Ari Malibu dan Kidung Teman Seiring

Ari Malibu, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Ari Malibu, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

Tiga dekade lalu, Ari memilih genre folk karena sederhana. Tak ada dalam agenda bakal jadi inspirasi banyak orang.

Oleh Silvia Galikano

Di Ruang Putih, kafe halaman dengan panggung kecil di kawasan Karangsetra, Bandung, Ari Malibu merayakan ulang tahun. Tahun ini, penyanyi kelahiran Makassar, 18 Desember itu berusia 56 tahun. Namun karena bersamaan dengan tiga dekade dia berkarya, atas dorongan teman-teman, digelarlah acara yang bukan sekadar perayaan ulang tahun.

Bersama kawan-kawan, Ari menyanyikan lagu-lagu yang sering dia bawakan sejak awal menyanyi secara profesional, tiga puluhan tahun lalu. Dan untuk merangkum itu semua, “December We’ll Remember: 3 Dekade Ari Malibu Berkarya” dipilih sebagai tajuk acara yang digelar pada Minggu malam, 18 Desember 2016.

Begitu malam tiba, bangku-bangku kayu di Ruang Putih segera saja penuh. Suara saling sapa, bertukar kabar, seruan kawan lama yang baru malam itu bertemu, terdengar hampir di setiap sudut. Ari ada di antara mereka, duduk di bangku kayu, larut dalam obrolan.

Rull Darwis (kiri) dan Ari Malibu, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Rull Darwis (kiri) dan Ari Malibu, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

Pukul 8 malam, satu jam mundur dari jadwal, Ari naik panggung dalam setelan T-shirt putih dan celana panjang hitam. Panggung dia gedor dengan You’ve Got to Hide Your Love Away diiringi harmonika Hari Pochang, steel guitar Amrus Ramadhan, dan bas Luqman Hertanto Herman.

Lewat lagu milik The Beatles dari tahun 1965 itu Ari seakan memberi pertanda, “Kita senang-senang malam ini, Kawan!” Penonton terbakar, ikut menyanyi.

Usai lagu pertama, Ari menyapa penonton. Menyampaikan terima kasih kepada dua temannya, Abrory A. Jabbar, pencetus acara ini sekaligus penulis sejumlah puisi di album terbaru Ari Malibu; Kembali Pulang, Sayang (2016); serta kepada pemilik Ruang Putih, Macky Hikmatin Wargahadibrata, yang menyediakan tempat.

Jason Ranti saat tampil di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Jason Ranti saat tampil di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

Ari ceritakan tentang masa awal berkarya, dia memilih membawakan lagu-lagu folk sebab sederhana. Dua di antaranya berkali-kali dia bawakan dari panggung ke panggung, yakni Sweet Baby James (1970) milik James Taylor dan Bright Eyes (1979) milik Art Garfunkel. Dua balada tersebut berturut-turut Ari lantunkan.

Lagu favorit Ari lainnya bergantian dibawakan musisi-musisi lain dengan kekhasan masing-masing. Ari “cukup” mengiringi dengan dengan gitarnya sekaligus sebagai backing vocal, atau malah tak ikut sama sekali.

Di sana ada penyanyi dan sahabat lama Ari, Rull Darwis melantunkan Blowing in the Wind (1963) milik Bob Dylan, serta Engkau Menunggu Kemarau. Yang disebut terakhir itu adalah puisi Abdul Hadi W.M. yang dimusikalisasi Umar Muslim, ada dalam album Bulan Apresiasi Sastra (1988) duo AriReda.

Ari kemudian berbagi panggung dengan musisi-musisi muda yang banyak mendapat inspirasi dari AriReda, yakni Jason Ranti, Rahma Savitri, Jane Christina, serta duet Curly&Me.

Ki-ka Jane Christina, Rahma Savitri, Ari Malibu di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Ki-ka Jane Christina, Rahma Savitri, Ari Malibu di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

Jason Ranti, yang memanggil Ari dengan “Oom Ari”, membuat interpretasi baru untuk Karena Kata, puisi dan musikalisasi Ags. Aryadipayana yang versi originalnya dibawakan Ari, Reda, dan Nana. Masih dalam rentang folk tapi lebih laid back, dekat ke blues.

Karena tak dapat kutemukan/ kata yang paling sepi/ kutelantarkan hati sendiri// Karena tak dapat kuucapkan/ kata yang paling rindu/ kubiarkan hasrat terbelenggu// Karena tak dapat kuungkapkan/ kata yang paling cinta/ kupasrahkan saja dalam doa///

“Romantisme yang seperti itu saya belajar dari Oom Ari,” ujar Jason tentang lagu barusan, sebelum melanjutkan ke Kau Yang Kusayang (1979) milik The Rollies, duet dengan Ari.

Musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, Kuhentikan Hujan dan Hutan Kelabu dalam Hujan, disuarakan Sarita Rahmi Listya dari grup Teman Sebangku. Sedangkan duo Curly&Me melagukan The Sound of Silence (1964) dan Homeward Bound (1966) milik Simon & Garfunkel. Hingga kemudian Rahma Savitri dan Jane Christina berhasil menggoyang penonton lewat Top the World (1972)-nya The Carpenters.

