Menghidupkan Kembali Kota Tua

Bagian pertama dari rangkaian tulisan Kota Tua Jakarta Jelang Diakui Dunia

Oleh Silvia Galikano

Setelah masuk dalam Daftar Sementara (Tentative List) Situs Warisan Dunia UNESCO, maka tinggal selangkah lagi menuju ditetapkannya Kota Tua Jakarta sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2017.

Museum Fatahillah, stadhuis batavia
Perayaan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard di Balaikota Batavia (sekarang Museum Sejarah Jakarta), 6-10 Jan 1937. (Dok. KITLV)

Nomination dossier, dokumen komprehensif pengajuan Kota Tua sebagai Situs Warisan Dunia, telah rampung dan dikirimkan pemerintah RI dan Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) ke World Heritage Committee UNESCO pada 25 September 2015. Di dalamnya memuat nilai Kota Tua sebagai situs historis berikut upaya pelestariannya ke depan.

Laporan itu akan dievaluasi secara independen oleh International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), badan pengawas yang ditunjuk untuk membantu World Heritage Committee dalam nominasi situs kebudayaan sebelum dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia.

UNESCO mensyaratkan situs yang diajukan memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value – OUV) dan memenuhi setidaknya satu dari 10 kriteria pilihan dalam Petunjuk Operasional bagi Penerapan Konvensi Warisan Dunia.

Perencanaan konservasi yang matang serta pengembangan  wilayah Kota Tua beserta bangunannya yang semakin rentan dengan faktor alam dan pembangunan juga menjadi sorotan utama penilaian ICOMOS.

Karenanya, proyek revitalisasi diharapkan bisa memaksimalkan nilai kebudayaan, kebutuhan masyarakat lokal di sekitar, dan pemanfaatan area Kota Tua sebagai model bisnis yang realistis.

Menara Syahbandar
Menara Syahbandar, Jakarta. (Foto: Silvia Galikano)

Kota Tua Jakarta saat ini berbeda sekali dengan, katakanlah, 10-15 tahun lalu. Alun-alun Fatahillah di depan Museum Sejarah Jakarta selalu padat dengan berbagai kegiatan, terlebih akhir pekan.

Hingga 10 tahun lalu, tempat ini hanya didatangi para pemerhati sejarah karena seputar alun-alun diisi deretan, yakni Museum Sejarah Jakarta (lebih dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah), Museum Wayang, Museum Seni dan Keramik, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bank Indonesia. Café Batavia dan Kantor Pos, yang juga di lingkungan itu, jadi lokasi yang sama menariknya.

Di bagian paling utara, yakni di Jalan Pasar Ikan, ada Museum Bahari yang menyimpan artefak kebaharian masyarakat Indonesia.

Beberapa meter ke arah barat, berdiri Menara Syahbandar yang di masa VOC berfungsi untuk pengawasan di laut sekitarnya. Berdirinya persis di samping Kali Besar, bersenjatakan dua meriam yang moncongnya diarahkan ke Kali Besar.

Di sepanjang Kali Besar inilah Kota Tua berada. Kali Besar (Groote Rivier) pada masa kolonial Belanda adalah jalan utama Batavia, kala lalu lintas sungai mendominasi. Kali Besar  tak lain adalah Ciliwung yang bentuk asalnya berkelok-kelok.

Pada 1632, sungai ini diluruskan dan dilebarkan untuk mengatasi banjir di Batavia. Lebarnya mencapai 50 meter, dua kali lebar Ciliwung. Pada masa itu, kapal-kapal bongkar muatan di Pelabuhan Sunda Kelapa tempat bermuaranya Kali Besar, lantas dibawa melawan arus sungai ke pedalaman.

map-batavia-1669 @princeton,edu
Peta Batavia 1669. (Dok. Princeton.edu)

Kalau diumpamakan Kota Jakarta sekarang, Kali Besar adalah Jalan Sudirman-Thamrin, jalur sibuk perdagangan dengan gedung-gedung megah di kiri kanan. Itu sebabnya, bangunan di Kota Tua menghadap ke Kali Besar, sedangkan yang menghadap ke jalan darat adalah pintu belakangnya.

Ketika transportasi air tak lagi jadi primadona, kawasan perdagangan beralih ke arah selatan, meninggalkan tepian Kali Besar berikut artefaknya. Gedung-gedung kemudian beralih fungsi tak lagi sebagai kantor dagang dan kantor pemerintahan. Ditinggalkan dan merana.

Tak kurang 182 artefak peninggalan zaman kolonial terbengkalai, dikelilingi lingkungan yang buruk dan berpolusi, dihindari sebagai tempat hidup dan/atau bekerja. Walau berbagai inisiatif telah dilakukan pemerintah dan swasta, tak banyak membangkitkan vitalitasnya. Satu per satu gedung tua punah akibat kurangnya pemeliharaan, rubuh, bahkan sengaja dirubuhkan.

Hingga di puncak memprihatinkannya kondisi Kota Tua, tindakan konkret diambil untuk merevitalisasi Kota Tua. (JOTRC), Jakarta Endowment for Arts and Heritage (JEFORAH), dan UNESCO memberi napas kembali kepada gedung-gedung yang puluhan tahun sekarat, padahal pada masa gemerlapnya pernah memberi arti besar bagi perkembangan Batavia.

Dua gedung rampung dikonservasi dan jadi pilot project UNESCO, yakni Historia Food and Bar dan Kedai Seni Djakarte, keduanya kedai makan yang berdiri bersisian di samping Museum Sejarah Jakarta.

JOTRC dan JEFORAH memiliki agenda mengkonservasi 12 lokasi. Tiga yang  sudah rampung adalah Kantor Pos, Pantjoran Tea House (dahulu Apotheek Chunghwa), dan OLVEH. Gedung lain yang sedang dalam pengerjaan antara lain Van Vleuten & Cox (ex Pasar Jeans), Kerta Niaga, Cipta Niaga, dan Roa Malaka.

Jakarta Kota pernah berfungsi sebagai “kota” dalam arti kata sebenarnya, yaitu yang intensitas kehidupannya sangat vital bagi dirinya sendiri sebagai kota dan bagi sekitarnya, juga sebagai jalur distribusi barang dan jasa. Setelah sekian lama mengalami degradasi fisik, kualitas hidup, dan fungsi, sangat pantas jika kini Kota Tua dihidupkan kembali.

Dan hidupnya sebuah kota berarti berfungsinya kembali aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi berikut interaksi dengan penduduk yang menghidupinya.

Bersambung ke Kota Tua sebagai Sebuah Ruang

***
Dimuat di CNNIndonesia.com, 2 April 2016

2 Replies to “Menghidupkan Kembali Kota Tua”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.