Dari Data, Bicara Sejarah

Tulisan ke-empat setelah Situs Warisan Dunia dan Antrean yang Panjang dalam rangkaian tulisan Kota Tua Jelang Diakui Dunia.

Museum Sejarah Jakarta. Museum Fatahillah
Halaman Museum Sejarah Jakarta. (Foto: Silvia Galikano)

Oleh Silvia Galikano

Kawasan Kota Tua memiliki karakter kuat. Kawasan ini adalah contoh unik eksekusi rencana kota kolonial Belanda oleh VOC pada abad ke-17 dan ke-18 saat VOC menguasai perdagangan dunia. Rencana kota kolonial itu terinspirasi konsep kota ideal Simon Stevin, seorang ahli matematika, fisika, sekaligus insinyur militer Belanda pada abad ke-16.

Di Kota Tua inilah sejak dulu berkembang tradisi silang budaya dan pembauran beragam etnis seiring terbentuknya pusat jaringan perdagangan internasional. Inilah nilai universal luar biasa yang jadi kekayaan Kota Tua, melebihi nilai gedungnya ataupun struktur bangunannya.

Kota Tua Jakarta sudah masuk dalam Daftar Sementara (Tentative List) Situs Warisan Dunia UNESCO. Artinya, tinggal selangkah lagi menuju ditetapkannya Kota Tua Jakarta sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2017.

Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) dan Jakarta Endowment for Arts and Heritage (JEFORAH) sejak 2014 mengkonservasi dan merevitalisasi bangunan tua di kawasan Kota Tua Jakarta.

Ada 12 situs yang masuk dalam agenda konservasi JOTRC. Tiga yang  sudah rampung adalah Kantor Pos, Pantjoran Tea House (dahulu Apotheek Chunghwa), dan OLVEH. Gedung lain yang sedang dalam pengerjaan antara lain Van Vleuten & Cox (ex Pasar Jeans), Kerta Niaga, Cipta Niaga, dan Roa Malaka.

Direktur Utama Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC), Lin Che Wei dalam diskusi Tourism Development Plan di Gedung OLVEH, akhir Maret lalu menyampaikan, Indonesia bisa menjadi besar karena Bhinneka Tunggal Ika. Motto ini sudah terbentuk alami di Kota Tua.

museum wayang
Museum Wayang, 2008. Asalnya, Gereja Belanda pada 1640, lalu hancur akibat gempa bumi 1808. Di atas puing-puingnya kemudian didirikan museum. Beberapa bagian gereja masih ada di dalam. (Foto: Silvia Galikano)

“Saya orang Indonesia, keturunan Tionghoa, beragama Katholik. Sebagai orang Indonesia, jika saya mengangkat Tugu Proklamasi wajar saja, itu bagian dari jiwa patriotik.

“Sebagai keturunan Tionghoa berupaya merestorasi, katakanlah Candra Naya, wajar karena itu bagian dari budaya ras saya. Sebagai orang Katholik merestorasi gereja Katholik, wajar,” kata Lin Che Wei.

“Tapi untuk merestorasi situs kolonialisme, yang pernah membantai etnis Tionghoa pada 1740, dan tempat hidupnya penguasa Belanda yang notabene Protestan, pasti kita butuh alasan lebih besar. Heritage ini sudah dilecehkan dari sisi agama, ras, pandangan politik. Alasan besar itu adalah nilai universal luar biasa kita, Bhinneka Tunggal Ika.”

Hal lain yang jadi perhatian Lin Che Wei adalah keabsahan data sejarah. Dimulai dari ulang tahun Jakarta tiap 22 Juni yang menurutnya sudah kadung sebab sampai sekarang belum ada data yang jelas yang menyebut Batavia lahir tanggal 22 Juni 1527.

Kerancuan lain adalah tentang Pelabuhan Sunda Kelapa. Sunda Kelapa yang di lokasi sekarang adalah daerah reklamasi. Dulu di sana laut.

