Cerita Gemilang Industri Gula Pasuruan

Gedung Serbaguna P3GI Pasuruan dengan mesin giling tebu di halamannya. (Foto: Silvia Galikano)
Gedung Serbaguna P3GI Pasuruan dengan mesin giling tebu di halamannya. (Foto: Silvia Galikano)

Kota di tepi Selat Madura ini pernah mengalami kejayaan industri gula. Temuan besar pun dicetak di sini.

Oleh Silvia Galikano

Berawal dari upaya VOC pada permulaan abad ke-19 menyulap daerah miskin Tapal Kuda Jawa Timur, yang mereka sebut Oosthoek, menjadi kawasan yang produktif secara ekonomi. Cara yang ditempuh adalah melalui pertanian dan pengolahan tebu.

Dalam buku Gula (2008) yang disusun dari manuskrip Sarjadi Soelardi Hardjosoepoetro (1922 – 1988), iklim dan tanah Pulau Jawa cocok ditanami tebu. Hingga pertengahan abad ke-19, penggilingan tebu, yang waktu itu masih memproduksi gula merah (muscovado), berada di sekitar Jakarta ke barat sampai Banten.

Baru pada pertengahan abad ke-19 industri gula bergeser ke timur karena pertimbangan iklim yang lebih cocok bagi tebu, yakni musim kering yang cukup nyata sebagai syarat bagi kesempurnaan proses kemasakan tebu. Pabrik-pabrik gula yang digerakkan mesin mulai dibangun di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

proefstation-oost-java-1915-kitlv

POJ Pasuruan 1915. (Dok. KITLV)

Tebu tumbuh memerlukan air yang cukup dan teririgasi dengan baik perkebunan tebu menggunakan lahan sawah, yang umumnya adalah milik petani. Itu sebab penggunaannya bergiliran, antara penanaman tebu oleh pabrik gula dengan penanaman tanaman pangan oleh petani.

Kehidupan petani Jawa yang awalnya berpusat pada produksi padi skala kecil, lambat laun ganti haluan menjadi pekerja di perkebunan tebu. Dalam setengah abad, budidaya tebu dan industri gula membawa kesejahteraan bagi penduduk kawasan Tapal Kuda dan menjadikan Pasuruan salah satu wilayah paling kaya di Jawa.

Baca juga Daroessalam, Rumah Gula di Pasuruan

Setelah seabad eksploitasi produksi gula, datanglah sebuah periode panjang gonjang-ganjing ekonomi dan gejolak sosial. Oosthoek terancam oleh goyahnya harga gula dunia. Begitu Depresi Besar mencapai Hindia-Belanda pada 1929, harga ekspor ambruk. Petani tebu dan pekerja pabrik gula jatuh miskin. Orang-orang Eropa dan Tionghoa yang sebelumnya mendapat kekayaan dari industri gula juga tak luput dari kemalangan ini.

P3GI, P3GI pasuruan, industri gula pasuruan, gula pasuruan, POJ pasuruan
Foto para kepala P3GI pada masa Belanda. (Foto: Silvia Galikano)

Salah satu peninggalan masa kejayaan gula di Pasuruan adalah Gedung P3GI di Jalan Pahlawan 25 yang merupakan gedung tertua di lahan terluas di Pasuruan. Masyarakat Pasuruan menyebutnya Gedung Prop, pelafalan lokal dari nama asal kantor ini, Proefstation Oost-Java (POJ – Balai Penelitian Jawa Timur). POJ didirikan pada 9 Juli 1887 dengan Dr. J.G. Kramers sebagai Direktur dan J.D. Kous sebagai Deputi Direktur.

Penyakit sereh-tebu. (Foto: istimewa)

POJ

POJ adalah lembaga riset tebu/gula ketiga yang didirikan untuk mendukung industri gula di wilayah Hindia Belanda setelah Proefstation West-Java di Kagok (dekat Slawi di Tegal) pada 1885 disusul dengan Proefstation Midden-Java di Semarang pada 1886.

Berdirinya POJ Pasuruan tak lepas dari dua hal besar yang sedang merebak saat itu, yakni penyakit sereh yang melanda hampir seluruh tanaman tebu di dunia. Penyakit sereh membuat tanaman tebu tak punya batang, dari tunggul langsung daun, sama seperti sereh.

