Sarang Garuda, Epos Keluarga Oei

Operasi Kian Gwan bersifat mendunia. Pada akhir abad ke-19, ketika Jawa perlu mengimpor beras dalam jumlah besar, Oei Tjie Sien mengadakan hubungan dengan luar negeri dan menjadi pengimpor beras.
Oleh Silvia Galikano
Sudah tak ada kemegahan yang tampak, hanya tinggi, lebih tinggi dari rumah-rumah di sekeliling. Bangunannya dua lantai. Lantai 1 dari bata dengan kolom-kolom di teras depan dan belakang, sedangkan lantai 2 adalah dinding kayu kusam yang sudah tak ada jejak catnya dengan jendela-jendela lowong kehilangan daun jendela.
Ada tiga tangga semen menuju teras bangunan, satu di tengah dan dua di sudut, masing-masing dengan 10 anak tangga. Jelas sekali inilah seharusnya bagian depan bangunan. Namun ternyata untuk menemui penghuni bangunan ini harus memutar dulu, ke “belakang”.
Baca juga Rumah Jenderal di Jatinegara

Masyarakat menyebut bangunan ini Gedong Dhuwur (bahasa Jawa yang berarti bangunan tinggi). Di sana saya bertemu Warni, 87 tahun, salah satu generasi pertama yang menempati, pada 1961, setelah Gedong Dhuwur dikuasai Kodam IV Diponegoro.
Suaminya, alm. Radji, saat itu anggota TNI AD berpangkat kopral satu, baru saja pindah dari Jakarta setelah sebelumnya berdinas di Pasuruan, lantas ke Surabaya. Warni pun turut.
Kodam Diponegoro menyediakan bangunan di bukit Penggiling, kawasan Simongan, Semarang sebagai asrama (mess) TNI AD. Sekarang, alamat tempat ini Jl. Pamularsih Dalam III, Semarang.
Baca juga Istana Bale Kambang, Lakon Tragis Raja Gula
Kala itu, hanya ada tiga kepala keluarga yang menempati, termasuk Radji. Setelah itu penghuni bertambah, yakni kawan-kawan Radji dari batalyon yang sama.

Warni menyebut beberapa nama yang dia ingat, yakni Masruki, Sadit, Sujud, Bajuri, Waras, Leman, Bunut, dan Giyat. Tentara yang sudah berkeluarga menempati lantai bawah, sedangkan lantai atas dihuni bujangan. Untuk perwira ditempatkan di bangunan terpisah.
Warni menceritakan bagaimana kondisi tempat ini sewaktu dia baru masuk. Bangunan ini berdiri di puncak bukit dikelilingi kuburan Tionghoa yang sebagian terawat, sebagian sudah ditutup alang-alang tinggi.
“Saya sempat marah ke bapak. Kami pindah dari Jakarta, dari mess di Mampang. Biasa di tempat ramai, begitu ke Semarang kok tinggal dekat kuburan begini.
“Di sini dulu banyak pohon asam, kelengkeng. Banyak juga celeng liar. Begitu magrib, semua pintu ditutup. Sepi sekali,” Warni menuturkan saat dijumpai di kediamannya pada akhir Maret 2017.
Warni menikah dengan Radji pada usia 14 tahun. Mereka punya tiga anak, 12 cucu, dan tujuh cicit.
Baca juga Rumah Kiagus Husin, Karya Bung Karno di Bengkulu
Sarang Garuda

Keberadaan Gedong Dhuwur erat kaitannya dengan sosok Oei Tjie Sien (1835-1900), pendiri usaha dagang Kian Gwan di Semarang dan ayah Oei Tiong Ham (1866 – 1924).
Pada paruh kedua abad ke-19, persil Simongan yang membentang dari bukit Penggiling hingga petilasan Sam Poo Kong (klenteng Gedong Batu), dikuasai tuan tanah etnis Armenia bernama Joseph Johannes (1778 – 1835).
Sebuah landhuis berdiri di puncak Penggiling dengan pemandangan ke Kota Semarang, klenteng Gedong Batu, pelabuhan, dan Gunung Ungaran. Oei Tjie Sien sudah berupaya membelinya sejak 1875, namun baru tiga tahun kemudian seluruh lahan Simongan milik Johannes berhasil dia beli. Landhuis itu pun dia tempati.
Baca juga Rumah Karawaci, Sebelum Tinggal Puing
Oei Tjie Sien segera membuka akses klenteng Gedong Batu agar dapat dikunjungi masyarakat Tionghoa karena sebelumnya dipagari Johannes, yang untuk memasukinya musti bayar cukai mahal. Sepanjang 1878 – 1879 Oei Tjie Sien memperbaiki infrastruktur dan memugar klenteng, dan tahun berikutnya dia mulai mempersiapkan makamnya.
Oei Tjie Sien lantas membangun rumah di puncak bukit Penggiling dengan mengadopsi langgam Indis dan Tionghoa serta menerapkan penghitungan feng shui. Belum diketahui, apakah bangunan baru ini tepat di titik landhuis Johannes berdiri ataukah bergeser dari sana. Rumah baru itu diberi nama Sarang Garuda atau Eagle Nest.


