Makna Tersirat Sebuah Narasi Baru

Triyadi Guntur Wiratomo, Between The Line
Pameran tunggal Triyadi Guntur Wiratomo,“Between The Line”, yang diadakan Rachel Gallery di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 11—23 April 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Sejarah selalu jadi benang merah karyanya. Meski seperti berkisah, karya-karya Guntur tetap tidak memiliki kepastian makna.

Oleh  Silvia Galikano

Karya bagaimana yang terbayangkan dari seorang ilustrator yang menyukai sejarah? Ada selipan sejarah dalam karyanya? Pasti. Tapi bagaimana eksekusinya, ada panjang ceritanya.
Ilustrator yang dimaksud adalah Triyadi Guntur Wiratomo, seorang seniman, peneliti, sekaligus dosen jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).
Sebagian besar karya Guntur kental akan nilai sejarah dan ideologi. Dia gemar mencermati narasi

kemanusiaan yang diceritakan sejarah melalui gambaran sosok pahlawan, idola, atau tokoh-tokoh. Sejarah, baginya, tak hanya tentang (ilmu) pengetahuan melainkan juga soal pembentukan persepsi nilai, karenanya akan selalu menampung misteri.

IMG_20170413_124922
Triyadi Guntur Wiratomo, “Perjuangan: Kesabaran Adalah Bumi”, 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Dalam pameran tunggal “Between The Line” yang diadakan Rachel Gallery di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 11—23 April 2017, Guntur, misalnya dalam tiga seri karya Perjuangan, menyandingkan dua kanvas—dua frame “direkatkan”.

Kanvas pertama, bermedia akrilik dan grafit (graphite), menggambarkan pahlawan perempuan dalam pose yang kita kenal. Kanvas kedua, kesan yang melekat tentang si tokoh, Guntur ekspresikan lewat benang yang dijahitkan dengan teknik sulam di atas kanvas.

Ambil contoh Perjuangan: Kesabaran Adalah Bumi (2017) yang menyandingkan lukisan sosok Inggit Garnasih dengan kursi. Seutas tali menjuntai di lantai dari tangan Inggit dan berujung di kaki kursi.

Apa makna kursi di sini? Kekuasaan? Kekuasaan siapa? Bahwa dulu Inggit pernah mengantarkan Bung Karno ke ujung kemerdekaan RI? Atau ini simbol kekuasaan Inggit memilih bercerai dari Bung Karno karena menolak dimadu? Atau kursi kosong belaka? Segala tafsir boleh saja, toh pengetahuan manusia akan selalu terbuka pada perubahan persepsi mengenai sejarah.

Guntur bermain dengan citra-citra yang tersedia. Dan melalui pemahaman sosial dan politis menghasilkan narasi baru yang berbeda, bahkan seringkali beroposisi dengan narasi-narasi umum yang sudah mapan, yang ditampilkan secara satire.

IMG_20170413_125206
Triyadi Guntur Wiratomo, “Lost in Fiction: Getting Pretty, Dear Kamerad”, 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Pria kelahiran Kudus tahun 1974 itu bisa-bisanya menjadikan Mao Zedong yang klimis sebagai tukang cukur bagi Karl Marx yang berambut gondrong dan kusut dalam Lost in Fiction: Getting Pretty, Dear Kamerad (2017). Uniknya, kepala Marx adalah lukisan perangko Uni Soviet (CCCP) berwarna merah bergambar kepala Marx yang “ditempelkan” ke gambar hitam putih tubuhnya.

Jika kepala Marx adalah lukisan perangko, kepala Bung Karno dalam seri Postcard from the Past (2010) adalah benar-benar menggunakan perangko 10 sen yang ditempelkan ke tubuh Bung Karno yang digambar dengan medium grafit.

Dari sisi teknik, lukisan-lukisan Guntur cenderung menekankan kekuatan gambar (drawing) meski ada juga teknik melukis dengan cat minyak dan teknik sulaman benang. Penggabungan teknik-teknik tersebut juga adalah cara menunjukkan kontras, serta betapa gambar dengan kekuatan garis-garis memiliki peran penting.
IMG_20170413_125647
Lukisan-lukisan “potret” karyanya tidak digambarkan sebagaimana kebiasaan adanya gambar potret. Sikap tubuh mereka penuh makna.

Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani menjelaskan dalam catatan kuratorialnya bahwa ini menunjukkan sikap-sikap tubuh yang tengah “bercerita” dan mencoba mengkomunikasikan sesuatu atau berbagai hal kepada tiap-tiap orang yang memperhatikannya. Sikap-sikap itu bisa saja menggeser persepsi seseorang tentang para tokoh itu keluar dari narasi sejarah yang umum.

Dalam penggalan video yang diputar di ruang audiovisual, Guntur menyebut sejarah selalu jadi benang merah karyanya, dan riset selalu masuk dalam proses berkarya, sama ketatnya dengan studi sejarah.

Metode berkaryanya dianggap lebih dekat dengan kajian (pengalaman) psikologis yang salah satu peran pentingnya adalah imajinasi. Tesisnya pun mempertanyakan narasi besar sejarah melalui eksperimentasi closure (ketertutupan). Closure, diambil dari teori psikologi, adalah sesuatu yang tidak ada hubungannya tapi imaji/pikiran kita mencoba melengkapinya.

Closure-nya dari perangko yang saya coba teruskan badannya. Saya coba lengkapi yang belum lengkap (sehingga) jadi satu konteks ruang dan waktu. Ketika pola closure itu saya pakai, orang melihat ada dialog di karya itu,” ujar Guntur.

IMG_20170413_125805
Triyadi Guntur Wiratomo, “Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata”, 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Meski seperti berkisah, karya-karya Guntiur tetap tidak memiliki kepastian makna. Dia justru secara aktraktif mengundang respon tiap orang yang menikmatinya agar turut meraih berbagai makna yang mungkin muncul. Menemukan dan menikmati kesimpulan sendiri. Pasalnya bahasa ekspresi seni memang tak biasa karena ia berusaha melampaui pengalaman hidup normal keseharian.

“Bagi saya,” lanjut Rizki, “Guntur sedang mengkomunikasikan sejenis pengertian, kesimpulan, atau cara-cara penerimaan tertentu mengenai persoalan yang tengah berkembang kini yang tak mudah dijelas-jelaskan.”

Karenanya judul “Between The Line” tak hanya bermakna idiomatik sebagai “sesuatu yang tersirat”, untuk melihat apa yang tak terlihat di lukisan-lukisan Guntur. Lebih jauh lagi, ini soal pengalaman menikmati ketertiban, harmoni, dan keterampilan menumpukkan garis-garis yang dilakukannya secara intens, sesuatu yang tersurat dari karya-karyanya.

Gambaran yang Guntur sajikan tak cukup hanya mengundang jawaban bahwa seseorang telah mengenal dan mengetahui persoalannya. Ekspresi yang tersurat dari tiap-tiap karya justru terus memancing seseorang untuk mengenal dan merasakan apa yang tersirat.

***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Mei 2017

Cover_Edisi_42 kecil

 

One Reply to “Makna Tersirat Sebuah Narasi Baru”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.