Penyakit sereh pertama ditemukan di perkebunan tebu di Jawa Barat pada 1881, dan dalam beberapa tahun menyerang seluruh pulau Jawa. Kerugiannya besar, membuat industri gula Jawa terancam hancur. Menyusul krisis penyakit sereh adalah majunya budidaya biet di Eropa pada 1884 yang mendesak gula pasir tebu di pasaran dunia.

Beberapa tahun kemudian, Balai Penelitian di Semarang ditutup dan yang di Kagok dipindahkan ke Pekalongan. Jika awalnya seluruh Balai Penelitian menitikberatkan kegiatannya untuk mengatasi penyakit sereh, maka sejak 1896 Balai Penelitian di Pekalongan mengkhususkan penelitiannya di bidang teknologi kimia dan teknik.

Pada 1907, semua perkumpulan Balai Penelitian berfungsi menjadi satu dan selanjutnya dibiayai dan dikelola oleh Vereniging het Proefstation voor de Java-Suikerindustri (Perkumpulan Balai Penelitian Industri Gula di Jawa). Sejak itu, Balai Penelitian di Pasuruan menjadi Bagian Budidaya (Cultuurafdeling) dan yang di Pekalongan menjadi Bagian Teknologi-Kimia dan Teknik (Chemisch-Technische Afdeling).

Pada 1925, kedua Balai Penelitian tersebut digabung menjadi satu dengan nama Proefstation Oost-Java (POJ) di Pasuruan. Hindia Belanda membuat beragam riset berbasis gula, on farm dan off farm, di sini. Riset on farm adalah terkait tanaman tebu hingga siap digiling di pabrik, dan off farm adalah dari proses penggilingan sampai jadi gula.

Varietas unggul tebu POJ 2878 yang dijuluki wonder cane of Java yang merupakan persilangan antarspesies, dirilis POJ pada 1921. Varietas itu di antaranya tebu (Saccharum officinale) dan gelagah (Saccharum spontaneum). Delapan tahun setelah dirilis, POJ 2878 telah ditanam di 90 persen areal tebu di Jawa dan kemudian berhasil menyelamatkan industri gula dunia yang nyaris rontok akibat penyakit sereh.

Pengusaha gula Kwee Sik Po (baris ke-2, baju putih) dan istri The Tien Nio (baju gelap) hadir di peresmian gedung baru POJ Pasuruan pada 21 April 1925. (Foto collectienederland.nl)
Pengusaha gula Kwee Sik Po (baris ke-2, baju putih) dan istri The Tien Nio (baju gelap) hadir di peresmian gedung baru POJ Pasuruan pada 21 April 1925. (Foto collectienederland.nl)

POJ juga merilis POJ 3016 pada 1930, varietas yang memiliki produktivitas tinggi dan dalam waktu singkat mencapai 90 persen areal tebu Jawa. Temuan hasil riset di Pasuruan langsung dikenal dunia, dan POJ jadi kiblat pada masa itu.

Seiring perubahan zaman, peneliti gula di POJ berubah-ubah kebangsaan. Dari Belanda, ke Jepang, hingga kemudian dinasionalisasi pada 1957, POJ sepenuhnya dipegang orang Indonesia, namanya menjadi Balai Penyelidikan Perusahaan-Perusahaan Gula (BP3G).

Pada 1987, nama BP3G diganti menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan berlaku hingga kini. Inisial POJ yang sebelumnya digunakan untuk varietas temuan lembaga ini, sejak 1957 berubah inisial jadi PS, mengacu pada Pasuruan.

Baca juga Rumah Singa di Pasuruan

“Walau sudah seabad, teori-teori yang dibangun pada zaman Belanda masih relevan sampai sekarang dan varietas POJ  tetap jadi ‘keyword’ P3GI,” ujar Manager of Marketing, Training & Information P3GI Aris Lukito saat dijumpai di Pasuruan pada Agustus 2015. Lanjut Aris, hingga kini banyak yang datang dari luar negeri, termasuk anak-cucu direktur-direktur pada masa lalu, untuk melihat jejak sejarah temuan-temuan terdahulu.

