Mengiring Cetak Saring Sunaryo

Dinding-dinding kosong pun diisi karya grafis dengan pertimbangan teknik ini paling mudah dipelajari, termasuk oleh punggawa Decenta yang beragam-ragam latar belakang.
Oleh Silvia Galikano
Sunaryo tak pernah ketat membatasi kegiatan seni sepanjang 45 tahun perjalanan kesenimanannya. Rentang karyanya dari seni lukis, cetak grafis, patung, monumen, elemen estetis interior, panggung teater, poster, tapestri, hingga instalasi.
Pun dia tak membatasi diri dengan hanya menggunakan satu material tertentu sebagai medium karya, sebab setiap material memiliki karakter serta kekuatan yang spesifik dalam wujud bentuk, tekstur, warna, dan dimensi.
Kepiawaian Sunaryo mengolah seluruh elemen dasar secara proporsional buah dari paduan pengalaman masa kecil, pendidikan yang ia tempuh, serta perjalanan yang ia lalui bersama Kelompok Decenta di Bandung.

Keikutsertaan karya cetak saring Sunaryo dalam beberapa pameran seni grafis di Eropa, Asia, dan Amerika sejak 1970 membuatnya dikenal di mancanegara sebagai pegrafis. Sedangkan di dalam negeri, Sunaryo justru dikenal sebagai pelukis.
Karya-karya awal cetak saring Sunaryo ini yang dipamerkan di Ruang Sayap Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 16 Mei – 3 Juli 2017, dalam tajuk “Titik Awal: Cetak Saring Sunaryo 1973 – 1983”. Selain mengenang kembali apa saja yang sudah Sunaryo kerjakan sampai hari ini, melalui pameran yang dikurasi Chabib Duta Hapsoro, pengunjung diajak mereka-reka ke arah mana karya Sunaryo berikutnya.
Pada 1973, A.D. Pirous, Gregorius Sidharta, Adriaan Palar yang sama-sama berlatar belakang Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) membentuk Decenta (Design Center Association).
Pirous adalah pelukis dan pengajar di Studio Lukis dan Desain Grafis, Sidharta pematung dan pengajar di Studio Patung, sedangkan Adriaan lulusan Studio Desain Interior dan pimpinan Propelat, perusahaan konstruksi swasta yang berlokasi Bandung.

Saat itu tengah hangatnya isu mempertanyakan kembali kebudayaan nasional. Pirous baru kembali dari Amerika. Kerinduan terhadap kebudayaan nasionalnya, terutama budaya tradisi Aceh, tersentak sewaktu dia melihat pameran di The Metropolitan Museum of Art di New York.
Semangat itu dia bawa ke sini, lalu mengajak teman-teman yang sekiranya satu napas. Karenanya, tekad sekelompok orang ini adalah menggali kebudayaan Indonesia, sebuah kesadaran akan bumi yang mereka pijak.
Ketiga orang tersebut kemudian mengajak T. Sutanto yang pengajar di Studio Desain Grafis, Sunaryo yang pengajar di Studio Patung, dan Priyanto Sunarto yang lulusan Studio Seni Grafis dan asisten dosen.
“Kala itu, kurikulum kampus masih sangat ketat, yang dituduhkan orang ke-Barat-baratan. Padahal ke-Barat-baratan yang universal bukan merupakan sesuatu yang kurang selama tahu betul di situ bisa menggali apa saja,” ujar Sunaryo dalam penggalan video yang diputar di ruang pamer.
Maka personil Decenta melakukan penggalian dengan caranya masing-masing. Pirous lebih ke Aceh, Sutanto ke cerita rakyat di Jawa, Priyanto tentang peristiwa di sekitarnya, dan Sunaryo cenderung ke garis-garis primitif dari Papua (Irian), Batak, dan Mentawai.

Decenta dapat bertahan hidup pada masa itu, periode ke-2 era Suharto, tak lepas dari pembangunan yang sedang menjadi-jadi dan begitu banyak ruang kosong yang perlu diisi dengan karya seni. Decenta akhirnya membuat studio untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dinding-dinding kosong pun diisi karya grafis menggunakan teknik cetak saring (sablon) dengan pertimbangan teknik ini paling mudah dipelajari, termasuk oleh punggawa Decenta yang beragam-ragam latar belakang.
Sewaktu cetak saring selesai diproduksi, tur pun dibuat ke Jakarta (TIM), Bandung (Gelanggang Remaja), Yogyakarta (Galeri Seni Sono), dan Surabaya memamerkan karya yang sama, yakni 99 karyaPirous, Sunaryo, Sidharta, Sutanto,Priyanto, dan belakangan dilibatkan pula seorang asisten dosen yang masih muda, Diddo Kusdinar.
Tiap kota memberi respons berbeda. Di Jakarta, karya mereka 60 persen terjual, terutama oleh pegusaha muda, karena harganya terjangkau. Di Bandung 15 persen, di Yogya 5 persen, dan di Surabaya nyaris tidak ada.
“Itu tahun 1975, sekarang mungkin terbalik. Tapi ini jadi semacam parameter, di antara kami bersaing dan menemukan diri masing-masing.”

