Arti Bogor bagi Raden Saleh

Villa pelukis Raden Saleh Sarif Bustaman Cikini, Batavia
Villa pelukis Raden Saleh Sarif Bustaman Cikini, Batavia sekitar tahun 1865. (Dok. KITLV)

Tulisan ke-dua dari rangkaian tulisan tentang Raden Saleh setelah Makam Raden Saleh dan Jejak Sukarno di Tanah Bangsawan Sunda

Oleh Silvia Galikano

Bogor adalah kota tempat bakat maestro lukis Indonesia, Raden Saleh, ditemukan, diakui, dan diasah.

Demikian besar kecintaannya pada lingkungan dan masyarakat Bogor sehingga memilih dimakamkan di pemakaman keluarga Sunda di Bondongan, Bogor. Punggung bukit ini bekas benteng pertahanan Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Pajajaran hingga abad ke-16M.

Raden Saleh lahir di Terboyo, Semarang. Ada lima versi tahun kelahirannya, yakni 1806, 1807, 1811, 1813, dan 1814. Namun untuk tulisan ini, kita ambil angka terakhir, 1814.

raden saleh
Raden Saleh dan istrinya, Raden Ayu Danudirejo. (Istimewa)

Dia lahir di tengah keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal dan ibunya Mas Adjeng Zarip Hoesen. Kakek buyutnya dari garis ibu adalah Kyai Ngabehi Kertoboso atau Sayyid Abdoellah Boestaman, penguasa Terboyo, dekat Semarang. Neneknya adalah Nyai Sayid Alwi bin Awal bin Yahya.

Baca juga Makam Raden Saleh dan Jejak Sukarno di Tanah Bangsawan Sunda

Sejak kecil, Saleh diasuh R. Adipati Surohadimenggolo, pamannya yang menjadi Bupati Semarang dan bersimpati pada perjuangan Diponegoro. Kakak sepupunya, R. Sukur, turut berjuang hingga ditangkap dan dibuang.

Saleh kecil tinggal di keluarga itu hingga 1817. Kecerdasan dan bakat menggambarnya menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).

Pada 1817, oleh paman lain yang menjadi Bupati Majalengka, R. Adipati Ario Panji Kartadiningrat, Saleh dikirim belajar di bawah pengawasan Residen Priangan, Baron Robert van der Capellen.

Dua tahun kemudian, pendidikan Saleh dilanjutkan di Buitenzorg, kediaman Gubernur Jenderal G.A.G. Baron van der Capellen, yang adalah kakak dari residen Cianjur. Dia belajar di bawah pengawasan Prof. C.G. Carl Reindwardt, ahli botani asal Jerman.

Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan di Hindia Belanda itu juga telah merintis pengembangan Lands Plantentuin te Buitenzorg (Kebun Raya Bogor) pada 1817.

 

kebun binatang cikini - kol ali alatas
Halaman rumah Raden Saleh yang dijadikan Kebun Binatang Cikini. (Dok. Ali Alatas)

Guru lainnya adalah A.J. Payen, pelukis Belgia, yang bertugas menggambar alam flora dan fauna untuk kepentingan Kebun Raya. Hasil 10 tahun belajar di Bogor adalah kepandaian Saleh menggambar alam dan peta, ilmu ukur, kesenian, serta bahasa.

Melihat bakat anak didiknya, Payen mengusulkan agar Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826). Maka pada 1829, menjelang padamnya Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda.

Raden Saleh membangun puri indah di Cikini tak lama setelah dia pulang ke Hindia Belanda dari perantauan 20 tahun di Eropa dan mencapai keharuman nama sebagai pelukis. Dia tinggal di sana bersama istrinya, perempuan Belanda kaya raya, Constancia von Mansfeldt (nama gadis), juga dikenal dengan Constancia Winckelhagen.

