Tapak Pendekar Kunthaw di Parakan

omah tjandie gotong royong, parakan, louw tjeng tie, louw djeng tie, kunthaw parakan, kungfu parakan
Omah Tjandie Gotong Rojong didirikan pada 19 Januari 1919. (Foto: Silvia Galikano)

Rumah ini identik dengan nama pendekar kunthaw kenamaan awal abad ke-20, Louw Tjeng Tie. Jejaknya tersebar di sini, sampai sekarang, walau warisan kunthaw-nya tak kuasa melawan zaman, terkikis sedikit demi sedikit.

Oleh Silvia Galikano

Dua daun pintu utama rumah ini memuat karakter Mandarin yang artinya Bulu Burung Phoenix (mewakili sifat feminin) dan Telapak Kaki Qilin (mewakili sifat maskulin), lambang harmoni antara keperkasaan dan keindahan.

Di dua dinding terpisah, terpasang foto dua keluarga yang pernah dan yang sekarang memiliki rumah ini, Hoo dan Go.

Baca juga Rumah Dua Langgam di Lereng Sindoro-Sumbing

Nama resminya tertulis di atas gerbang, “Omah Tjandie ‘Gotong Rojong’”. Beratap pelana yang ditopang dengan dua kolom di teras depan. Berdiri di Jalan Demangan 16 Parakan, Kabupaten Temanggung, menghadap selatan ke arah gunung Sumbing.

pintu
Pintu utama Omah Tjandi, yang menghadap luar (kiri) dan menghadap dalam. (Foto: Silvia Galikano)

Didirikan Hoo Tiang Bie (1870-1922) pada 19 Januari 1919 di lahan seluas 2000 meter persegi. Pada 1990-an, keluarga Go membelinya setelah keluarga Hoo pindah ke Jakarta dan mengosongkan rumah di Parakan. Itu sebabnya, foto-foto lama keluarga Hoo dan keluarga Go dipasang di dua dinding terpisah.

Namun demikian, rumah ini dikenal karena di sinilah pendekar kunthaw Louw Tjeng Tie (1855-1921) dahulu tinggal, membuka perguruan, hingga wafat. Rumahnya terpisah dari rumah induk, berada di pojok depan halaman. Dia menumpang di rumah keluarga (saat itu) Hoo.

Di halaman, masih berdiri gelang-gelang besi setinggi 2,5 meter untuk melatih otot tangan dan perut.

Foto Louw Tjeng Tie bertopi baret hitam duduk memegang tongkat dipasang di dinding ruang dalam. Juga foto Tan Tik Sioe Sian alias Rama Moortie van Java (1884-1929), sang pertapa di gunung Wilis, Jawa Timur yang pernah singgah ke rumah ini dalam perjalanan ke Dieng karena mendengar ada jago silat tersohor di Parakan.

Rama Moerti memberi Tjeng Tie kenang-kenangan tongkat kayu cendana yang sekarang dipajang di lemari kaca.

Dalam dua rak, dijajarkan senjata peninggalan Tjeng Tie yang digunakan untuk berlatih, yakni tombak, trisula, dan toya; serta tongkat rotan yang dulu selalu dibawa Tjeng Tie.

Juga ada golok bernama “13 Pengawal” yang memiliki 13 lubang—uniknya tak boleh dihitung, menyimbolkan 13 pengawal yang melarikan diri dari Dinasti Song  (960 – 1279) di Tiongkok. Lubang terbesarnya melambangkan kepala pengawal.

Baca juga Ashadi, Artisan Pisau dari Parakan

Kakus tempat Louw Tjeng Tie bermeditasi
Kakus tempat Louw Tjeng Tie bermeditasi. (Foto: Silvia Galikano)

“Senjata ini aslinya memiliki cincin-cincin di tiap lubang, sehingga tiap kali digerakkan akan menimbulkan bunyi gemerincing. Sekarang, cincin-cincin itu sudah hilang semua,” ujar Eko Wardojo (Go Ik Hoa), 50 tahun, saat dijumpai di kediamannya di Parakan, awal Maret 2017.

Tiap bulan Suro, Eko memandikan senjata-senjata yang berunsur Kejawen, seperti keris, tombak dari Keraton Yogyakarta, dan tongkat peninggalan Rama Moerti.

Kakus tempat Tjeng Tie meditasi juga masih ada, hanya saja sekarang dilapis keramik dan diberi penerangan cukup. Selain untuk buang air, di kakus ini juga Tjeng Tie melakukan meditasi.

Bukan kakus leher angsa, melainkan sekadar lubang yang di bawahnya langsung ke selokan yang airnya mengalir deras karena posisi rumah di kemiringan.

Sang Garuda Mas
Louw Tjeng Tie/ Louw Djing Tie (1855-1921) adalah pendekar kunthaw dengan kemampuan bela diri yang tinggi, namun rendah hati. Dia lahir di Kampung Khee Thao Kee dekat Kota Hayteng/Haiting, Hokkian, Tiongkok, sekitar 1855 sebagai anak ke-2 dari tiga bersaudara.