Dari konflik
Penemuan Sunaryo terhadap garis-garis primitif, begitu dia beristilah, berawal dari “konflik”. Pria 74 tahun ini walau berasal dari Purwokerto yang relatif dekat dengan Borobudur dan sejak kecil sudah melihat Borobudur, merasa tidak terkesan secara nurani, hanya terkesan secara visual terhadap candi tersebut.
Ditambah lagi, saat bekerja dengan media dua dimensi, dia menemukan garis, kolase, sehingga, dengan dikendalikan intuisi, lama-lama bersinggungan dengan garis-garis khas Papua, Maluku, Batak, Mentawai, bahkan Aborigin yang sampai sekarang dia sukai.
Karena Aborigin secara geografis berada di luar Indonesia, Sunaryo mengakali judulnya agar menjadi Indonesia, jadilah Citra Irian. “Padahal di pikiran saya tidak ada batasan itu. Seniman tidak bisa dibatasi teritorial, apalagi isu politik,” ujarnya.

Pada 1970-an dan 1980-an dia membuat seri Citra Irian setidaknya 19 karya dan sebagian dipamerkan di “Titik Awal”. Warna tanah yang mendominasi dengan ornamen pola berulang, antara lain lingkaran, berwarna hitam-putih khas karya seni primitif.
Teknik cetak saringnya pun tak muluk-muluk, seperlunya saja dan yang sekiranya cocok. Bahkan pada masa awal dia lebih banyak mencontoh. Dari membuat drawing, drawing itu difoto, foto itu menjadi klise foto, baru kemudian dipindahkan ke screen.
Seiring waktu, dia meniadakan foto, langsung menggunakan kaca dan bahan yang bisa menempel di kaca, lalu digores (scratch) langsung. Kala lain, kertas dicampur cairan-cairan, baru digores.
“Jadi muncul teknik sendiri. Saya percaya, kalau ditekuni akan kita temui teknik-teknik yang paling cocok dengan diri kita,” kata Sunaryo.
Dengan garis dan warna, akhirnya Sunaryo membuat karya tiga dimensi dalam bentuk batu dan kayu. Segala yang alami dia suka, memperlakukan batu sebagai batu dan kayu sebagai kayu, juga aplikasi warna kapur, warna tanah, dan warna karang.
Semasa bekerja pada periode 1975-1980, Sunaryo juga mendapat sesuatu tentang massa dan garis yang dia terapkan hingga pada karya terakhirnya, Wot Batu yang merespons bentuk batu dengan garis, penjelajahan atas material batu yang masih berlangsung hingga kini dalam bentuk seni instalasi.
“Dengan mempertahankan karakter dan kekuatan dari setiap materi yang ia gunakan, karya-karya Sunaryo mampu menyampaikan pesan tanpa mendikte, puitis, dan tegas dalam penyampaian serta cerdas dan elok dalam penyusunannya,” tulis Chabib dalam pengantar kuratorialnya.
Garis, bidang, volume, dan warna merupakan elemen dasar pembentuk sebuah komposisi visual sebuah karya seni rupa. Melalui kepekaan Sunaryo, lanjut Chabib, seluruh elemen dasar tersebut seakan mengimbangi, menyatu, dan berkembang menjadi sebuah bentuk baru di karya-karyanya, penggugah batin hingga penyampai pesan yang baik.
Melalui sikap hidupnya yang menjunjung tinggi kesederhanaan, kerendahan hati, serta kepedulian terhadap sekitar, Sunaryo mampu menggubah karya dalam berbagai media yang terkesan megah dan membumi.
Respon terhadap persoalan lingkungan, sosial, politik, kebudayaan, kemanusiaan, dan spiritualitas ia hadirkan secara lugas tanpa mengurangi kehalusan bertutur melalui visual. Karenanya Sunaryo dikenal sebagai seniman dengan karya-karya yang menyentuh, merenungi serta memayungi berbagai dimensi kehidupan.
***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Juli 2017
One Reply to “Mengiring Cetak Saring Sunaryo”