Dua Keraton Cirebon di Impitan Dua Budaya Besar

Cirebon menjadi salah satu daerah di Indonesia yang punya budaya unik karena berada di tengah-tengah impitan dua budaya besar yang masih memaknai arti priyayi, yakni Jawa dan Sunda. Dua budaya yang membentuk Cirebon yang bukan Jawa dan Sunda.
Oleh Silvia Galikano
Menilik sejarahnya, sejak tahun 1500-an, Cirebon telah jadi kota pelabuhan yang semarak. Saat inilah terjadi perembesan kebudayaan dari banyak arah. Pelabuhan Muarajati menjadi tempat pertemuan pedagang dari Tiongkok, Arab, Persi, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Tak pelak, keadaan ekonomi masyarakat saat itu terbilang sangat makmur.

Sejarah juga mencatat Kesultanan Cirebon yang didirikan Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (wafat 1479) dengan membangun Istana Pakungwati kemudian terpecah hingga terbentuk tiga keraton, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan, serta satu keprabonan.
Keraton Kasepuhan berada di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, Jawa Barat. Di sinilah akar sejarah pusat pemerintahan dan pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Baca juga Mencari Air di Taman Air Sunyaragi
Didirikan oleh Pangeran Cakrabuana dengan nama Keraton Pakungwati, kemudian diperluas dan diperbarui oleh Sunan Gunungjati pada 1483.
Sebutan Pakungwati diambil dari nama Dewi Pakungwati, anak Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunungjati. Nama Pakungwati tetap dipertahankan hingga masa pemerintahan Panembahan Ratu I dan Panembahan Ratu II (1649—1677).
Setelah itu, kerajaan terpecah dua menjadi Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Peristiwa ini terjadi ketika Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten mengutus Trunojoyo membebaskan dua putra Panembahan Girilaya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, dari tahanan Amangkurat I di Mataram.

Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677—1703) memimpin Keraton Kasepuhan (sepuh berarti tua), sedangkan Pangeran Kartawijaya memimpin Keraton Kanoman (anom berarti muda) dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677—1723).
Di bekas Keraton Pakungwati-lah Keraton Kasepuhan berdiri. Semakin lama kompleks keraton semakin meluas ke selatan, hingga16 hektare, berbatas tembok keraton, itu pun tidak termasuk Alun-alun dan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang letaknya dibatasi jalan raya.
Tersedia dua pintu gerbang utama untuk masuk ke kompleks keraton. Pintu utara disebut Kretek Pangrawit, dan pintu selatan disebut Lawang Sanga (artinya pintu sembilan). Nama pintu selatan diambil dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
Baca juga Dua Rumah Ibadah di Satu Masa
Keraton Kasepuhan terdiri dari bangunan induk, Pancaratna tempat menghadap wedana keraton, Pancaniti tempat perwira melatih prajurit, tempat jaksa menuntut hukuman mati dan tempat tontonan, Sitinggil, Paseban sebagai rumah jaga, Langgar Agung tempat shalat para kerabat keraton, Srimanganti, Singabrata, Langgar, dan Dapur.
Kompleks Sitinggil atau Siti Inggil adalah bangunan berada di tanah yang lebih tinggi dari tempat lainnya (siti = tanah, inggil = tinggi). Kompleks yang dindingnya dihiasi porselen Tiongkok itu terdiri dari beberapa bangunan tanpa dinding, hanya ditopang empat buah tiang, dan beratap sirap bentuk limas.

Bangunan Kompleks Sitinggil antara lain Semar Kinandu tempat penghulu keraton saat audiensi di Sitinggil, Malang Semirang tempat duduk sultan saat upacara keagamaan, dan Gamelan Sekati tempat gamelan pada upacara-upacara penting.
Di depan Sitinggil berdiri Paseban Pangada, yakni tempat jaga prajurit. Di depan Paseban Pangada terdapat tembok untuk memasuki keraton yang disebut Pintu Gledek. Melangkah dari Pintu Gledek, terpampanglah Arca Singa Kembar yang saling berhadapan di atas gunungan, lambang Keraton Kasepuhan. Singa Kembar melambangkan raja-raja Kesultanan Cirebon adalah keturunan Pajajaran.
Di dalam kompleks museum, terdapat Museum Kereta yang tepatnya di sisi bangunan Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan. Di sini disimpan Kereta Singa Barong buatan tahun 1549 atas prakarsa Raja Cirebon Panembahan Ratu Pakungwati I. Arsitek kereta adalah Panembahan Losari, sedangkan pemahatnya Ki Notoguna dari Kaliwulu.

Kereta Singa Barong yang sampai kini masih terawat baik itu merupakan refleksi persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Wajah kereta adalah wujud tiga binatang yang digabung menjadi satu, yakni bertubuh buraq, berbelalai gajah, dan bermahkota naga.
Belalai gajah merupakan wujud persahabatan dengan India yang beragama Hindu, kepala naga lambang persahabatan dengan China yang beragama Buddha, dan badan buraq lengkap dengan sayapnya lambang persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam.
Kereta ini asli buatan para ahli kereta Keraton Kasepuhan, sekaligus penggambaran pengetahuan teknologi orang Cirebon kala itu sudah tinggi. Bandingkan dengan keraton-keraton lain yang mengimpor keretanya dari Inggris, Belanda, atau Prancis.

