Candu Rokok Berawal dari Teman Makan Sirih

rokok kretek, house of sampoerna, dji sam soe
Proses pengepakan di pabrik rokok kretek Dji Sam Soe. (Foto: Koleksi House of Sampoerna)

Tembakau digunakan untuk makan sirih, dikenal dengan nama tembakau sugi. Masyarakat Jawa menyebutnya bako susur.

Oleh Silvia Galikano

Sinolog Belanda Prof. Gustaaf Schlegel punya teori, tanaman tembakau bukanlah tanaman asli Indonesia. Sebagai bukti, dia menunjuk pemakaian istilah tembakau atau yang semacam itu, untuk menyebut tanaman termaksud di berbagai daerah yang semuanya berasal dari perkataan Portugis, tabaco atau tumbaco, ketimbang istilah Belanda, tabak.

Tahun 1511 Portugis sudah mengalahkan Kerajaan Malaka. Berdasar kenyataan ini, ia berpendapat, orang Portugis-lah yang pertama memasukkan tembakau ke Nusantara pada awal abad ke-17.

Saat itu, tembakau digunakan untuk makan sirih, dikenal dengan nama tembakau sugi. Masyarakat Jawa menyebutnya bako susur. Jenis tembakau ini berasal dari daerah pantai Malabar di India Selatan. Masyarakat pribumi di sana punya kebiasaan memakainya selama makan sirih.

Museum Kretek, Kudus
Aneka tembakau di Museum Kretek, Kudus. (Foto: Silvia Galikano)

Sebelumnya, masyarakat makan sirih tanpa tembakau, hanya sirih dan pinang. Baru kemudian pada awal abad ke-15 ditambah kapur dari kulit tiram. Gambir muncul di Tanah Air pada awal abad ke-16, impor dari Cambay, India. Tembakau jadi anggota terbaru perlengkapan makan sirih, setelah dimasukkan Portugis ke Nusantara pada awal abad ke-17.

Kehadiran tembakau membawa dua dampak yang saling bertolak belakang terhadap kebiasaan makan sirih. Pada satu sisi melengkapi dan menambah kenikmatan makan sirih, namun di sisi lain pada masa mendatang justru mematikan kebiasaan makan sirih, berganti dengan rokok.

“Penaklukan” ini mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, ketika makan sirih telah terdesak sama sekali oleh kegiatan merokok. Padahal seabad sebelumnya merupakan kebiasaan umum di kalangan perempuan Belanda di Tanah Air kita.

Mendukung teori Schlegel, buku Hikayat Kretek yang ditulis Amen Budiman dan Onghokham merangkum pendapat Raffles dalam The History of Java dan pendapat ahli botani Swiss, Augustin Pyramus de Candolle. Menurut keduanya, tembakau dan pemakaiannya untuk dirokok masuk ke Pulau Jawa pada abal abad ke-17 atau pada sekitar tahun 1600.

Museum Kretek, Kudus
Macam-macam saus di Museum Kretek, Kudus. (Foto: Silvia Galikano)

Masuknya tembakau dilanjutkan dengan masuknya kebiasaan merokok di Jawa sejak 1523 Saka atau sekitar 1601-1602. Tembakau berhasil menembus dinding-dinding keraton Mataram.

Seperti termuat dalam naskah Babad ing Sangkala (ditulis 1738), yang jika diterjemahkan, “Waktu mendiang Panembahan meninggal di Gedung Kuning/ adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau/ setelah itu mulailah orang merokok.”

Mangkatnya Panembahan Senopati, ayah Sultan Agung, diperingati dengan candra sengkala Gni Mati Tumibeng Siti yang berarti tahun 1523 Saka atau tahun 1601-1602 Masehi.

Menurut Dr. H. de Haen, salah seorang utusan VOC yang pada tahun 1622-1623 berkunjung ke Mataram, Sultan Agung berusia 20-30 tahun, berbadan bagus, berwajah tenang, dan tampak cerdas.

Museum Kretek, Kudus
Klobot (daun jagung) untuk bungkus rokok di Museum Kretek, Kudus. (Foto: Silvia Galikano)

Sebuah informasi lain menuturkan Sultan Agung dilayani 30 sampai 40 orang abdi perempuan. Semuanya memegang, antara lain, sirih dan tembakau dalam cerana emas. Sri Baginda selalu merokok dan tidak seberapa makan sirih.