Ndaru Hario Sutaji dalam tesisnya berjudul Tata Ruang Gedong Dhuwur di Kawasan Bersejarah Simongan Semarang (2005) menjelaskan bahwa ruang induk Sarang Garuda berlantai dua, menghadap selatan. Serambi depan (di selatan) memiliki bukaan pintu dengan daun pintu ganda.
Baca juga Rumah Karawaci, Ketika Waktu dan Pilihan Menipis
Lantai 1 ditutup ubin terakota 30×30 cm yang dipasang diagonal dan masih dapat dijumpai sampai sekarang. Kolom-kolom di serambi depan bersambung ke serambi belakang, menyokong balkon dengan konstruksi besi dan kayu yang mengelilingi lantai 2. Lantai 2 berlantai kayu yang juga jadi plafon bagi lantai 1.
Selain bangunan induk, terdapat sejumlah bangunan lain pendukung, yakni paviliun, garasi kereta, gudang logistik, rumah pelayan, dapur, kandang kuda, dan rumah penjaga. Tidak ada selasar yang menghubungkan rumah induk dengan bangunan-bangunan pendukung.

Pada 1892 selesailah dua akses jalan dari bawah (sebelumnya hanya satu) menuju Sarang Garuda, yakni dari barat yang dapat dilewati kereta kuda dan jalan setapak terjal dari selatan, serta calon makam yang sudah lama jadi.
Sejak istrinya meninggal pada 1896,Tjie Sien lebih banyak menghabiskan waktu di tempat ini, dan hampir jarang turun ke Semarang, hingga wafat pada 1900. Sarang Garuda juga jadi tempat sang putera, Oei Tiong Ham, mengontrol bisnisnya sambil melihat pelabuhan dan memperhatikan kapal-kapal yang sedang bongkar-muat.
Singkeh ulet
Oei Tjie Sien adalah imigran dari Provinsi Fukien, Tiongkok yang mendarat di Semarang pada 1858 dalam usia 23 tahun. Di Tiongkok, dia belajar kesusastraan dan terlibat dalam Pemberontakan Taiping (1850 – 1864) yang dipimpin Hung Hsiu Ch’uan.

Perannya sebagai perwira bagian logistik, yang bertanggung jawab atas pasokan sandang dan pangan untuk kaum pemberontak membuatnya masuk dalam daftar hitam. Untuk menghindari ditangkap orang Manzhu, bersama gelombang penduduk Tiongkok yang meninggalkan negeri itu menuju Nanyang, dia melarikan diri menumpang jung. Istri dan anaknya (Oei Tiong Tjhian) terpaksa ditinggalkan.
Baca juga Tapak Pendekar Kunthaw di Parakan
Bersama saudaranya, Oei Sien Tjo dan Oei Tjo Pie, Oei Tjie Sien mendarat di Semarang. Oei Sien Tjo kemudian menetap di Parakan, sedangkan Oei Tjo Pie menetap di Surakarta dan berdagang di bawah nama Kian Gwan Hoo, namun tidak banyak yang diketahui tentang mereka.
Pada awal kehidupannya di Semarang, Oei Tjie Sien menjajakan piring dan mangkuk keramik Tiongkok serta produk rumah tangga dari pintu ke pintu di kampung-kampung. Pada masa itu, Semarang adalah pelabuhan terbesar dan menjadi pusat perdagangan di Jawa Tengah.