Sewaktu Tomé Pires datang ke Pulau Jawa pada 1512-1515, dia memberi laporan bahwa “Calapa”adalah salah satu pelabuhan penting yang didatangi banyak kapal dagang. Calapa yang dimaksud Tom Pires bukanlah Sunda Kelapa sekarang.

map-batavia-1669 @princeton,edu
Peta Batavia 1669. (Dok. Princeton.edu)

“Kalau lihat peta sebelum 1900, itu laut. Jadi Sunda Kelapa itu daerah reklamasi. Bahkan peta yang ditetapkan DKI bahwa Sunda Kelapa sebagai daerah dalam tembok Batavia, itu salah,” ujar Lin Che Wei.

Lantas di mana pelabuhan Calapa yang ditulis Tomé Pires? Lokasinya masuk lagi, ke Kali Besar, yang sekarang lokasi itu sudah tak ada. Calapa yang di Kali Besar, benar masuk dalam Tembok Kota Batavia, bukan Sunda Kelapa.

Menurutnya, penamaan Sunda Kelapa adalah “kecelakaan nama” yang diberikan Bung Karno sehingga sebagian besar orang berpikir bahwa tempat itu bersejarah.

Kota dalam Benteng Batavia itulah yang jadi daerah inti (core area) yang perlu dilestarikan. Sedangkan Pelabuhan Sunda Kelapa dilestarikan karena sebagai daerah pendukung (buffer zone), mewakili nilai universal luar biasa maritim. Jadi bukan karena tempatnya, melainkan masyarakatnya.

Museum Fatahillah Perayaan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard, 6-10 Jan 1937 KITLV
Perayaan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard di Balaikota Batavia (sekarang Museum Sejarah Jakarta), 6-10 Jan 1937. (Dok. KITLV)

“Sejarah itu cukup eksak, dan harus dibuktikan, tak bisa dengan hanya menyebutkan bahwa itu Pelabuhan Sunda Kelapa Heritage. Tidak bisa begitu. Kita harus mengacu pada otentisitas,” ujar Lin Che Wei.

Apa lagi kini, data-data sejarah sudah dapat diakses secara online dari yang sebelumnya terkurung di dalam kantor arsip luar negeri.

Sejarawan dari Inggris Profesor Peter Carey dalam acara yang sama mengungkapkan ada 800 ribu dokumen yang akan online.

Dokumen tersebut berasal dari arsip VOC berupa surat asli dan terjemahan dalam bahasa Belanda dari surat yang diterima Kasteel Batavia/ Hooge Regering (Pemerintah Tinggi), raja-raja di Asia, nahkoda kapal penumpang dan kapal barang yang bersandar di Calapa, serta semua surat yang masuk dan keluar di Batavia sepanjang 1629-1808 (era Daendels).

Dokumen itu, ujar Carey, menunjukkan posisi Batavia dalam perdagangan dunia dan bagaimana Batavia menjadi pusat jaringan Asia. “Ini harusnya dirayakan, dimanfaatkan untuk mencari tahu, belajar tentang Jakarta yang ceritanya kompleks,” kata Carey.

Data itu juga yang mengungkapkan kenyataan bahwa Batavia didirikan oleh orang asing, seperti halnya London didirikan orang Roma (Julius Caesar) dan Washington DC didesain oleh arsitek yang meniru kota di Prancis.

“Jadi tak perlu malu bahwa orang asing sebagai salah satu pelopor Batavia,” ujar Carey.

Bersambung ke Olveh dan Jeniusnya Schoemaker.

***
Dimuat di CNNIndonesia.com, 4 April 2016

14 Replies to “Dari Data, Bicara Sejarah”

  1. Dulu kita pernah main ke Museum Fatahillah kan, Vi? Kamu suka sekali dengan sejarah… sedangkan keringatku nggak cukup buat mengenang masa lalu dan memimpikan masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.