Menurut De Haen, selama audiensi, Sultan Agung merokok dengan menggunakan pipa berlapis perak, merupakan perbuatan terlarang bagi para pembesar kala itu.

Seorang utusan VOC lain menuturkan, ia pernah melihat Sultan Agung sedang memeriksa latihan perang-perangan. Sri Baginda memandang ke depan sambil terus menerus merokok didampingi seorang pembantunya, yang dengan segera mengacungkan upet (tali api-api), begitu rokok Sri Baginda mati.

Raja lain yang juga perokok, di antaranya Sunan Amangkurat I, raja Mataram ke-empat dan pengganti Sultan Agung; serta Sunan Paku Buwono I, putra Sunan Amangkurat I, dan raja Mataram ke-enam.

Namun demikian, dalam naskah-naskah sastra Jawa dari pertengahan abad ke-19, kata “rokok” tidak dijumpai. Yang ada hanyalah istilah asli Jawa, yakni eses atau ses seperti di naskah Centhini, serta udud di naskah Babad Ing Sangkala.

Museum Kretek, Kudus
Macam-macam cengkih di Museum Kretek, Kudus. (Foto: Silvia Galikano)

Dua istilah ini yang umum dipakai di kalangan masyarakat Jawa pada masa itu. Di kalangan suku-suku bangsa di luar Jawa dan Madura, dikenal perkataan bungkus dengan makna sama.

Pada akhir abad ke-18, merokok telah menjadi salah satu kebutuhan hidup primer di kalangan masyarakat Jawa, tak ubahnya dengan makan sirih. Status ini terlihat dari besarnya persentase jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok dibandingkan dengan barang-barang kebutuhan hidup lainnnya, mencapai 25 persen dari jumlah keseluruhan uang belanja sehari-hari.

Tembakau yang dipakai masyarakat Jawa untuk merokok pada waktu itu berasal dari berbagai daerah, terutama dari wilayah keresidenan Besuki, yakni daerah Bondowoso, dan dari daerah Kedu. Tembakau Kedu sejak lama sangat terkenal karena mutunya.

Orang Belanda juga memakai tembakau Kedu untuk bahan pipa mereka. Pada abad ke-19, mereka hanya mengenal dua cara utama dalam menikmati tembakau, yakni mengisap pipa dan cerutu.

Museum Kretek, Kudus
Alat penggulung rokok kretek di Museum Kretek, Kudus. (Foto: Silvia Galikano)

Orang Belanda menyebut mengisap pipa dan cerutu dengan istilah ro’ken, misalnya dalam kalimat een pijp ro’ken (mengisap sebuah pipa). Dari perkataan ro’ken inilah muncul perkataan rokok oleh masyarakat pribumi pada akhir abad ke-19.

Penemuan kretek, yakni campuran tembakau dan cengkih, awalnya dimaksudkan sebagai obat sesak napas oleh penemunya, Haji Jamhari pada akhir abad ke-19. Karena temuan ini diminati banyak orang, sebuah pabrik kecil pun didirikan Haji Jamhari. Akhirnya, banyak orang mengikuti jejaknya.

Seiring lahirnya industri kretek di Kudus dan tersiarnya jenis rokok baru di berbagai daerah, mulai memasyarakat pula istilah “rokok”, menggantikan ses dan udud.

***
Dimuat di CNNIndonesia.com, 31 Mei 2016

5 Replies to “Candu Rokok Berawal dari Teman Makan Sirih”

  1. Tempo hari itu (hmm… 10 tahun lalu?) enam bulan aku bisa berenti merokok dan kecanduan snus. Awalnya ngerasa konyol liat snus, tapi kemudian bisa berjam2 “ngemut” (sebenernya istilah “ngemut” buat snus nggak pas2 amat) dan bener2 kecanduan asli. Sekarang? Balik merokok lagi, tapi sebungkus bisa buat seminggu… karena di sini harganya bikin ngilu ($7 lebih sebungkus).
    Btw, selamet ngerayain Idul Adha ya Vi. Ikut dapet daging kurban? 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.