Baca juga Tribute untuk Sang Maestro

Puri berhalaman luas itu dibangunnya mengikuti bentuk Istana Callenberg di Beiersdorf, tempat dia pernah tinggal saat berada di Jerman. Pada 1862, sebagian besar halaman puri Cikini dihibahkan untuk kebun binatang pertama di Batavia dan taman umum.

Bercerai dari Constancia, Raden Saleh kemudian menikahi R.A. Danudirejo, anak RMT Kertawangsa Kelapa-Aking (Kolopaking), pengikut Pangeran Diponegoro. Keduanya tinggal di Buitenzorg dari 1868 sampai 1880. Dari dua kali pernikahan, Raden Saleh tak berketurunan.

Rumah terakhir

Melalui masa remaja di Bogor memberi kesan kuat bagi Raden Saleh. Tak heran jika selalu ada panggilan untuk kembali ke tanah yang diakrabinya itu. Sejak 1871 hingga wafat pada 23 April 1880, dia berdiam di Bogor dan menjalin persahabatan yang luas.

Dia tinggal di rumah sewaan di samping Hotel Belle-Vue yang menghadap Kebun Raya.

Hotel Belle-Vue yang indah dan teduh itu sudah lenyap, sekarang berganti Bogor Trade Mall. Sedangkan rumah Raden Saleh menjadi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor di Jalan Ir. H. Djuanda, Bogor.

Saat saya mendatangi rumah terakhir Raden Saleh, Sabtu (23/4), nyaris tak tersisa lagi ciri-ciri bangunan kolonial. Fasadnya ditutup dinding berlapis keramik. Atapnya masih mempertahankan bentuk lama, tapi gentingnya sudah berganti genting berglazur.

Samino, petugas jaga yang bekerja di sana sejak 1985, mengantar melihat pintu bawah tanah yang ada di dinding kiri gedung. Keseluruhannya ada empat pintu bawah tanah, masing-masing berukuran 1×1 meter, dua di dinding kiri, dua di dinding kanan.

Masing-masing pintu punya sepasang daun pintu, yang membuka ke luar terbuat dari kayu setebal satu jengkal tangan orang dewasa, dan yang membuka ke dalam adalah pintu terali besi.

Konon, Raden Saleh menjadikan ruang bawah tanah itu sebagai kandang macan peliharaan. Empat pintu yang terlalu rendah untuk manusia itu tak lain adalah pintu untuk macan.

Samino bercerita, beberapa tahun lalu, dia pernah ikut membersihkan ruang bawah tanah. “Di sana ditemukan banyak berkas, uang Peruri, uang benggol. Semua temuan itu kemudian dibakar,” ujar Samino.

Untitled-4
Pintu menuju ruang bawah tanah yang dipercaya dahulu adalah kandang macan peliharaan Raden Saleh. (Foto: Silvia Galikano)

Di rumah inilah Raden Saleh wafat, dan dari sini pula, dua hari kemudian, jenazahnya diantar oleh rombongan besar ke Bondongan, Bogor. Koran Java Bode yang terbit pada 28 April 1880 melaporkan:

Pada hari Minggoe tanggal 25 April djam 6 pagi matinya Raden Saleh diiringi banyak toean-toean ambtenaar, kandjeng toean Assistant, toean Boetmy, dan lain-lain toean tanah, hadji-hadji, satoe koempoelan baris bangsa Islam, baik jang ada pangkat jang tiada berpangkat dan orang Djawa, sampe anak-anak Djawa dari Landbouwschool semoea anter itoe mait ke koeboer.

Penghulu-penghulu, kiai-kiai, dan orang-orang alim soedah djoega ikoet anter. Itoe orang-orang Selam dan Djawa dan apa lagi itoe jang alim-alim soedah njanji sepandjang djalan dengan soeara jang sedih; “Awlloh hoema salim, Awlloh sajidina Moehammad Rasoeloellah.”

Bersambung ke Langkah Awal Konservasi Rumah Raden Saleh di Cikini

***
Dimuat di CNNIndonesia, 25 April 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.