P3GI bukanlah satu gedung, melainkan kompleks bangunan di dalam satu kawasan seluas 10 hektare. Bagi wisatawan peminat sejarah, P3GI masuk dalam daftar yang wajib dikunjungi. Di antara pohon-pohon tua nan rindang, dapat kita lihat gedung-gedung tua yang masih difungsikan.

Berbeda dengan kantor-kantor lainnya, P3GI terbilang sepi dari karyawan yang wira-wiri. Maklum saja, lahan 10 hektare itu hanya diisi 150 hingga170 karyawan, termasuk di antaranya 30-40 peneliti. Praktis, satu orang punya “ruang kerja” sampai 100 meter persegi.

Bangunan yang paling dekat dengan jalan raya adalah gedung aula yang digunakan sebagai ruang pertemuan, menerima kunjungan skala besar, atau disewakan untuk tempat pernikahan. Di halamannya, di kerindangan pohon sosis (Kigelia africana) ditempatkan mesin giling tebu bermerek Robinsons Patent buatan London 1851 yang dulu pernah digunakan.

Tampilan luar aula masih mempertahankan bentuk asli dengan fasadnya mencirikan gaya arsitektur neo-klasik dan modern awal. Dinding terbagi dua, bawah dan atas, yakni berlapis batu alam dan polos. Pintu utamanya satu rangkaian dengan panel-panel jendela kaca yang secara keseluruhan membentuk setengah lingkaran (arch) berukuran besar.

Bagian dalam aula dibagi menjadi dua bagian sama luas, depan dan belakang, dipisahkan dinding berpintu. Besar kemungkinan dinding pemisah ini dibuat belakangan. Bagian depan adalah bentuk asli aula. Langit-langit melengkung dan tinggi, mencapai 4 meter.

P3GI, P3GI pasuruan, industri gula pasuruan, gula pasuruan, POJ pasuruan
Laboratorium P3GI. (Foto: Silvia Galikano)

Jendela juga tinggi dengan bingkai bawahnya saja hampir 2 meter dari lantai. Itu sebabnya tiap jendela disambungkan ke tuas besi yang turun hingga setinggi pinggang orang dewasa untuk memudahkan membuka dan menutup jendela.

Sayangnya ubin lama sudah tak ada, berganti ubin keramik. Menurut Aris, banjir membuat ubin lama rusak sehingga harus diganti. Saat aula sedang tidak disewa, ruang ini digunakan karyawan untuk bulu tangkis.

Jika aula bagian depan masih mempertahankan kesan kunonya, bagian belakang aula dibentuk layaknya ruang resepsi masa kini. Sepanjang langit-langit, dinding, dan jendela dipasang aksen kayu membujur yang membuat tingginya langit-langit tersamarkan, serta ciri kekunoan jendela hilang tertutupi.

Jangan lewatkan juga melihat laboratorium. Di sana ada balkon kayu yang menempel ke tiga sisi dinding. Balkon ini sekadar tempat berdiri bagi yang ada keperluan mengambil/meletakkan sesuatu di lemari gantung yang ditempelkan di dinding atas, nyaris menyentuh langit-langit.

P3GI, P3GI pasuruan, industri gula pasuruan, gula pasuruan, POJ pasuruan
Rumah jabatan Kepala P3GI. (Foto: Silvia Galikano)

Pengunjung dibolehkan naik, melihat lemari tua berikut labu dan stoples kaca di dalamnya. Karena balkon sempit dan jalan naik/turun hanya ada satu tangga yang lumayan curam, maka yang naik sebaiknya maksimal dua orang.

Bangunan lain yang masih mempertahankan sebagian besar bentuk aslinya adalah rumah jabatan direktur P3GI yang juga berada paling luar, sederet aula. Ada beberapa anak tangga di kanan dan kiri untuk naik ke teras rumah. Pintu depan dan empat jendela yang mengapitnya sudah diganti pintu dan jendela kaca. Jendela lama, berterali besi dan berdaun jendela jalusi (krepyak) kayu, tersisa di dua ruang yang jendelanya menghadap depan.

Di sinilah direktur-direktur POJ sejak era Hindia Belanda hingga kini bertempat tinggal. Pengunjung hanya diperbolehkan melihat-lihat dari luar karena rumah ini masih dihuni direktur dan keluarga. Jika ingin melihat bagian dalam diperlukan surat-menyurat resmi terlebih dahulu.

***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Februari 2017

 cover_edisi_39-1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.