Karena sejak kecil anak yatim piatu ini suka berkelahi dan hidup mereka susah, Tjeng Lian sang kakak perempuan, mengirimnya ke kuil Shaolin.

Pada tahun pertama di biara Shaolin, tugas Tjeng Tie hanya menggotong dua ember air dari gunung dengan tujuan memperkuat otot-ototnya. Setelah 6-7 tahun berguru di Shaolin, dia pulang dengan mengantongi keahlian silat, tenaga dalam, dan ilmu pengobatan.

Tjeng Tie melanjutkan berguru ke pendeta tua yang juga lulusan Shaolin, Biauw Tjien, cara menggunakan barang di sekitar sebagai senjata rahasia.

Contohnya, melemparkan uang logam ke kening lawan, meniup jarum dan kacang hijau hingga menancap di sasaran, serta tipu muslihat dengan selendang ikat pinggang yang jika dibanting, akan muncul hewan berbisa dari tanah.

Kepada guru ketiga, Kang Too Soe, Tjeng Tie belajar ilmu menyumpit, totok jalan darah, mengalirkan chi (tenaga murni) ke seluruh tubuh, serta ilmu pengobatan yang berhubungan dengan tulang.

Setelah 15 tahun keluar-masuk padepokan, Tjeng Tie muda mencari penghidupan di Hok Ciu, ibukota Hokkian. Saat itu, pemerintah setempat mengadakan seleksi guru kunthaw untuk dijadikan pelatih tentara dengan syarat mampu mengalahkan jawara mereka.

Adik seperguruan Tjeng Tie, Lie Wan, mendapat giliran menantang seorang guru kunthaw dari Shantung yang sudah mengalahkan lima orang lawan. Lie Wan terdesak oleh serangan berbahaya.

Demi melindungi adik seperguruan, Tjeng Tie segera masuk arena dan menendang kemaluan si guru kunthaw hingga tewas.

Tjeng Ti, Liem Wan, serta Tjeng Lian kakak Tjeng Ti melarikan diri ke selatan. Si kakak berpisah jalan menuju Thailand, sedangkan Tjeng Ti dan Liem Wan ke Singapura, tinggal di sebuah toko obat sambil mengajar kunthaw.

Liem Wan memutuskan menetap di negeri ini menjadi tabib, sedangkan Tjeng Tie meneruskan pelarian ke Batavia, dan jadi pedagang keliling di Toko Tiga, Glodok.

Tjeng Tie terus mencari penghidupan yang lebih baik dengan pindah ke Semarang, Kendal, Ambarawa, Wonosobo, baru kemudian ke Parakan. Dia diberi tempat tinggal oleh pedagang tembakau bernama Hoo Tiang Bie di Jalan Demangan 16 Parakan, menempati rumah kecil di sudut halaman.

Di halaman rumah ini Tjeng Tie membuka perguruan kunthaw Garuda Mas dan segera menarik belasan orang untuk jadi murid. Salah satunya adalah Hoo Tik Tjaij dengan nama panggilan Suthur, putra Hoo Tiang Bie.

Hoo Tik Tjaij jadi murid kesayangan dan diangkat anak oleh Tjeng Tie, diberi nama Hoo Liep Poen.

Memikul karma
Louw Tjeng Tie memiliki tiga sumpah, yakni berumur pendek, hidup miskin tapi tetap bisa makan, dan tidak berkeluarga. Namun di masa tua, Tjeng Tie terpaksa melanggar sumpah untuk tidak menikah. Dia menikahi seorang janda dari Wonosobo.

Louw Tjeng Tie dan murid-muridnya, Repro Silvia Galikano (2)
Louw Tjeng Tie dan murid-muridnya. (Dokpri Eko Wardojo)

“Murid-muridnya yang mendesak kong Tjeng Tie menikah agar ada yang ‘ngurus,” ujar Eko.

Setelah sang istri meninggal, Tjeng Tie menikah lagi namun kemudian istri kedua ini berselingkuh. Istri ketiga pun sakit jiwa.

Usahanya, yakni membuat obat-obatan Cina bermerk  Garuda, payah di pasaran. Dia pun lamur (rabun) setelah jadi pemadat.

Tjeng Tie menganggap kesialan demi kesialan tersebut adalah hukuman Tuhan atas kesalahannya di arena pertarungan di Hok Ciu dahulu dan dia tak henti menyesali perbuatan yang dianggapnya tak ksatria.

Suthur merawat Tjeng Tie di akhir masa hidupnya hingga wafat di Parakan pada 1921 dalam usia 66 tahun dan tak berketurunan. Konon, ilmu yang mampu menyembunyikan kemaluannya saat bertarung, membuat Tjeng Tie mandul.

Dia dikubur bersama tongkat dan selendang ikat pinggang kesayangannya, di kaki gunung Manden, di pinggir Parakan.

Sewaktu makam Tjeng Tie dipindahkan dari kaki ke puncak bukit pada 1979-1980, konon, kerangka dan tongkatnya masih utuh. Banyak kalajengking besar dan merah keluar dari kuburan, diyakini merupakan pertanda ilmu ikat pinggangnya sudah mulai punah.

