian luar gelas, bukan menengok ke dalam gelas.

emi rose peramal ampas kopi 1
Pola berlekuk-lekuk ampas kopi yang dibaca peramal. Foto: Silvia Galikano

Diturunkan dari leluhur

Kemampuan Emi meramal menggunakan ampas kopi diwarisinya dari leluhur dari garis bapak di Sumatera Barat. Ceritanya, saat sang leluhur ini pergi ke Arab, dia bermimpi minum kopi. Dari sana termotivasi untuk bisa membaca menggunakan ampas kopi sampai terilhami.

Kemampuan itu terus menurun ke anak cucu hingga ke ayah Emi yang kemudian berpraktik sebagai dukun di Padang.

“Orang menyebut kakek dan bapak saya itu dukun karena menggunakan kekuatan gaib. Kalau saya, peramal, karena hanya mengandalkan indera ke-enam,” ujar perempuan bernama asli Zulfemi ini.

Emi lahir dengan indera ke-enam yang lebih peka. Sejak kecil dia menyadari kemampuannya berbeda dibanding kawan sepermainan.

Dia bisa “membaca” sifat seseorang dengan melihat wajah dan sedikit menerawang yang akan terjadi. Membaca ampas kopi juga sudah bisa walau sedikit-sedikit.

Begitu duduk di bangku SMA, Emi mengembangkan bakat ini dengan belajar ke ayahnya, termasuk belajar meramal menggunakan ampas kopi.

“Saya disyariati bapak. Dibangunkan tengah malam, dimandikan, dipakaikan kain putih, dibekali perlengkapan sesajian, ada nasi kuningnya, ada pisau, macam-macam seperti umumnya ‘menuntut ilmu’.”

Ayahnya wafat saat Emi tamat SMA. Emi kemudian membuka praktik di Padang. Dia dikenal sebagai peramal menggunakan medium ampas kopi. Jika pasien bukan peminum kopi, Emi akan meramal menggunakan medium kartu, yang menurutnya, punya keakuratan sama.

Tak sembarang kopi dapat digunakan untuk meramal. Harus kopi dari Sumatera Barat dan ditumbuk secara tradisional. Emi menggunakan kopi dari kebun sepupunya di Solok.

Pernah suatu hari Emi kehabisan stok kopi, sehingga membeli kopi apa saja yang tersedia, ternyata ampas kopinya tak dapat dibaca. Sejak itu dia hanya menggunakan kopi dari Sumatera Barat.

emi rose peramal ampas kopi 4
Kopi yang sudah diminum separuh dibacakan doa sebelum dibagi ke dua gelas lainnya. Foto: Silvia Galikano

Pindah ke Jakarta

Setelah 20 tahun berpraktik di Padang, Emi pindah ke Jakarta pada tahun 2012 setelah diajak Suhu Yo. Ahli fengshui dan pengobatan cara Tiongkok ini bahkan menyediakan ruang di lantai 1 Mal Mangga Dua Square.

Emi pun sempat berguru selama sebulan dengan Suhu Yo. Selain bertambah ilmu, Emi bertambah nama belakang “Rose” yang diberikan Suhu Yo.

Untuk satu kali meramal, dia mencampurkan satu setengah sendok makan kopi dan setengah sendok makan gula tanpa ada tambahan lain. Dalam sebulan, Emi menghabiskan 3-5 kilogram bubuk kopi.

Tempat praktik Emi tak kenal musim ramai atau sepi. Akhir pekan juga belum tentu lebih ramai dari hari kerja. Serupa itu sepanjang tahun.

Pasiennya bukan saja penduduk Jakarta, tapi juga jauh-jauh datang dari Kalimantan, Sulawesi, dan Bali dengan beragam latar belakang. Dari karyawan swasta, pegawai pemda, pejabat rendah, dosen, hingga bupati.

Yang ditanyakan pun macam-macam. Dari yang berkonsultasi karier, jodoh, dan rezeki dalam waktu dekat; usaha yang cocok; perkembangan bisnis dengan para mitra; prospek kerja sama bisnis; sampai curhat putus-sambung asmara remaja belasan. Emi mematok tarif Rp100 ribu per pasien, apa pun pertanyaan yang dibawa.

Dari pengalaman lebih dari 20 tahun berpraktik, permintaan paling aneh dia terima dari pasien yang ngotot minta disatukan dengan seseorang yang disukainya, padahal mereka tidak berjodoh.

Lantas Emi pun hati-hati memilih kalimat agar si perempuan kasmaran ini tidak kecewa berat. “Saya nasehati, ‘Adik harus belajar melupakan dia kalau kalian tidak berjodoh. Jangan terlalu termakan cinta.’”

Walau pasiennya tersebar di mana-mana, dan tak sedikit yang jadi pelanggan tetap, Emi menilai kekuratan ramalannya “cuma” 80 persen, nilai maksimal yang berani dia berikan. Dia punya alasan, “Kalau bilang lebih dari 80 persen nanti kita takabur. Ini kan ramalan, kita tidak bicara pasti. Kalau pasti, syirik jadinya.”

Syariat, atau orang Jawa biasa menggunakan istilah laku, sampai sekarang tetap Emi jalani dengan bangun malam, shalat, zikir, meditasi, dan berdoa minta diberkahi. Syariat membuatnya dapat “melihat” semakin jelas dan semakin detail dari hari ke hari.

***
Dimuat di CNNIndonesia.com, 10 Januari 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.