Usahanya lancar. Dia pun menambahkan jenis dagangannya dengan hasil bumi dari Jawa Tengah, seperti beras, gambir, dan wewangian yang menjadikan Oei Tjie Sien pedagang besar.
Onghokham dalam Anti-Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia (2008) menuliskan, hal ini terjadi karena kesanggupan Oei Tjie Sien menyesuaikan diri dan berasimilasi dengan masyarakat peranakan, sebab diperlukan modal dan jaringan dagang masyarakat peranakan.
Baca juga Hotel Besar, Cerita Tumbuhnya Purwokerto
Untuk mempertahankan keunggulan persaingan melawan pedagang Eropa, pada 1863, atau lima tahun setelah kedatangannya, Oei Tjie Sin mendirikan kongsi dagang bernama Kian Gwan, yang berarti “sumber kesejahteraan bagi semua”.
Dia membangun kongsi ini bersama orang luar bernama Ang, bukan bersama saudara-saudaranya, hal yang luar biasa bagi seorang singkeh. Bahkan Kian Gwan juga terdaftar di pemerintah setempat.
Setelah tinggal di Semarang untuk beberapa lama, Oei Tjie Sien menikahi Tjan Bien Nio (1839 – 1896), puteri pedagang. Perkawinannya sangat sederhana. Mereka beroleh dua anak, Oei Tiong Ham dan Oei Tiong Bing.
Tjie Sien menikah lagi untuk ketiga kali dan punya satu putera lagi, bernama Oei Tiong An. Anak ketiga ini nanti menikahi puteri dari pengusaha kaya dari Salatiga.
Baca juga Untuk Lasem, Roemah Oei Buka Gerbangnya
Operasi Kian Gwan bersifat mendunia. Pada akhir abad ke-19, ketika Jawa perlu mengimpor beras dalam jumlah besar, Oei Tjie Sien mengadakan hubungan dengan luar negeri dan menjadi pengimpor beras. Dia juga menanamkan uang secara besar-besaran dalam real estate.
Pada 1883 dia memenangi lelang sejumlah kekayaan milik Hoo Yam Loo, seorang pemegang izin penjualan candu, yang telah bangkrut tetapi belum cukup kaya untuk membeli hak penjualan candunya. Salah satu harta Hoo Yam Loo yang dia beli adalah Gedong Gergaji yang kemudian dihuni puteranya, Oei Tiong Ham.
Setelah itu, Tjie Sien yang doyan biskuit Belanda dan cognac, mengundurkan diri dari dunia bisnis dan mulai berkebun serta mengalihkan kegiatannya pada sastra. Sebelum meninggal, dia menunjuk Oei Tiong Ham sebagai penggantinya, walau banyak dari kekayaannya telah ia berikan kepada anak-anaknya yang lain.
Berpindah tangan
Setelah wafatnya Oei Tiong Ham pada 1924, tanah Simongan yang sangat luas mulai dipotong-potong dan dikuasai penduduk, termasuk area pemakaman. Pembebasan persil Sam Poo Kong juga terjadi pada periode ini.
“Sampai-sampai keluarga Oei Tiong Ham hendak mengambil lagi pun tidak bisa,” ujar tokoh Tionghoa Semarang Jongkie Tio.
Baca juga Hotel Candi Baru, Arti Sebuah Legitimasi
Pengadilan ekonomi di Semarang pada 10 Juli 1961 menyita seluruh aset kekayaan milik Oei Tiong Ham dengan dakwaan melakukan praktik kejahatan ekonomi. Pabrik-pabriknya dijadikan BUMN, dan kompleks Sarang Garuda dikuasai militer untuk dijadikan asrama keluarga militer.
Setelah lebih dari setengah abad lepas dari keluarga Oei, rumah yang dahulu menghadap selatan, kini “memunggungi masa lalunya”. Dulu serambi depan, sekarang jadi bagian belakang, ditambahi kamar-kamar mandi dan kandang ayam.
Atap serambi selatan sudah roboh, tinggal pilar sepotong-sepotong. Lantai 2 sudah dikosongkan sebab lantainya lapuk setelah atap dibiarkan lama bocor. Tak kurang 50 kepala keluarga kini menempati asrama.
Seorang penghuni asrama bercerita, sepasang patung singa yang mengapit tangga utama, pada awal 1970-an dicongkel dan dipindahkan entah ke mana. Demikian berat patung itu, sampai-sampai satu patung digotong 10 orang menggunakan bambu, bambu pun patah dibuatnya.
Siapa pemilik sah Gedong Dhuwur, tak jelas lagi. Perjalanan politik negeri ini membuatnya jadi semerana sekarang. Ketika lantai 2 masih dapat diakses, cerita Jongkie, dapat ditemui tulisan karakter Mandarin di dinding ruangan yang dahulu tempat Oei Tjie Sien sembahyang.
Bacaa juga Jalan Leluhur Rumah Kopi Semarang
“Tulisan itu pernah diminta keturunan Oei Tiong Ham, tidak dibolehkan, bolehnya dibeli, tapi dengan harga puluhan juta. Jadi, sudahlah,” kata Jongkie.
Di Gedong Dhuwur inilah sebetulnya sejarah keluarga Oei banyak terbentuk. Istri pertama (dari delapan istri) Oei Tiong Ham tinggal di sini. Juga dari cerita keluarga yang disampaikan ke Jongkie, sewaktu Oei Tjie Sien di ujung ajalnya, dia melihat sang istri datang.
“Tjie Sien pamit ke keluarga, ‘Ibu sudah datang menjemput.’”
***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Juli 2017
bermain ke rumah ini 4 tahun lalu. masih ditempati ya mbak rumahnya?
masih ditempati, malah sampai empat generasi.
jadi keingetan Rumah Besar Cililitan punya tuan tanah yang sekarang dipartisi jd kontrakan. Padahal menjadi salah satu dari sedikit rumah tuan tanah yg tersisa di Jakarta.
iya betul, sama-sama dikuasai tentara.
rumah cililitan itu kembaran dengan pondok gede.
wah ini yang rumahnya kelihatan dari evereld candi kah? saya lagi tinggal di tumpang mba, lain kali jalan2 bareng yo mba XD
boleh banget, tara.
kabari aja kapan bisanya
Bu,
Saya ingin tahu, siapakah yang memberi nama SARANG GARUDA ? Kapan ? dan tertulis di mana ?
Terima kasih.
Salam,
Tertulis di buku yg dijual utk pengunjung Istana Gergaji, Pak.
Saya tidak bisa memeriksa lebih lanjut sumber buku tsb krn buku milik saya sepertinya sdh lenyap oleh banjir.