Sepeninggal sang guru, Garuda Mas bubar. Suthur mengajarkan ilmu yang didapat dari Tjeng Tie ke dua anaknya, Hoo Kiong Nio dan Hoo Han Bien.

Eko yang merupakan putra dari pasangan Go Kiem Tong (1937-2005) dan Tjan Khing Ay Ribkah (1939-2015) adalah cicit Suthur. Anak perempuan Suthur, Hoo Kiong Nio menikah dengan Go Ping Koei, yang kelak melahirkan Go Kiem Tong, ayah Eko.
silsilah2
Sepenuturan Eko, dahulu senjata untuk berlatih kunthaw jauh lebih banyak dari yang sekarang dipajang di Omah Tjandie. Penyebab pertama berkurangnya senjata adalah tiap kali selesai berlatih, murid-murid Tjeng Tie dan Suthur meminjam senjata untuk dibawa pulang dan tidak dikembalikan.

Penyebab kedua, pada zaman Jepang, Suthur mengubur senjata-senjata di halaman karena Jepang melarang penduduk menyimpan senjata tajam.

Seorang karyawan tetangga yang sedang membetulkan genting melihat Suthur menggali tanah dan membenamkan senjata. Dia melaporkan peristiwa itu ke pejabat Jepang yang membuat Suthur diinterogasi dan senjata-senjatanya dirampas.

Omah Tjandie
Di halaman belakang yang tadinya digunakan untuk produksi Jamu Garuda, pada 1930 dibangun rumah menghadap Jalan Gambiran. Di rumah ini, ibunda Eko memproduksi bolu kering cap Tomat yang masih diproduksi sampai sekarang walau dua tahun lalu sang ibu berpulang.

Omah Tjandie Gotong Rojong sebelum renovasi, Repro Silvia Galikano (2)
Omah Tjandie Gotong Rojong sebelum renovasi. (Dokpri Eko Wardojo)

Pada 1980, rumah leluhur direnovasi, sekadar memperbaiki eternit serta mengecat dinding, pintu, dan jendela.

Baru pada 2013 keluarga Go membuat renovasi besar-besaran tanpa mengubah bentuk rumah. Lantai yang asalnya semen, dilapis keramik; kamar-kamar ditambahkan jendela dengan bukaan ke samping; serta tripleks yang sebelumnya jadi dinding membentuk kamar depan, dicopot, sehingga lapang.

Setelah renovasi rampung, 12 Juni 2015, Eko memberinya nama Omah Tjandie “Gotong Rojong”. Omah Tjandie berarti rumah utama tempat berkumpul keluarga besar, sedangkan Gotong Rojong diambil dari penggalan nama dua bersaudara yang membeli rumah ini, yakni Go Kiem Tong dan Go Kiem Jong.

Seluruh pintu rumah kini sengaja dibuka 24 jam dan lampu menyala kala malam agar tak seram dan lembap, mengingat rumah pernah bertahun-tahun kosong. Tiap Sabtu-Minggu, gerbang pun dibuka 24 jam.

Tempat tinggal Louw Tjeng Tie di sudut depan halaman masih ada, hanya saja kini masih dikontrak orang lain sebagai rumah tinggal selama 10 tahun sampai Agustus 2019.

Ilmu bela diri Louw Tjeng Tie masih diteruskan Eko dan dua sepupunya. Parem dan minyak gosok bermerk Garuda dengan foto Louw Tjeng Tie sudah berhenti diproduksi pada 2015.

Pasalnya, belakangan, semakin banyak bahan yang sudah diganti, tak seasli resep Tjeng Tie, akibat kesulitan mendapatkan bahan selain banyak bahan yang belakangan jadi punah dan terlarang digunakan, misalnya tulang macan, yang terpaksa diganti minyak cengkih.

Sebagai kenang-kenangan bahwa pernah ada obat-obatan merk Garuda, di lemari kaca, dipajang minyak gosok, pastilles, dan parem produksi terakhir tahun 2015.

Di sana disimpan pula alat-alat membuat jamu serta botol-botol untuk menyimpan bahan jamu. Eko juga masih menyimpan buku resep asli tulisan Suthur dari ucapan Tjeng Tie.

Untitled
Di makam Louw Tjeng Tie di Gunung Manden, pinggir Parakan. Ki-ka: Rudy, Andipo, Sutrisno Murtiyoso & Nyonya, saya.

***

Dimuat di majalah SARASVATI edisi Mei 2017

Cover_Edisi_42 kecil

8 Replies to “Tapak Pendekar Kunthaw di Parakan”

  1. Perguruan Garuda Emas (Shao Lim Cing Ing Men) warisan suhu Lauw Djing Tie belum bubar. Masih ada penerusnya hingga saat ini di kota Semarang.

  2. Bu Silvia, apakah ada nomor telepon dari Omah Tjandi yang dapat dihubungi?
    Saya pernah kesana sekitar 2 tahun lalu, tapi tidak sempat minta nomor teleponnya juga.

    Terima kasih.

Leave a Reply to Nathan Deng Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.