Singa Barong pada abad ke-16 telah mengenal teknologi suspensi dengan menyusun per lempengan besi yang dilapisi karet-karet pada empat rodanya. Dengan teknologi ini, di samping kereta bisa terasa empuk di jalanan berbatu, badan kereta juga bisa bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan yang berefek sayap kereta bergerak naik-turun. Bisa dibayangkan jika kereta ini berjalan akan tampak seperti terbang.
Baca juga Ziarah Sang Menteri
Kereta Singa Barong dulu digunakan raja untuk kirab keliling kota Cirebon tiap tanggal 1 Syura atau 1 Muharram dengan ditarik empat kerbau bule. Penggunaan kereta untuk kirab yang berlangsung setahun sekali itu berlangsung turun temurun, mulai Panembahan Ratu Pakungwati I dan berhenti digunakan untuk kirab tahun 1942 karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi.
Di dalam Museum Kereta terdapat juga seperangkat Gamelan Degung persembahan Ki Gede Kawungcang Banten tahun 1426, karena putrinya, Dewi Kawung Anten dinikahi Sunan Gunungjati. Disimpan juga benda-benda sejak awal abad ke-15 dari berbagai negara, seperti perhiasan, tombak dan keris, busana, mebeler, ukiran kayu, serta pakaian perang prajurit Cirebon.
Keraton Kanoman

“Saudara kandung” Keraton Kasepuhan, yakni Keraton Kanoman, terletak di Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, Jawa Barat. Didirikan Sultan Kanoman I (Sultan Badririn) turunan ke-7 dari Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah pada tahun 1510 tahun Saka atau tahun 1588 Masehi.
Prasasti tahun berdirinya Keraton Kanoman terdapat pada pintu Pendopo Jinem yang menuju ruangan Prabayaksa. Di pintu tersebut terpahat Chandrasangkala bergambar matahari yang berarti angka 1 (satu), Wayang Darma Kesumah yang artinya angka 5 (lima), Bumi berarti angka 1 (satu), serta Bintang Kemangmang yang artinya angka 0 (nol). Keseluruhannya dibaca tahun 1510 Saka atau tahun 1588 Masehi. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa keraton itu didirikan bersamaan dengan pelantikan Sultan Badridin menjadi Sultan Kanoman pada 1677 M.

Kompleks keraton seluas 175.500 meter persegi ini memanjang dari utara ke selatan. Di dalamnya terdapat bangunan Sitinggil yang terletak di bagian depan sebelah timur kompleks dikelilingi tembok dengan Candi Laras pada sudutnya.
Pintu masuk halaman Sitinggil berupa tiga gapura berbentuk Candi Bentar. Di dalamnya terdapat bangunan Bangsal Sekaten tempat menabuh gamelan pada upacara Sekaten, setiap tanggal 7 hingga 12 Mulud.
Ada pula Bangunan Manguntur yang berundak. Undakan kedua adalah tempat pembacaan doa oleh pembantu dan kerabat raja, sedangkan undakan ketiga adalah tempat duduk sultan saat menyaksikan gamelan dimainkan.
Di halaman keraton tumbuh sepasang Baringin Kurung, yakni pohon beringin sebagai simbol pengayoman masyarakat. Ada pula Mesjid Keraton Kanoman yang terletak di sebelah barat, Alun-alun Keraton sebagai tempat upacara besar prajurit Keraton Kanoman, Bangsal Panca Niti sebagai pelambang shalat lima waktu, serta Mande Panca Ratna sebagai tempat menerima tamu.
Terletak pula alu dan lumpang yang dianggap saksi lahirnya nama Cirebon, yakni sebagai alat utama mengolah rebon sebagai bahan pembuatan terasi dan petis. Ilmu mengolah rebon konon didapat Pangeran Walangsungsang yang kemudian menjadi Pangeran Cakrabuana kala menimba ilmu pada mbah Kuwu Cirebon pada tahun 1445.
Seperti halnya Keraton Kasepuhan punya Kereta Singa Barong, Keraton Kanoman punya Kereta Jemprana yang dibuat tahun 1350 oleh Pangeran Losari. Kereta yang dibuat hanya berdasarkan feeling (tanpa desain) terbuat dari kayu sawo, kaya motif Tionghoa, dengan teknologi roda antislip. Dengan kereta inilah permaisuri Sunan Gunungjati bepergian. Di museum ini disimpan pula kereta yang dulu digunakan Sultan dan keturunannya, yakni Kereta Paksi Nagaliman.
***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 2006

9 Replies to “Dua Keraton Cirebon di Impitan Dua Budaya Besar”