Rumah Singa di Pasuruan
Rumah yang dibangun pada 1825 itu berlanggam Indis. Awalnya milik orang Belanda, lalu pada 1840-an dibeli Tan Kong Seng, seorang Kapiten Tionghoa.
Oleh Silvia Galikano
Kejayaan industri gula Pasuruan pada abad ke-18 dan ke-19 memberi kekayaan dan kekuatan penting bagi kelompok pengusaha Tionghoa melalui manajemen ladang tebu dan penggilingan tebu.
Tombe, pengelana asal Prancis yang mendatangi kota ini pada 1803 mengatakan kawasan Pecinan Pasuruan sangat luas dan penduduknya mencapai sepertiga dari isi kota.
Sepanjang paruh kedua abad ke-18, beragam bupati menyewakan tanah ke orang-orang Tionghoa yang menjalankan penggilingan tebu. Di antara mereka adalah Han dari Surabaya dan Kwee (Guo) dari Semarang yang menjadi pengusaha terkemuka di Jawa Timur.
Baca juga Cerita Gemilang Industri Gula Pasuruan
Claudine Salmon dalam Chinese Epigraphic Materials in Indonesia (1997) menuliskan, Han Jilang atau Han Kik Long atau Han Kik Ko (1766-1813, sumber Barat kerap salah tulis menjadi Han Tik Ko), putra Kapiten Tionghoa Surabaya Han Bwee Kong, adalah salah satu tuan tanah pertama yang mulai membuat perkebunan tebu.
Han Kik Ko punya tanah hingga ke bagian selatan Surabaya dan menyewa lahan di dekat karesidenan Pasuruan. Dia juga kemungkinan menjadi Kapiten Pasuruan sebelum menjadi Mayor Probolinggo.
Menurut R. E. Elson seperti dikutip Salmon, “Pada 1808 tak kurang 12 desa dan 2.538 penduduk, yang disewakan pemerintah ke Han.”
Baca juga Istana Bale Kambang, Lakon Tragis Raja Gula
Pada awal abad ke-20, Antoine Cabaton mencatat, “Rumah-rumah bagus yang dibangun orang Eropa akhirnya dihuni masyarakat Tionghoa. Itu sebab Pecinan di kota ini punya penampilan mewah, beda dengan di tempat lain.”
Orang-orang Tionghoa kaya di Pasuruan juga membangun rumah-rumah megah yang memasukkan elemen Tionghoa dan gaya Indis yang saat itu sedang tren.
Baca juga Kota Apung, Masa Depan Kita?
Hubungan dengan luar negeri pun cukup lancar. Pelabuhan Pasuruan digunakan untuk mengekspor hasil perkebunan selama Cultuurstelsel sampai akhir abad ke-19.
Lewat pelabuhan ini pula semua bahan bangunan dari luar negeri didatangkan, kecuali pasir, bata, dan kapur. Sebagian besar digunakan untuk membangun rumah-rumah mewah di Kota Pasuruan.
Salah satu peninggalan kejayaan gula Pasuruan adalah rumah keluarga Kwee yang dikenal dengan sebutan Rumah Singa karena di depan rumahnya terdapat dua patung singa. Letaknya di Jalan Hasanudin No. 11-14 Pasuruan, di lahan seluas satu hektare, berseberangan dengan Gedung Pancasila
Rumah yang dibangun pada 1825 itu berlanggam Indis. Awalnya milik orang Belanda, lalu pada 1840-an dibeli Tan King Soen, ayah dari Letnan Tionghoa Pasuruan Tan Kong Sing (1893 – 1903).
Renovasi dilakukan pada 1860 dengan mendatangkan lantai marmer dan pagar besi dari Italia. Kolom-kolom berbahan bata diganti dengan besi tuang yang mulai populer pada akhir abad ke-19.
Pada 1937, rumah tersebut ditempati keluarga Kwee, seiring pindahnya Kwee Khoen Ling ke rumah keluarga istrinya, Tan Hing Nio, setelah Khoen Ling bankrut dan rumah keluarga Kwee dilego ke Javasche Bank. Patung singa pun ditambahkan di halaman depan dengan harapan rumah akan selalu aman terjaga. Patung ini sebelumnya ada di halaman rumah keluarga Kwee yang kemudian dikenal dengan nama Daroessalam.
Baca juga Daroessalam, Rumah Gula di Pasuruan
Sekarang, fungsinya masih tetap rumah tinggal keluarga Kwee. Walau termasuk bangunan cagar budaya, namun karena milik perorangan, bukan milik Pemkot Pasuruan, bangunan bersejarah ini tertutup untuk aktivitas wisata. Wisatawan hanya dapat melihat dari luar pagar.
***
Dari perjalanan ke Pasuruan, 18 Agustus 2015
jadi inget, dulu waktu bapak masih di pabrik gula saya tinggal di komplek2 seperti ini 🙂
pasti menarik ya
wahhh gak sengaja nemu blog mbak… saya tertarik banget dengan catatan perjalanan mbak ke rumah-rumah tua dan melihat cerita yg pernah terjadi disana… 🙂
terima kasih, senang kalau ada yang suka, semoga berguna.
Senangnya dengan catatan catatan mba…saya selalu jatuh cinta dengan rumah rumah tua, barang barang antik…jika menyentuhnya rasanya setiap bagianya selalu ada cerita…sungguh mengobati atas kerinduan masa lampau..saya dulu kebetulan besar di rumah kuno cantik yang memiliki banyak sejarah…sayangnya..sekarang rumah tersebut sudah tak berbekas dan di boyong pembeli ke luar daerah..hiks hiks..jadi kangen…trus berkarya ya mba..ditunggu catatanya..
terima kasih, anita sudah baca.
saya belum pernah tinggal di rumah tua.
rumah seorang kawan dulu adalah rumah tua, villa peristirahatan tentara belanda, ada bunker-nya.
kami main kejar-kejaran di halamannya, lanjut metik jeruk nipis untuk dibuatkan minuman jeniper dingin oleh ibunya.
sekarang rumah itu sudah jadi pabrik.