Lalu lampu Ruang Putih dimatikan. Ari mengajak penonton menyalakan lilin. Bersama Jane Christina, keduanya menyanyikan Ave Maria, lagu klasik yang ditulis Bach/Gounod, untuk menyambut Natal yang tiba sepekan sesudahnya. Mereka menyanyi tanpa diiringi musik apa pun.

Ki-ka Jane Christina, Rahma Savitri, Ari Malibu di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Ki-ka Jane Christina, Rahma Savitri, Ari Malibu di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

Setelah lampu panggung menyala lagi, Ari memanggil Gustiaji Riwin yang naik panggung membawa gitar. Ari bawakan American Tune, diiringi Riwin. Lalu dia panggil Denny Hatami dan Raymond Pattirane. Maka lengkaplah empat personil terakhir Pahama.

Tampaknya, kehadiran Pahama-lah yang paling ditunggu penonton. Begitu  I Should Have Known Better (1964) milik Beatles melantak panggung, sontak penonton berseru heboh dan segera mengarahkan kamera  ponsel mereka ke panggung. Juga ketika Pahama bawakan If (1971) milik Bread yang ikut dinyanyikan penonton.

Giliran berikutnya adalah lagu-lagu mereka sendiri. Oplet Dago dan Tukang Copet yang terkenal pada 1977 dan 1978. Pahama, grup vokal bentukan 1976 di Bandung itu mengingatkan bahwa pernah ada masa musik Indonesia diwarnai grup dengan aransemen vokal rumit.  Saat lagu-lagu ini keluar, Ari Malibu belum bergabung.

Selesai Soino, mereka membungkukkan badan, tanda usai. Penonton tak terima. “Lagi..! Lagi..! Lagi…!”

Lalu gitar Riwin memainkan intro yang sangat dikenal. Kidung, lagu ciptaan Chris Manusama yang pada 1978 masuk 10 besar Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors Rasisonia. Penonton menggila. Suara penonton hampir mengalahkan kencangnya suara dari panggung.

Tak selamanya mendung itu kelabu/ nyatanya hari ini kulihat begitu ceria// Hutan dan rimba turun bernyanyi juga/ membuat hari ini berseri/ dunia penuh damai///

Pahama saat tampil di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Pahama saat tampil di Ruang Putih, Bandung, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

Dan usainya Kidung disambut tepuk tangan panjang dan seruan, “Bravo! Bravo! Bravo!” Klimaks. Sebetulnya ini bisa menjadi penutup yang pas. Namun Ari memanggil satu lagi temannya. Teman duet selama lebih dari 30 tahun. Reda Gaudiamo.

Reda yang mengenakan blouse tenun Nusa Tenggara dan celana panjang hitam, naik panggung, duduk di kursi tinggi. Ari, memegang gitar, duduk di sebelah kiri Reda, formasi klasik AriReda.

Reda bercerita, pada 1984 Ari menyampaikan akan bergabung dengan Pahama, grup vokal yang terkenal setelah mengikuti Bintang Radio dan Televisi Remaja.

Reda tak keberatan, selain Pahama punya nama besar, dia juga saat itu mengira AriReda hanyalah duo musiman. “Paling, tahun depan udahan,” ujar Reda. Tak ada yang mengira mereka bakal 34 tahun bersama.

Suasana yang tadi panas, walau berusaha diteduhkan Reda lewat pengantar, sepertinya gagal. Sebagian penonton masih rusuh. Mereka berfoto bersama dengan personil Pahama, lalu membuat kebisingan baru karena pamit, cipika-cipiki, dadah-dadah.

Arireda, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)
Arireda, 18 Desember 2016. (Foto Silvia Galikano)

AriReda, yang berusaha tak terganggu dengan keriuhan di kursi penonton, berlanjut melantunkan lagu-lagu wajib mereka, musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco, Di Restoran, Akulah Si Telaga, Nokturno, dan Hujan Bulan Juni.

Penutupnya, Aku Ingin, dinyanyikan beramai-ramai dengan seluruh pendukung acara. Namun bukan berarti acara selesai. Belum habis tepuk tangan penonton seusai Aku Ingin, Macky naik membawa tumpeng di atas tampah kecil. Lagu Happy Birthday dinyanyikan beramai-ramai, juga ucapan selamat bergantian disampaikan kepada Ari.

Rasanya sulit benar membicarakan Ari Malibu belaka tanpa mengikutkan Reda. Jason Ranti sempat membuat pengakuan, dia pernah mengira Ari dan Reda adalah pasangan suami istri. “Ternyata lebih tepat disebut musuh bebuyutan.”

“Tiga Dekade” yang jadi judul acara ini juga, menurut Ari ketika dihubungi Sarasvati, juga dihitung berdasarkan penampilan perdana AriReda di acara ulang tahun Ikatan Kekerabatan Antropologi UI tahun 1982. Maka mustahil acara ini digelar tanpa kehadiran Reda Gaudiamo.

Setelah tiga dekade, Ari Malibu konsisten di jalan pilihannya yang tak segegap-gempita jalan yang ditempuh banyak penyanyi lain. Bersama gitar dan teman-teman seiring yang membahagiakan, sudah cukup rasanya.

***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Januari 2017

cover_edisi_38

2 Replies to “Ari Malibu dan Kidung Teman Seiring”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.