Rumah Panggung Baja Lenteng Agung

 

Seluruh tulisan dan foto berikut diambil dari Facebook Yu Sing:

Studio #akanoma kadang sengaja melakukan pendekatan partisipatif pada pemilik rumah yang dianggap punya rasa keindahan/desain yang bagus.

Pada proyek sepersonal rumah tinggal, bangunan hanyalah tubuh, sedangkan jiwanya diisi oleh pemilik/penghuninya. Pendekatan ini berhasil misalnya pada @klinikkopi Yogyakarta.

Walaupun lahannya kecil, tidak sampai 150m2, banyak ruang yang asyik untuk dinikmati dan karenanya tidak terasa kecil. Tentu juga angin berteman karena hadir di mana-mana. Matahari juga sering-sering memberi berkatnya. Bila pohon telah hadir, rumah makin asyik.

rumah panggung baja
Rumah panggung baja terdiri dari tiga massa bangunan kecil. (Foto: koleksi Yu Sing)

 

Tanah tidak diurug. Lantai ditinggikan jadi panggung. Bawah panggung kosong sekitar 70 cm berupa tanah asli. Panggung kosong yang agak tinggi memudahkan perawatan dan tidak menjadi sarang binatang.

Air hujan lebih banyak meresap ke dalam tanah, menambah cadangan air tanah, mengurangi banjir, dan mengurangi beban penurunan muka tanah (akibat terlalu banyaknya air tanah diambil tanpa dikembalikan). Tanah terbuka juga menyerap kelembapan dengan baik sehingga rumah lebih tidak lembab.

Rumah ini terdiri dari 3 massa bangunan kecil-kecil dan tidak menempel dengan tetangga. Struktur baja. Ruang kecil berasa lega karena kesatuannya dengan ruang luar.

Dinding sebagian beton cor setebal 7 cm dengan tulangan tunggal M5 berbekisting papan untuk tekstur dinding lebih dekil. Papan-papan bekas bekisting yang selamat sampai akhir, dipakai kembali untuk daun pintu.

Lantainya zincalum terus dicor beton bertulang tipis. Dindingnya dari zincalum. Kalo mo bikin…hrs diitung org struktur ya.

 

Lantai 2 pakai cor beton tipis bertulangan tunggal M5 atau M6 dengan alas zincalum. Kontraktornya bekerja sesuai hatinya 😛 . Kalo sekedar kontraktor…gak mau kerjain ginian. Murah tapi repot.

Penggunaan material baja untuk dinding dan atap apa tidak terlalu berisik ketika hujan? Atapnya pakai glasswool. Tapi mau coba ada tambahan lain lagi. Dinding ternaungi atap kecuali hujan angin besar.

 

Ini hal baru lagi. Pintu rumah ini dari kayu-kayu murah saja sekelas kayu sengon, papan kayu bekas cor. Tapi tanpa tanya, Pak Heri, pelaksana proyeknya, menggores-gores kayunya pakai mesin potong. Jadinya keren. Sebetulnya lebih keren kalau kayu tengah itu dihilangkan. Tapi ini telanjur penampang samping kayunya rata, jadi perlu pakai kayu itu.

Bila ingin rumah murah, maka perlu memahami keindahan dalam kesederhanaan seperti ini. Keren kok. Ya murah juga. Tak perlu pakai keramik lagi di dalam kamar mandinya. Lantai juga semen doang.

Begini cukup. Fungsinya masih baik. Nanti, bila tabungan bertambah, bolehlah dinding itu dilapis kayu. Tapi nggak diapa-apain juga cukup kok.

Sebetulnya kalau dipikir2 lagi sesuai ide #rumahbersama yang pernah saya tulis, rumah ini seperti contoh nyata 1 kapling. Tangga bersama 1. Bisa kan belajar berhemat ukuran ruang dan gaya hidup praktis. Rumah mungil asal menyatu dengan aneka ekosistem alam dalam rumah.

==

Harga relatif. Karena ini 3 massa terpisah, tentu biaya struktur lebih mahal daripada 1 massa tunggal. Beda yg mau dicapai. Penghematannya karena menghemat arsitekturnya. Bisa jadi mahal juga dengan desain yang sama tapi pilihan finishing yang beda. Tapi kira-kiranya lebih murah dari harga rumah yang dibangun pengembang.
Soal biaya struktur tergantung desain juga. Ini konstruksi dengan beban (dinding, atap, lantai) ringan juga untuk menghemat struktur yang berpotensi mahal karena 3 massa dan panggung, tapi masih bisa terjangkau untuk kalangan menengah.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.