Langgam Eklektik Hotel Trio Solo

hotel trio solo
Hotel Trio Solo pada malam hari. (Foto: Silvia Galikano)

Hotel Trio adalah saksi geliat Surakarta memodernkan diri pada awal abad ke-20. Kamar-kamar lamanya masih dapat ditemui sekarang.

Oleh Silvia Galikano

Awal abad ke-20 adalah masa Kota Surakarta menuju kota modern. Saat itu raja Kasunanan Surakarta adalah Pakubuwono X (PB X, memerintah 1893 – 1939). Dalam jurnal berjudul Modernisasi Kota Surakarta Awal Abad XX (2013), Riyadi, dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP UNS menjelaskan perkembangan fisik Surakarta saat itu yang hampir menyamai Batavia.

Baca juga Warisan Ternama di Pecinan Jakarta

Pada dekade pertama 1900, bermunculan hotel, sarana ledeng, taman hiburan, benteng, museum, stadion, sekolah, tempat penjualan daging, telepon dan telegraf, perpustakaan umum, dokter gigi, tempat pelelangan, serta notaris. PB X membangun instalasi listrik tenaga diesel (1902), jalan-jalan di pusat kota dibuat luas, pembukaan jembatan dilakukan terus hingga 1915, serta dibangunnya trem yang ditarik kuda pada 1900.

master-landscape2
Tegel bermotif flora dari teras depan hingga teras belakang. (Foto: Silvia Galikano)

Pada masa inilah berdiri Hotel Trio, yakni 1932, di kawasan Pecinan Jalan Urip Sumoharjo No. 25 Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Solo. Satu deret dengan pertokoan sebelah utara Pasar Gede Hardjonagoro.

Bentuk bangunannya kembar dengan bangunan di seberangnya yang sekarang sudah berubah total. Kental pengaruh arsitektur rumah tradisional Jawa dengan pola peletakan pintu tiga memusat, ornamen dan struktur Eropa, fasad didominasi kolom-kolom besi berukir a la Korinthia, serta karakter rumah tradisional Tionghoa dengan courtyard di depan dan tengah rumah.

Baca juga Rumah Ungaran

Lantai di bangunan bawah adalah tegel bermotif flora, mulai dari beranda depan hingga beranda belakang, sedangkan di lantai 2 berlantai kayu.

img_20161121_073012

Dalam artikel Dhian Lestari Hastuti “Struktur dan Fungsi Desain Interior Rumah Peranakan Tionghoa di Surakarta pada Awal Abad ke-20” (2012) di jurnal desain interior Pendhapa, Hotel Trio semula terdiri dari dua bangunan, yakni bagian depan sebagai penginapan dan bagian belakang untuk rumah tinggal. Antara penginapan dan rumah tinggal dipisahkan courtyard.

Di bangunan utama ada delapan kamar, yakni empat di lantai 1 dan empat di lantai 2. Kamar-kamarnya ditandai dengan huruf A, B, C, dan seterusnya. Setiap kamar, masing-masing berukuran 4×5 meter, dengan jendela besar menghadap ke luar. Di depan setiap kamar diletakkan meja kayu dengan permukaan marmer.

Baca juga Isola dan Misteri Raja Media

Kusen dan daun pintu dengan tinggi 3,5 meter mendapat pengaruh gaya Eropa. Pintu-pintu utama memiliki dua pasang daun pintu, yakni sepasang daun pintu kayu yang membuka keluar dan sepasang daun pintu kaca membuka ke dalam.

img_20161121_102341
Tangga dengan balustrade dari besi (tak tampak di foto) dan kayu. (Foto: Silvia Galikano)

Pembatas lobi dan kamar, serta kamar dan teras belakang, adalah kolom Tuscan dengan lengkungan di bagian tengah.

Warna yang mendominasi daun pintu dan jendela adalah kuning muda dengan aksen hijau yang merupakan pengaruh Keraton Mangkunegaran. Meski demikian, menurut budaya Tionghoa, hijau yang merupakan simbol unsur kayu, melambangkan panjang umur, pertumbuhan, dan keabadian. Sedangkan kuning, simbol unsur tanah, melambangkan kekuatan dan kekuasaan.

Baca juga Daroessalam, Rumah Gula di Pasuruan

Tangganya memiliki railing kayu serta balustrade dari besi dan kayu. Dari bawah hingga bordes menggunakan balustrade kayu, sedangkan dari bordes ke lantai 2 adalah balustrade asli dari besi tuang.

img_20161121_102800
Balkon depan sedang direnovasi. (Foto: Silvia Galikano)

Di lantai 2, kita bisa ke balkon depan untuk melihat jalan raya. Balkon depan sekarang sedang dalam tahap renovasi. Di atap balkon terdapat hiasan (kuluk) patung burung berkepala singa.

Hingga kini, bentuk bangunan lama tetap dipertahankan sesuai aslinya, kecuali dinding yang semula dilapisi bata yang dihaluskan dan dicampur pasir dan kapur diganti dengan dinding semen akibat rembes.

Baca juga Hotel Bali Beach, Karunia Bung Karno untuk Sanur

Rumah tinggal di bagian belakang sudah berganti jadi deretan kamar dua lantai yang saling berhadapan, mengapit courtyard. Ukuran kamarnya lebih kecil dibanding kamar di bangunan lama.

img_20161121_103833
Rumah tinggal di bagian belakang dijadikan deretan kamar baru. (Foto: Silvia Galikano)

Rumah ini awalnya milik Tjokro Soemarto, saudagar batik di Laweyan pada awal 1900-an, kemudian disewa Tjoa Boen King. Ketika ada saudara Boen King, pengelola Hotel Trio di Yogyakarta, mencari tempat untuk penginapan dengan nama sama, rumah ini jadi pilihan.

Baca juga Ubud Bertonggak Taksu

Rumah sewaan tersebut kemudian dibeli putra Boen King, Djoenadi Tjokrohandojo, pada 1970-an, saat bisnis penginapan semakin berkembang. Sekarang, penanggung jawab hotel adalah putri Djoenadi, Indriati Tjokrohandojo, 60-an tahun.

Tamu hotel umumnya orang-orang tua, yang sudah bertahun-tahun menginap di sini saat ke Solo. Namun berkat era media sosial sekarang, tamu milenial mulai berdatangan. Lebih spesifik, milenial pengagum bangunan tua.

Dari kunjungan ke Solo, 19, 20, 21 November 2016

Dimuat di sarasvati.co.id, 17 Desember 2016

5 Replies to “Langgam Eklektik Hotel Trio Solo”

  1. ini hotel langganan keluarga saya, tempatnya nyaman dan dekat Pasar Gede. bagian depan dipertahankan tetap aslinya sedangkan bagian belakang bangunan baru. rate murah, pelayanan bagus. jika pagi hari ada penjual nasi liwet mangkal di teras hotel. enak banget nasi liwetnya.
    sarapan dari hotel sebenarnya juga enak, nasi goreng dengan kerupuk, roti bakar. untuk teh manis sebaiknya pesan gula dipisah kalau tidak suka teh yang terlalu manis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.